Review Film The Cave (2005) Penjelajahan Gua yang Berujung Tragis
Oleh Nabil BakriSkywalker Hunter
Edisi Review Singkat+PLUS
“At
first, I thought it couldn't survive outside of a cave environment. Now, I'm
not sure. I think it wants to get out.”—Kathryn
Review berikut menggunakan gambar/foto milik pemegang hak
cipta yang dilindungi doktrin fair use. The following review utilizes
copyrighted pictures under the doctrine of fair use.
images©2005/Sony, Lakeshore Entertainment/The Cave/All Rights
Reserved.
⸎Sangat mungkin mengandung Spoiler, Anda diharap bijak
menyikapinya.
Genre : Fiksi
Ilmiah—Petualangan [Film Monster]
Rilis :
Domestic Releases: |
August 26th, 2005
(Wide) by Sony Pictures |
January 3rd, 2006
by Sony Pictures Home
Entertainment, released as Cave,
The |
|
MPAA Rating: |
PG-13 for intense creature violence. |
Durasi : 97 menit
Sutradara : Bruce Hunt
Pemeran :
- Cole Hauser as
Jack McAllister
- Eddie Cibrian as
Tyler McAllister
- Morris Chestnut as Top Buchanan
- Lena Headey as Kathryn Jennings
- Piper Perabo as Charlie
- Rick Ravanello as
Briggs
- Daniel Dae Kim as
Alex Kim
- Kieran Darcy-Smith as Strode
- Marcel Iureș as
Dr. Nicolai
- Vlad Rădescu as
Dr. Bacovia
Episode : -
Sinopsis
Sekelompok
pencari harta mendatangi reruntuhan gereja abad pertengahan di Carpathian
Mountains, Romania. Gereja itu dibangun di atas sebuah gua yang mencekam dan
dinyatakan berbahaya dalam mitologi. Para pencari harta yakin bahwa gua itu
menyimpan harta karun yang melimpah. Mereka pun menggunakan peledak untuk
menjebol lantai gereja dan masuk ke dalam gua. Namun, ledakan yang mereka
ciptakan juga mengakibatkan longsor yang dahsyat. Akhirnya, semua pencari harta
terjebak di dalam gua. Bertahun-tahun kemudian, reruntuhan gereja itu diteliti
oleh Dr. Nicolai dan rekannya, Dr. Kathryn. Seluruh penelitian mereka
didokumentasikan oleh cameraman Alex Kim. Hasil dokumentasi yang mereka buat
akan digunakan untuk mendapatkan dana ekspedisi menjelajahi gua di bawah
gereja. Menurut legenda, gua tersebut merupakan tempat tinggal iblis dan
sengaja ditutup. Namun, para peneliti yakin bahwa ada ekosistem yang belum
dijamah di dalam gua. Dr. Nikolai meminta bantuan tim ekspedisi profesional
yang dipimpin oleh Jack McAllister. Adik Jack, Tyler, juga menjadi bagian dari
tim ekspedisi. 4 anggota lainnya adalah ahli bertahan hidup bernama Top Buchanan,
ahli mendaki bernama Charlie, ahli sonar bernama Strode, dan penyelam ulung
bernama Briggs. 6 anggota tim ekspedisi bersama Dr. Nicolai, Kathryn, dan Alex
Kim bersama-sama menjelajahi gua misterius tersebut.
Selama
ekspedisi, mereka menemukan berbagai kejanggalan. Tim ekspedisi menemukan
sepatu yang menandakan bahwa sudah ada manusia yang memasuki gua tersebut
sebelumnya. Mereka menduga bahwa manusia yang pernah masuk ke dalam gua
akhirnya terjebak dan tewas di dalam gua. Mereka juga menemukan berbagai
binatang yang tidak wajar. Ada tikus-tikus berukuran besar yang terlihat lebih
ganas seperti tikus zombie. Salamander dan belut pun terlihat jauh lebih
menakutkan. Dr. Kathryn menemukan adanya parasit yang tinggal di dalam gua
tersebut. Menurutnya, hewan-hewan di dalam gua terinfeksi parasit sehingga
mereka beradaptasi untuk tinggal di dalam gua. Di tengah persiapan ekspedisi
bawah air, tim ekspedisi kehilangan kotak dengan Briggs. Ia diserang oleh
sesosok makhluk misterius. Jack dan Top segera pergi mencari Briggs. Sayangnya,
Jack diserang oleh monster misterius. Jack berhasil menyelamatkan diri dengan
cara memotong jari monster itu, tetapi ia mengalami luka yang serius. Dr.
Kathryn meneliti potongan jari monster itu dan menemukan adanya parasit aneh
yang menjangkit tubuh sang monster. Tampaknya, parasit itu sudah masuk ke tubuh
Jack melalui luka serangan monster. Perlahan-lahan Jack mulai bersikap aneh dan
mencurigakan.
