Review Film The Cave (2005) Penjelajahan Gua yang Berujung Tragis

 

Review Film The Cave (2005) Penjelajahan Gua yang Berujung Tragis

Oleh Nabil BakriSkywalker Hunter

Edisi Review Singkat+PLUS

Periksa index

“At first, I thought it couldn't survive outside of a cave environment. Now, I'm not sure. I think it wants to get out.”—Kathryn

Review berikut menggunakan gambar/foto milik pemegang hak cipta yang dilindungi doktrin fair use. The following review utilizes copyrighted pictures under the doctrine of fair use.

images©2005/Sony, Lakeshore Entertainment/The Cave/All Rights Reserved.

⸎Sangat mungkin mengandung Spoiler, Anda diharap bijak menyikapinya.

Genre             : Fiksi Ilmiah—Petualangan [Film Monster]

Rilis                 :

Domestic Releases:

August 26th, 2005 (Wide) by Sony Pictures

Video Release:

January 3rd, 2006 by Sony Pictures Home Entertainment, released as Cave, The

MPAA Rating:

PG-13 for intense creature violence.

Durasi             : 97 menit

Sutradara       : Bruce Hunt

Pemeran         :

Episode           : -

Sinopsis

Sekelompok pencari harta mendatangi reruntuhan gereja abad pertengahan di Carpathian Mountains, Romania. Gereja itu dibangun di atas sebuah gua yang mencekam dan dinyatakan berbahaya dalam mitologi. Para pencari harta yakin bahwa gua itu menyimpan harta karun yang melimpah. Mereka pun menggunakan peledak untuk menjebol lantai gereja dan masuk ke dalam gua. Namun, ledakan yang mereka ciptakan juga mengakibatkan longsor yang dahsyat. Akhirnya, semua pencari harta terjebak di dalam gua. Bertahun-tahun kemudian, reruntuhan gereja itu diteliti oleh Dr. Nicolai dan rekannya, Dr. Kathryn. Seluruh penelitian mereka didokumentasikan oleh cameraman Alex Kim. Hasil dokumentasi yang mereka buat akan digunakan untuk mendapatkan dana ekspedisi menjelajahi gua di bawah gereja. Menurut legenda, gua tersebut merupakan tempat tinggal iblis dan sengaja ditutup. Namun, para peneliti yakin bahwa ada ekosistem yang belum dijamah di dalam gua. Dr. Nikolai meminta bantuan tim ekspedisi profesional yang dipimpin oleh Jack McAllister. Adik Jack, Tyler, juga menjadi bagian dari tim ekspedisi. 4 anggota lainnya adalah ahli bertahan hidup bernama Top Buchanan, ahli mendaki bernama Charlie, ahli sonar bernama Strode, dan penyelam ulung bernama Briggs. 6 anggota tim ekspedisi bersama Dr. Nicolai, Kathryn, dan Alex Kim bersama-sama menjelajahi gua misterius tersebut.

Selama ekspedisi, mereka menemukan berbagai kejanggalan. Tim ekspedisi menemukan sepatu yang menandakan bahwa sudah ada manusia yang memasuki gua tersebut sebelumnya. Mereka menduga bahwa manusia yang pernah masuk ke dalam gua akhirnya terjebak dan tewas di dalam gua. Mereka juga menemukan berbagai binatang yang tidak wajar. Ada tikus-tikus berukuran besar yang terlihat lebih ganas seperti tikus zombie. Salamander dan belut pun terlihat jauh lebih menakutkan. Dr. Kathryn menemukan adanya parasit yang tinggal di dalam gua tersebut. Menurutnya, hewan-hewan di dalam gua terinfeksi parasit sehingga mereka beradaptasi untuk tinggal di dalam gua. Di tengah persiapan ekspedisi bawah air, tim ekspedisi kehilangan kotak dengan Briggs. Ia diserang oleh sesosok makhluk misterius. Jack dan Top segera pergi mencari Briggs. Sayangnya, Jack diserang oleh monster misterius. Jack berhasil menyelamatkan diri dengan cara memotong jari monster itu, tetapi ia mengalami luka yang serius. Dr. Kathryn meneliti potongan jari monster itu dan menemukan adanya parasit aneh yang menjangkit tubuh sang monster. Tampaknya, parasit itu sudah masuk ke tubuh Jack melalui luka serangan monster. Perlahan-lahan Jack mulai bersikap aneh dan mencurigakan.