Ketika
Briggs “hilang” diserang monster, peralatannya terlepas dan menghantam batuan
hingga meledak. Ledakan itu membuat jalur masuk gua tertutup rapat. Seluruh
anggota tim ekspedisi terjebak di dalam gua tanpa tahu jalan keluar. Mereka
semua harus berjuang untuk menemukan jalan keluar yang lainnya. Karena gua itu
belum pernah diteliti sebelumnya, tidak ada yang tahu pasti apakah gua itu
memiliki jalur keluar yang lain. Meskipun tim ekspedisi itu beranggotakan
orang-orang yang ahli dalam penjelajahan dan bertahan hidup, mereka semua
sama-sama tidak siap menghdapi rintangan di dalam gua misterius tersebut.
Apalagi, mereka harus berhadapan dengan penghuni gua yang ganas akibat infeksi
parasit. Semakin jauh mereka menyusuri gua, semakin banyak dari mereka yang
menjadi korban kegananasan monster penghuni gua. Kekuatan tim ekspedisi itu
semakin diuji: mereka semua ketakutan dan tertekan karena senantiasa diintai oleh
monster, dan semua anggota tim semakin meragukan kepemimpinan Jack. Semenjak
terjangkit parasit, Jack sering bersikap tidak wajar dan mengambil keputusan
yang dianggap aneh. Menurut sebagian anggota tim, Jack sudah tidak waras dan
tidak bisa lagi menjadi pemimpin regu. Sanggupkah tim ekspedisi gua itu keluar
hidup-hidup?
01 Story Logic
Narasi
dalam The Cave tidak logis. Sebagai sebuah Fiksi Ilmiah, film ini tidak harus
menjelaskan seluruh kejadian “ilmiah” di dalamnya senyata mungkin dan sesuai
dengan realita. Inilah mengapa Fiksi Ilmiah diawali dengan “Fiksi” atau
terdapat penekanan pada kata “Fiksi”. Sebuah Fiksi Ilmiah tidak bisa hanya
menyajikan “Fiksi” atau “Ilmiah” saja, tetapi memang harus menggabungkan
keduanya. Dalam film-film serupa yang ideal seperti Deep Blue Sea dan Anacondas: The
Hunt for the Blood Orchid,
narasinya dengan jelas mengeksplorasi segi Fiksi Ilmiah keseluruhan konsep
ceritanya dan berusaha membuat kisah Fiksi “seolah-olah” Ilmiah agar terlihat
logis atau dapat dimaklumi oleh penonton. Dalam Deep Blue Sea, jelas sekali diperlihatkan bagaimana para hiu bisa
berukuran sangat besar dan menjadi sangat pintar. Penjelasan di dalam film itu
sekaligus menjelaskan perbedaan yang tegas antara hiu di Aquatica dan hiu di
lautan lepas. Dalam Anacondas,
diperlihatkan jelas bagaimana para ular anaconda memiliki ukuran raksasa dan
hanya terpusat di satu lokasi saja. Alasan mengapa terjadi anomali di dalam
kedua film tersebut sudah dijelaskan sehingga logis jika anomali yang terjadi
hanya terjadi di lokasi tertentu (the anomaly is contained within a specific
location).
Dalam
The Cave, kejelasan-kejelasan yang membuat sisi Fiksi Ilmiahnya logis sama
sekali tidak diperlihatkan. Hal inilah yang secara langsung berpengaruh juga
kepada Konsistensi ceritanya. Di awal film, diperlihatkan adanya sosok makhluk
dalam gelap yang seolah-olah menyerang sekelompok pencari harta. Karena lokasi
makhluk itu adalah di dalam sebuah gua tak terjamah di bawah sebuah gereja,
maka bisa saja The Cave fokus menjadi sebuah film Supranatural atau Fantasi
yang tidak ada hubungannya dengan Fiksi Ilmiah. Dalam kisah-kisah Fantasi dan
Supranatural, terdapat monster-monster yang muncul tanpa diketahui asal usulnya
oleh manusia. Bagaimana bisa ada naga di The Lord of the
Rings? Entahlah, yang jelas memang ada
naga di dunia Fantasi The Lord of the
Rings. Sama sekali tidak ada upaya menjelaskan asal usul naga menggunakan
teori-teori ilmiah seperti mutasi akibat ledakan bom nuklir yang terjadi kepada
Godzilla. Namun seiring berjalannya cerita, The Cave menyatakan diri sebagai
sebuah Fiksi Ilmiah karena berusaha menjelaskan awal kemunculan monster-monster
di dalamnya dari perspektif ilmiah. Dalam The Cave dijelaskan bahwa para
monster merupakan makhluk biasa yang disusupi parasit. Penjelasan tersebut
tidak menyelesaikan permasalahan asal usul para monster, tetapi menimbulkan
pertanyaan baru: bagaimana parasit itu bisa ditahan sebegitu lamanya di dalam
sebuah gua?
Penjelasan
mengenai parasit dalam The Cave semakin tidak logis ketika pada akhirnya
diperlihatkan bahwa ada banyak sekali cara bagi parasit untuk keluar dari gua
dan menyerang manusia di seluruh dunia. Bagian narasi ini juga nantinya
memengaruhi konsistensi cerita karena kisah Fiksi lmiah—Petualangan bertajuk
Monster dalam film ini seketika berubah menjadi sebuah Fiksi Ilmiah bertajuk
Alien seperti The Invasion (Nicole
Kidman) dan The Host (Saoirse Ronan).
Terlepas dari permasalahan logika konsep ceritanya secara umum, terdapat banyak
sekali detail yang membuat rangkaian cerita dalam The Cave menjadi tidak logis.
The Cave mengeksplorasi tentang “legenda” makhluk jahat yang dilawan oleh
manusia berabad-abad yang lalu. Orang-orang di masa lalu lantas mendirikan
sebuah gereja untuk “menutup” gua berisi makhluk jahat. Penjelasan latar
belakang ini memunculkan pertanyan-pertanyaan baru yang menghancurkan pondasi
logika ceritanya: bagaimana bisa orang zaman dahulu “menyegel” para monster di
bawah gereja? Jika para monster sangatlah kuat, mereka bisa dengan mudah
menghacurkan lantai gereja dan melarikan diri. Kalaupun gereja itu dibangun
dengan sangat kuat, gua di bawah gereja ternyata memiliki jalan keluar yang
langsung mengarah ke perairan di luar gua. Sangat tidak masuk akal jika para
monster atau parasit di dalam gua tidak memanfaatkan jalan keluar tersebut
untuk menyerang spesies lain di muka bumi.
Proses
bagaimana parasit menjangkit makhluk lain juga tidak dijelaskan dengan baik
sehingga tidak masuk akal. Dalam film Deep
Blue Sea, mustahil penelitian yang dilakukan oleh Susan dilakukan di dunia
nyata. Namun, penelitian itu sudah dijelaskan sedemikian rupa sehingga
prosesnya seolah-olah logis. Mengapa Susan memerlukan ikan hiu? Mengapa Susan
perlu ikan hiu berukuran raksasa? Apa dampaknya jika ikan hiu memiliki ukuran
raksasa? Semuanya sudah dieksplorasi dan dijelaskan sedemikian rupa sehingga
seolah-olah logis dan membuat penonton berujar, “oh, aku mengerti sekarang,
pantas saja!” The Cave tidak memberikan penjelasan-penjelasan yang masuk akal
tentang pokok-pokok Fiksi Ilmiahnya: makhluk hidup apa saja yang bisa dijangkit
oleh parasit? Apa saja efek yang ditimbulkan oleh parasit? Bagaimana cara
parasit menyusup ke tubuh manusia? Apakah dari luka gigitan atau sayatan dari
para monster, atau luka goresan batuan yang runcing sudah bisa menimbulkan
infeksi? Berapa lama waktu yang diperlukan bagi parasit untuk menguasai tubuh
inangnya? Dalam film Resident Evil,
jelas sekali bagaimana seseorang bisa terjangkit virus T dan menjadi zombie.
Secara umum, gejalanya sama untuk semua orang. Hal ini membuat para karakter
dalam filmnya memiliki perhitungan yang jelas dalam mengambil keputusan.
Ketidakjelasan ini menambahkan permasalahan logika pada The Cave. Dikisahkan
bahwa orang-orang yang masuk ke dalam gua dalam film ini adalah para ahli:
ilmuwan dan kelompok penjelajah yang sudah berpengalaman. Mereka seharusnya
mengetahui dasar-dasar keadaan darurat dan memahami bahaya dari parasit kalau
sampai keluar dari gua. Dalam film yang mendapat tanggapan negatif dari
kritikus yakni Alien Resurrection,
salah satu karakternya menyatakan bahwa lebih baik pesawat mereka diledakkan
(semua karakter akan tewas) daripada mendaratkan pesawat di bumi. Hal tersebut
karena para karakter inti di film tersebut sadar betul tentang bahaya para
Xenomorph dan apa dampak buruknya jika para Xenomorph sampai ke bumi.