Ketika Briggs “hilang” diserang monster, peralatannya terlepas dan menghantam batuan hingga meledak. Ledakan itu membuat jalur masuk gua tertutup rapat. Seluruh anggota tim ekspedisi terjebak di dalam gua tanpa tahu jalan keluar. Mereka semua harus berjuang untuk menemukan jalan keluar yang lainnya. Karena gua itu belum pernah diteliti sebelumnya, tidak ada yang tahu pasti apakah gua itu memiliki jalur keluar yang lain. Meskipun tim ekspedisi itu beranggotakan orang-orang yang ahli dalam penjelajahan dan bertahan hidup, mereka semua sama-sama tidak siap menghdapi rintangan di dalam gua misterius tersebut. Apalagi, mereka harus berhadapan dengan penghuni gua yang ganas akibat infeksi parasit. Semakin jauh mereka menyusuri gua, semakin banyak dari mereka yang menjadi korban kegananasan monster penghuni gua. Kekuatan tim ekspedisi itu semakin diuji: mereka semua ketakutan dan tertekan karena senantiasa diintai oleh monster, dan semua anggota tim semakin meragukan kepemimpinan Jack. Semenjak terjangkit parasit, Jack sering bersikap tidak wajar dan mengambil keputusan yang dianggap aneh. Menurut sebagian anggota tim, Jack sudah tidak waras dan tidak bisa lagi menjadi pemimpin regu. Sanggupkah tim ekspedisi gua itu keluar hidup-hidup?

01 Story Logic

Narasi dalam The Cave tidak logis. Sebagai sebuah Fiksi Ilmiah, film ini tidak harus menjelaskan seluruh kejadian “ilmiah” di dalamnya senyata mungkin dan sesuai dengan realita. Inilah mengapa Fiksi Ilmiah diawali dengan “Fiksi” atau terdapat penekanan pada kata “Fiksi”. Sebuah Fiksi Ilmiah tidak bisa hanya menyajikan “Fiksi” atau “Ilmiah” saja, tetapi memang harus menggabungkan keduanya. Dalam film-film serupa yang ideal seperti Deep Blue Sea dan Anacondas: The Hunt for the Blood Orchid, narasinya dengan jelas mengeksplorasi segi Fiksi Ilmiah keseluruhan konsep ceritanya dan berusaha membuat kisah Fiksi “seolah-olah” Ilmiah agar terlihat logis atau dapat dimaklumi oleh penonton. Dalam Deep Blue Sea, jelas sekali diperlihatkan bagaimana para hiu bisa berukuran sangat besar dan menjadi sangat pintar. Penjelasan di dalam film itu sekaligus menjelaskan perbedaan yang tegas antara hiu di Aquatica dan hiu di lautan lepas. Dalam Anacondas, diperlihatkan jelas bagaimana para ular anaconda memiliki ukuran raksasa dan hanya terpusat di satu lokasi saja. Alasan mengapa terjadi anomali di dalam kedua film tersebut sudah dijelaskan sehingga logis jika anomali yang terjadi hanya terjadi di lokasi tertentu (the anomaly is contained within a specific location).