Tidak
hanya tidak logis dari segi Fiksi Ilmiahnya, The Cave juga tidak logis dari
segi Petualangannya. “Petualangan” dalam film ini lebih tepat disebut sebagai
sebuah “Ekspedisi” yang seharusnya dipersiapkan dengan matang. Namun,
persiapan-persiapan mendasar tidak dilksanakan dalam film ini—seperti prosedur
yang dilakukan tim penyelamat jika hilang kontak dengan tim ekspedisi. Berbeda
dengan pencarian Blood Orchid dan berlian di Congo yang
dirahasiakan, ekspedisi dalam The Cave merupakan sebuah temuan besar yang
seharusnya menjadi sorotan berita. Temuan sebesar reruntuhan gereja tua dalam
The Cave seharusnya membuat media cukup gempar—apalagi The Cave berlatar di
pertengahan dekade 2000-an dan sejak awal konsisten memperlihatkan seberapa
canggihnya teknologi yang mereka miliki. Hilangnya tim ekspedisi yang sangat
profesional seharusnya menjadi pemberitaan besar. Terlebih lagi di bagian akhir
(Spoiler) terdapat beberapa karakter yang selamat. Bukannya segera membicarakan
tentang bahayanya gua yang mereka jelajahi dan mendesak pemerintah untuk
mengambil tindakan serius, para penyintas justru bertindak seolah tidak terjadi
apa-apa. Hal itu sama saja dengan dokter yang diam saja setelah mengetahui ada
wabah yang bisa menginfeksi umat manusia dan menimbulkan kekacauan. Kalaupun
kita tidak membicarakan tentang parasit, kisah tentang adanya monster
mengerikan saja seharusnya sudah menimbulkan kegemparan di tengah publik. Bagian
akhir film ini memperburuk permasalahan logika ceritanya dengan mengubah total
jalur ceritanya dari sebuah Fiksi Ilmiah—Petualangan menjadi awal konsep
Post-Apocalyptic: The Cave merupakan pemaksaan percangkokan antara Anacondas: The Hunt for the Blood Orchid
dengan ending Resident Evil—atau
sebuah Toyota Corolla yang dipaksa menggunakan roda Boeing 737. Makes
no sense.
02 Story Consistency
Narasi
dalam The Cave tidak konsisten. Sebagaimana sudah dibahas dalam poin Story
Logic, terdapat inkonsistensi yang jelas dalam konsep film ini. Dengan
demikian, posisi genrenya menjadi ambigu. Tidak jelas apakah The Cave ingin
fokus mengeksplorasi kisah Supranatural/Fantasi atau Fiksi Ilmiah. Pada
mulanya, film ini memperlihatkan seolah-olah akan bercerita tentang kisah
misteri Supranatural/Fantasi yang dimulai dengan sekelompok pencari harta yang
menyusup masuk ke dalam gua yang berada di bawah sebuah gereja terbengkalai.
Narasi tersebut sekilas mirip dengan konsep dalam film Supranatural The Mummy (Brendan Fraser). Namun, konsep Supranatural itu dengan
cepat digantikan dengan konsep Fiksi Ilmiah untuk menjelaskan adanya fenomena
monster di dalam gua. Setelah itu, tidak jelas apakah film ini fokus
menceritakan perjuangan karakternya bertahan hidup di dalam gua atau latar
belakang kemunculan para monster.
Terdapat
percabangan-percabangan cerita film ini yang mengganggu fokus utamanya.
Terdapat dinamika konflik antar karakter yang berkaitan dengan masa lalu mereka
masing-masing. Pada akhirnya, tujuan-tujuan setiap karakter melakukan ekspedisi
menjadi berbeda-beda dan kurang jelas. Dalam film Anacondas, jelas sekali bawa ekspedisi ke Borneo dilakukan karena
semua karakternya ingin menemukan Blood Orchid—termasuk kapten kapal yang
mengantarkan tim ekspedisi menjelajah hutan pun memiliki tujuan menemukan Blood
Orchid agar mendapat bayaran dari tim ekspedisi. Dalam The Cave, kuang jelas
apa sebenarnya ambisi para karakternya. Kalaupun ada, terlalu banyak tujuan
berbeda yang harus dieksplorasi dan pada akhirnya tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap keseluruhan cerita. Dalam The Descent, fokus utamanya adalah bagaimana sekelompok penjelajah
bertahan hidup di dalam sebuah gua yang dipenuhi sosok pembunuh. Tugas para
karakter adalah mencari cara agar bisa selamat dari serangan para monster.
Mereka harus mempelajari gerak-gerik para monster untuk bertahan hidup, tetapi
latar belakang keberadaan monster itu sendiri tidak terlalu dieksplorasi karena
memang tidak terlalu penting: jika para karakter tahu masa lalu para monster,
apakah pengetahuan mereka akan membantu bertahan hidup? Kisah masa lalu para
monster tidaklah penting bagi para karakter. Dalam The Cave, kisah masa lalu
para monster beberapa kali disisipkan. Film ini berusaha menceritakan terlalu
banyak poin cerita sehingga tidak memiliki fokus utama yang jelas.
Tujuan-tujuan awal para karakter memasuki gua pun sulit untuk diingat kembali
di akhir film.
03 Casting Choice and Acting
Pemilihan
aktor dalam film ini sudah baik. Permasalahan-permasalahan akting dalam The
Cave secara umum bukan disebabkan oleh aktor yang tidak pandai berakting atau
tidak sesuai dengan deskripsi karakternya, tetapi karena narasi yang memang
bermasalah. Salah satu dampak nyata dari narasi yang bermasalah adalah dialog
yang juga bermasalah.
04 Music Match
Secara
umum, tidak ada keluhan di pemilihan musik.
05 Cinematography Match
Sinematografi
yang baik dalam film bukanlah sekadar sudut pengambilan gambar (angle) yang
menampilkan visual terbaik. Sebuah rekaman (shot) yang terlihat memukau atau
“keren” tidak serta merta menjadikan sinematografi dalam sebuah film
berkualitas baik. Dalam Death in Venice, terdapat banyak sekali rekaman dengan sudut pengambilan
gambar yang memukau secara visual, tetapi tidak signifikan dalam mendukung laju
narasinya. Terdapat banyak rekaman yang spektakuler dalam The Cave, tetapi
secara umum sinematografinya memiliki masalah. Berbagai sajian visual yang
“memukau” atau “keren” dalam The Cave tidaklah “meaningful”—misalnya
meningkatkan nuansa klaustrofobia di dalam gua. Sinematografi dalam The Cave,
secara umum, justru membingungkan. Dalam banyak adegan, sering sekali
karakternya diperlihatkan dari kejauhan. Teknik pengambilan gambar ini
memperlihatkan seolah-olah para karakter sedang diintai oleh monster, lengkap
dengan gerakan kamera yang bergetar (shaky). Namun ternyata, dalam banyak
adegan tersebut, sudut pengamblan gambar “pengintaian” itu hanyalah permainan
sinematografi yang meaningless (karakternya tidak sedang diintai)—lalu mengapa
menggunakan teknik sinematografi “seolah-olah” karakternya sedang diintai?
Penggunan
teknik pengambilan gambar yang disebutkan sebelumnya tidak hanya meaningless,
tetapi juga rancu. Teknik itu membingungkan penonton dalam menentukan apakah
karakternya sedang dalam bahaya karena sedang diintai atau hanya permainan
kamera—apakah di belakang karakter ada monster sungguhan atau hanya cameraman.
Dalam film Predator yang dibintangi Arnold Schwarzenegger, perspektif (arah
kamera) sang Predator sangatlah penting, meaningful, dan tidak membingungkan.
Penonton dapat mengidentifikasi dengan jelas apakah Predator sedang mengintai
para tokoh manusia dan bukan hanya menjadi sebuah teknik permainan kamera.
Teknik pengambilan gambar yang tidak meaningful semacam ini, menariknya, juga
dipakai berulang-ulang dalam film monster “murahan” kelas B berjudul Blood Monkey.
Selain
terlalu sering menampilkan adegan bukan untuk kepentingan mendukung narasinya,
ada banyak adegan film ini yang terlihat seperti dipotong atau tidak
diperlihatkan dengan utuh. Salah satu adegan yang sering mengalami masalah ini
adalah adegan ketika karakter-karakternya terjatuh. Dalam proses karakter
terjatuh, seolah-olah ada momen-momen penting yang tidak terekam sehingga
banyak karakter yang diperlihatkan sudah jatuh, sudah memanjat, atau sudah
cedera tanpa diperlihatkan prosesnya secara utuh. Hal ini berpengaruh secara
langsung pada Logika ceritanya karena mengurangi kadar keseriusan filmnya.
Penonton perlu melihat seberapa curamnya karakter terjatuh agar bisa menilai
apakah luka karakter itu masuk akal: apakah terlalu ringan, terlalu berat, atau
bahkan mustahil karakternya bisa selamat. Permasalahan lainnya ada pada bagaimana
monster-monster dalam The Cave diperlihatkan.
Sejak
awal, film ini sudah menggoda (teasing) penonton mengenai sosok monster
utamanya. Maka, wajar sekali jika sosok monster yang sebenarnya tidak
ditampilkan secara utuh di momen-momen awal film ini. Dalam banyak film
monster, sosok monster utamanya memang seringkali tidak diperlihatkan dengan
jelas di awal film. Masalahnya, film ini masih tetap menggoda (teasing)
penonton bahkan setelah klimaks film dicapai dan tidak ada lagi alasan atau
keperluan untuk menyembunyikan sosok monsternya. Pada momen puncak, penonton
sudah mengetahui bentuk asli dari monsternya sehingga tidak perlu lagi disembunyi-sembunyikan.