Dalam The Cave, kejelasan-kejelasan yang membuat sisi Fiksi Ilmiahnya logis sama sekali tidak diperlihatkan. Hal inilah yang secara langsung berpengaruh juga kepada Konsistensi ceritanya. Di awal film, diperlihatkan adanya sosok makhluk dalam gelap yang seolah-olah menyerang sekelompok pencari harta. Karena lokasi makhluk itu adalah di dalam sebuah gua tak terjamah di bawah sebuah gereja, maka bisa saja The Cave fokus menjadi sebuah film Supranatural atau Fantasi yang tidak ada hubungannya dengan Fiksi Ilmiah. Dalam kisah-kisah Fantasi dan Supranatural, terdapat monster-monster yang muncul tanpa diketahui asal usulnya oleh manusia. Bagaimana bisa ada naga di The Lord of the Rings? Entahlah, yang jelas memang ada naga di dunia Fantasi The Lord of the Rings. Sama sekali tidak ada upaya menjelaskan asal usul naga menggunakan teori-teori ilmiah seperti mutasi akibat ledakan bom nuklir yang terjadi kepada Godzilla. Namun seiring berjalannya cerita, The Cave menyatakan diri sebagai sebuah Fiksi Ilmiah karena berusaha menjelaskan awal kemunculan monster-monster di dalamnya dari perspektif ilmiah. Dalam The Cave dijelaskan bahwa para monster merupakan makhluk biasa yang disusupi parasit. Penjelasan tersebut tidak menyelesaikan permasalahan asal usul para monster, tetapi menimbulkan pertanyaan baru: bagaimana parasit itu bisa ditahan sebegitu lamanya di dalam sebuah gua?

Penjelasan mengenai parasit dalam The Cave semakin tidak logis ketika pada akhirnya diperlihatkan bahwa ada banyak sekali cara bagi parasit untuk keluar dari gua dan menyerang manusia di seluruh dunia. Bagian narasi ini juga nantinya memengaruhi konsistensi cerita karena kisah Fiksi lmiah—Petualangan bertajuk Monster dalam film ini seketika berubah menjadi sebuah Fiksi Ilmiah bertajuk Alien seperti The Invasion (Nicole Kidman) dan The Host (Saoirse Ronan). Terlepas dari permasalahan logika konsep ceritanya secara umum, terdapat banyak sekali detail yang membuat rangkaian cerita dalam The Cave menjadi tidak logis. The Cave mengeksplorasi tentang “legenda” makhluk jahat yang dilawan oleh manusia berabad-abad yang lalu. Orang-orang di masa lalu lantas mendirikan sebuah gereja untuk “menutup” gua berisi makhluk jahat. Penjelasan latar belakang ini memunculkan pertanyan-pertanyaan baru yang menghancurkan pondasi logika ceritanya: bagaimana bisa orang zaman dahulu “menyegel” para monster di bawah gereja? Jika para monster sangatlah kuat, mereka bisa dengan mudah menghacurkan lantai gereja dan melarikan diri. Kalaupun gereja itu dibangun dengan sangat kuat, gua di bawah gereja ternyata memiliki jalan keluar yang langsung mengarah ke perairan di luar gua. Sangat tidak masuk akal jika para monster atau parasit di dalam gua tidak memanfaatkan jalan keluar tersebut untuk menyerang spesies lain di muka bumi.