Teknik sinematografi semacam ini (menyembunyikan monster) sebetulnya baik untuk
membangun (build-up) ketegangan menuju klimaks yang memperlihatkan
(revealing/revelation) sosok monsternya. Namun setelah revelation, untuk apa
kembali meyembunyikan monsternya? Dalam film Predator (Spoiler), setelah sosoknya diketahui oleh Dutch dan alat
kamuflasenya rusak, sang Predator merasa tidak perlu lagi bersembunyi dan
justru membuka topengnya dan penonton bisa dengan jelas melihat sosok Predator.
06 Costume Design
Secara
keseluruhan, kostum dalam film ini sudah baik. Karena The Cave bukan sebuah
film survival yang mengutamakan realisme, maka akurasi antara kostum ekspedisi
dalam film dengan peralatan profesional di dunia nyata tidak perlu terlalu
dipermasalahkan. Desain para monster pun tidak perlu dipermasalahkan karena
sudah memenuhi fungsinya dengan baik.
07 Background/Set Match
Meskipun
memiliki masalah dari segi narasi, latar belakang dan properti yang digunakan
dalam film ini sudah baik. Faktanya, sebagian besar kritikus film memuji latar
belakang dalam film ini—meskipun memberikan tanggapan yang negatif untuk
narasinya.
08 Special and/or Practical Effects
Sama
halnya dengan latar belakang, efek visual The Cave secara umum sudah baik untuk
standar film tahun 2005. Keunggulan dalam poin latar belakang dan efek visual
film ini menegaskan bahwa The Cave lebih banyak memusatkan perhatiannya untuk
mengerjakan kedua aspek ini dengan mengorbankan aspek lainnya yang lebih
penting (narasi).
09 Audience Approval
Ketika
pertama kali dirilis, The Cave mendapatkan tanggapan yang negatif dari sebagian
besar penonton. Secara umum, penonton lebih menyukai The Descent yang juga dirilis di tahun 2005. Respons negatif dari
penonton ini terlihat jelas dari penjualan tiket The Cave yang hanya $3 juta
lebih tinggi dibandingkan biaya pembuatannya. Penjualan tiket film ini jauh
lebih rendah dibandingkan dengan The
Descent.
Platform |
Score ⸙ |
IMDb |
5.1/10 |
Rotten Tomatoes |
28% |
Metacritic |
7.5/10 |
Cinemascore |
C- |
Google User |
74% |
⸙Nilai pada tabel di atas mungkin berbeda
dengan nilai yang dikemukakan oleh masing-masing platform. Pada platform penilaian film yang menampilkan penilaian kritikus,
nilai yang ditampilkan pada tabel di atas adalah nilai yang diberikan oleh
penonton non-kritikus/user. Nilai yang ditampilkan mengacu pada data
termutakhir saat artikel ini dipublikasikan. Maka, nilai yang ditampilkan pada
masing-masing platform dapat berubah seiring berjalannya waktu.
10 Intentional
Match
Tidak
ada banyak informasi mengenai proses pembuatan The Cave khususnya detail
mengenai visi para penciptanya. Informasi proses pembuatan yang paling banyak
dieksplorasi adalah tentang proses pengambilan gambar di lokasi, bukan
alasan-alasan utama film ini dibuat. Maka, cukup sulit untuk mengetahui visi
artistik penciptanya. Maka, kita akan menggunakan pengelompokan genre film ini
dan materi-materi promosi untuk menentukan standar yang dijanjikan akan dicapai
oleh film ini. The Cave merupakan sebuah film Fiksi Ilmiah—Petualangan yang
bertajuk Monster dan merupakan sebuah major film (bukan film “murah” kelas
B atau film direct-to-DVD). Berdasarkan 9 pembahasan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa The Cave tidak berhasil memenuhi atau mencapai standar yang
dijanjikan.
Berbeda
dengan penelusuran visi artistik, penelusuran visi finansial dari sebuah film
jauh lebih mudah dilaksanakan. Semua film yang diproduksi, pada kenyataannya,
memiliki tujuan untuk mendatangkan keuntungan finansial. Dapat dipastikan bahwa
pencipta The Cave menginginkan film ini sukses secara finansial. Salah satu
aktor The Cave, Morris Chesnut, menyatakan bahwa ada kemungkinan sekuel The
Cave akan diproduksi apabila The Cave sukses secara finansial. Berdasarkan data
penjualan tiket, terlihat jelas bahwa The Cave mengalami kerugian secara
finansial sehingga tidak berhasil memenuhi visi finansial penciptanya.
ADDITIONAL CONSIDERATIONS
[Lima poin tambahan ini bisa menambah dan/atau mengurangi
sepuluh poin sebelumnya. Jika poin kosong, maka tidak menambah maupun
mengurangi 10 poin sebelumnya. Bagian ini adalah pertimbangan tambahan
Skywalker, maka ditambah atau dikuranginya poin pada bagian ini adalah hak
prerogatif Skywalker, meskipun dengan pertimbangan yang sangat matang]
01 Skywalker’s Schemata
Salah
seorang user Instagram yang saya follow mengunggah foto salah satu koleksi DVD
miliknya. Cover DVD itu menarik perhatian saya dengan judul besar “The Cave”.
Saya tidak memiliki DVD itu dan caption pengguna itu menyatakan kalau The Cave
adalah film yang bagus. Saya pun segera menonton filmnya secara online (sebelumnya
saya tidak tahu kalau filmnya tersedia secara gratis di YouTube). Hampir semua
aspek produksi film ini mulai dari set latar belakang, properti, sampai jajaran
aktornya berhasil memikat saya. Akhirnya saya memiliki ekspektasi yang tinggi
kepada film ini. Lagipula, pembukaan film ini terlihat bagus dan keseluruhan
filmnya tampak menjanjikan. Sampai akhirnya penjelajahan gua yang sebenarnya
dimulai. Memang benar kalau berbagai aspek teknis dalam film ini sudah baik.
Sayangnya, aspek yang sangat penting yakni dari segi narasi masih belum baik.
Narasi yang buruk bisa membuat film dengan aspek teknis sebaik apapun menjadi
buruk. Sebaliknya, film dengan aspek teknis yang penuh keterbatasan bisa jadi
tetap memukau penonton karena memiliki narasi yang kuat—lihat saja film-film
hitam putih yang fenomenal seperti Sunset
Boulevard, Casablanca, Night of the Living Dead, dan lain
sebagainya yang penuh dengan keterbatasan teknis tetapi memiliki narasi yang
baik.
Ada
juga film dengan keterbatasan aspek teknis dan narasi yang sederhana tetapi
tetap memukau karena mengikuti pola genrenya sendiri seperti Evil Dead. Film pertama Tarantino, Reservoir Dogs, tidak memiliki dana sebesar Kill Bill dan tidak menampilkan adegan spektakuler seperti Kill Bill. Namun, film tersebut tetap
memukau karena memiliki narasi yang kuat. The Cave memiliki aspek teknis yang
kuat, tetapi narasinya sangat lemah sehingga membuat saya melupakan keunggulan
teknisnya dan tetap tidak menyukai filmnya. Hanya karena Jurassic World menggunakan teknologi komputer yang lebih canggih daripada Jurassic Park, bukan berarti Jurssic
World otomatis menjadi lebih baik daripada Jurassic Park. Hanya karena The Cave memiliki aspek teknis yang
lebih baik daripada The Descent,
bukan berarti The Cave otomatis lebih baik daripada The Descent. Ketidaksukaan saya pada The Cave sebetulnya lebih
dikarenakan rasa kecewa. Bukan kecewa karena filmnya jauh lebih buruk daripada
harapan saya, tetapi kecewa karena saya melihat potensi besar yang
disia-siakan.
Sayang
sekali sebuah konsep yang menarik dan memiliki potensi besar disia-siakan.
Sayang sekali aspek teknis yang luar biasa disia-siakan untuk mengakomodasi
cerita yang buruk. Sayang sekali jajaran aktor yang hebat justru diminta
memerankan narasi yang buruk. The Cave merupakan sebuah pesta penuh
kesia-siaan—sebuah ajang membuang potensi besar-besaran. The Cave merupakan
salah satu contoh permasalahan industri perfilman abad 21: bigger does not always mean
better. Coba saja kita lihat film-film Godzilla era Heisei yang banyak dipuji. Orang-orang tahu kalau
Godzilla itu hanyalah aktor di dalam kostum, tetapi ada cerita menarik di
film-film itu—dan juga berbagai ledakan yang cukup spektakuler. Kalau kita
melihat pada kasus Madagascar (DreamWorks)
vs The Wild (Disney), kembali
terlihat jelas bahwa aspek yang paling penting dari film adalah ceritanya. Saya
bahkan tidak mempermasalahkan poin dialog sebagai satu penilaian khusus; tetapi
saya melihat narasi secara keseluruhan lewat poin Story Logic yang menyesuaikan
dengan genre masing-masing. Kembali ke kasus Madagascar vs The Wild,
terlihat jelas kalau The Wild lebih unggul
dari segi teknologi animasi. Detilnya, gerakan karakternya, dan format
presentasinya secara umum. Namun, justru Madagascar
yang dipuji oleh penonton. Hal semacam ini selalu terjadi berulang-ulang. Kalau
kita mundur lebih jauh lagi, ada kasus Dumbo vs Fantasia. Penonton tidak peduli seberapa hebatnya visual dalam Fantasia. Mereka lebih menyukai narasi
yang baik dalam Dumbo—meskipun Dumbo memiliki aspek teknis yang jauh
lebih sederhana.
Sayang
sekali film dengan visual kelas A justru terlihat seperti sebuah film kelas B
karena narasinya. Saya bahkan lebih menyukai film kelas B “murah” berjudul DNA yang dirilis pada tahun 1997
ketimbang The Cave. Oh, agar tidak membandingkan terlalu jauh, saya terkejut
ketika mengetahu bahwa The Descent
dibuat dengan dana sebesar $7 juta sedangkan The Cave dibuat dengan dana
sebesar $30 juta—tetapi The Descent
terlihat berkali-kali lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan The Cave.
The
Cave is a film that has all the visuals
of a Class A movie, but has the story and direction of a B movie. It’s gonna be
a good low budget/B movie, but an awful major/Class A movie. The Cave is a worse experience than Anacondas or even the cheap 1997 Sci-Fi Monster movie
starring Mark Dacascos, DNA.
02 Awards
The
Cave tidak mendapatkan penghargaan yang penting untuk disebutkan.
03 Financial
Dari
dana sebesar $30 juta, The Cave hanya berhasil menjual tiket sebesar $33 juta.
Bahkan, The Numbers (acuan paling
utama artikel ini) memberikan laporan yang lebih mengejutkan yakni total
penjualan tiket The Cave hanya sebesar $27 juta. Baik di angka $33 juta maupun
$27 juta, keduanya tetap menunjukkan fakta yang sama: The Cave mengalami
kerugian dari segi finansial. Angka penjualan DVD serta rental DVD film ini pun
tidak menunjukkan adanya fenomena yang signifikan.
Theatrical Performance |
||||||||||||||
Domestic Box Office |
$15,007,991 |
|||||||||||||
International Box Office |
$12,140,000 |
|||||||||||||
Worldwide Box Office |
$27,147,991 |
|||||||||||||
Home Market Performance |
||||||||||||||
Est. Domestic DVD Sales |
$12,982,837 |
|||||||||||||
Total Est. Domestic Video Sales |
$12,982,837 |
|||||||||||||
|
04 Critics
Mayoritas
kalangan kritikus profesional memberikan tanggapan yang negatif untuk The Cave.
Secara umum, para kritikus memuji efek visual The cave tetapi menanggapi
keseluruhan cerita dan dialognya dengan negatif.
05 Longevity
The
Cave tidak mampu bertahan melawan perubahan zaman. Seiring berjalannya waktu,
film ini semakin dilupakan. Tanggapan penonton generasi baru pun secara umum
tetap negatif. Sementara The Cave semakin dilupakan, popularitas The Descent masih tetap kuat dan
mendapatkan tanggapan yang tetap positif setelah filmnya berusia lebih dari 10
tahun. Padahal, The Cave dibuat dengan dana yang jauh lebih besar daripada The Descent dan memiliki jajaran pemeran
yang populer (semisal Lena Headey yang populer lewat serial Game of Thrones).
Final Score
Skor
Asli : 5.5
Skor
Tambahan : -1
Skor
Akhir : 4.5/10
***
STREAMING
YouTube [Free] [Selama Tersedia]
***
Edisi Review Singkat
Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar
penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa
untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Karena menggunakan
standar yang baku, edisi review Skywalker akan jauh lebih pendek dari review
Nabil Bakri yang lainnya dan akan lebih objektif.
Edisi Review Singkat+PLUS
Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar
penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa
untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Apabila terdapat tanda
Review Singkat+PLUS di
bawah judul, maka berdasarkan keputusan per Juli 2021 menandakan artikel
tersebut berjumlah lebih dari 3.500 kata.
Edisi Review Singkat+ULTRA
Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar
penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa
untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Apabila terdapat tanda
Review Singkat+ULTRA
di bawah judul, maka berdasarkan keputusan per Mei 2022 menandakan artikel
tersebut berjumlah lebih dari 5.000 kata.
Skywalker Hunter adalah alias
dari Nabil Bakri
Keterangan Box Office dan penjualan DVD disediakan oleh The Numbers
©2005/Sony, Lakeshore Entertainment/The Cave/All Rights
Reserved.
©Nabil Bakri Platinum.
Teks ini dipublikasikan dalam Nabil Bakri Platinum [https://nabilbakri.blogspot.com/] yang diverifikasi Google dan dilindungi oleh DMCA.
Nabil Bakri Platinum tidak bertanggung jawab atas konten dari
link eksternal yang ada di dalam teks ini—termasuk ketersediaan konten video
atau film yang dapat berubah sewaktu-waktu di luar kendali Nabil Bakri
Platinum.