Proses bagaimana parasit menjangkit makhluk lain juga tidak dijelaskan dengan baik sehingga tidak masuk akal. Dalam film Deep Blue Sea, mustahil penelitian yang dilakukan oleh Susan dilakukan di dunia nyata. Namun, penelitian itu sudah dijelaskan sedemikian rupa sehingga prosesnya seolah-olah logis. Mengapa Susan memerlukan ikan hiu? Mengapa Susan perlu ikan hiu berukuran raksasa? Apa dampaknya jika ikan hiu memiliki ukuran raksasa? Semuanya sudah dieksplorasi dan dijelaskan sedemikian rupa sehingga seolah-olah logis dan membuat penonton berujar, “oh, aku mengerti sekarang, pantas saja!” The Cave tidak memberikan penjelasan-penjelasan yang masuk akal tentang pokok-pokok Fiksi Ilmiahnya: makhluk hidup apa saja yang bisa dijangkit oleh parasit? Apa saja efek yang ditimbulkan oleh parasit? Bagaimana cara parasit menyusup ke tubuh manusia? Apakah dari luka gigitan atau sayatan dari para monster, atau luka goresan batuan yang runcing sudah bisa menimbulkan infeksi? Berapa lama waktu yang diperlukan bagi parasit untuk menguasai tubuh inangnya? Dalam film Resident Evil, jelas sekali bagaimana seseorang bisa terjangkit virus T dan menjadi zombie. Secara umum, gejalanya sama untuk semua orang. Hal ini membuat para karakter dalam filmnya memiliki perhitungan yang jelas dalam mengambil keputusan. Ketidakjelasan ini menambahkan permasalahan logika pada The Cave. Dikisahkan bahwa orang-orang yang masuk ke dalam gua dalam film ini adalah para ahli: ilmuwan dan kelompok penjelajah yang sudah berpengalaman. Mereka seharusnya mengetahui dasar-dasar keadaan darurat dan memahami bahaya dari parasit kalau sampai keluar dari gua. Dalam film yang mendapat tanggapan negatif dari kritikus yakni Alien Resurrection, salah satu karakternya menyatakan bahwa lebih baik pesawat mereka diledakkan (semua karakter akan tewas) daripada mendaratkan pesawat di bumi. Hal tersebut karena para karakter inti di film tersebut sadar betul tentang bahaya para Xenomorph dan apa dampak buruknya jika para Xenomorph sampai ke bumi.

Tidak hanya tidak logis dari segi Fiksi Ilmiahnya, The Cave juga tidak logis dari segi Petualangannya. “Petualangan” dalam film ini lebih tepat disebut sebagai sebuah “Ekspedisi” yang seharusnya dipersiapkan dengan matang. Namun, persiapan-persiapan mendasar tidak dilksanakan dalam film ini—seperti prosedur yang dilakukan tim penyelamat jika hilang kontak dengan tim ekspedisi. Berbeda dengan pencarian Blood Orchid dan berlian di Congo yang dirahasiakan, ekspedisi dalam The Cave merupakan sebuah temuan besar yang seharusnya menjadi sorotan berita. Temuan sebesar reruntuhan gereja tua dalam The Cave seharusnya membuat media cukup gempar—apalagi The Cave berlatar di pertengahan dekade 2000-an dan sejak awal konsisten memperlihatkan seberapa canggihnya teknologi yang mereka miliki. Hilangnya tim ekspedisi yang sangat profesional seharusnya menjadi pemberitaan besar. Terlebih lagi di bagian akhir (Spoiler) terdapat beberapa karakter yang selamat. Bukannya segera membicarakan tentang bahayanya gua yang mereka jelajahi dan mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan serius, para penyintas justru bertindak seolah tidak terjadi apa-apa. Hal itu sama saja dengan dokter yang diam saja setelah mengetahui ada wabah yang bisa menginfeksi umat manusia dan menimbulkan kekacauan. Kalaupun kita tidak membicarakan tentang parasit, kisah tentang adanya monster mengerikan saja seharusnya sudah menimbulkan kegemparan di tengah publik. Bagian akhir film ini memperburuk permasalahan logika ceritanya dengan mengubah total jalur ceritanya dari sebuah Fiksi Ilmiah—Petualangan menjadi awal konsep Post-Apocalyptic: The Cave merupakan pemaksaan percangkokan antara Anacondas: The Hunt for the Blood Orchid dengan ending Resident Evil—atau sebuah Toyota Corolla yang dipaksa menggunakan roda Boeing 737. Makes no sense.

02 Story Consistency

Narasi dalam The Cave tidak konsisten. Sebagaimana sudah dibahas dalam poin Story Logic, terdapat inkonsistensi yang jelas dalam konsep film ini. Dengan demikian, posisi genrenya menjadi ambigu. Tidak jelas apakah The Cave ingin fokus mengeksplorasi kisah Supranatural/Fantasi atau Fiksi Ilmiah. Pada mulanya, film ini memperlihatkan seolah-olah akan bercerita tentang kisah misteri Supranatural/Fantasi yang dimulai dengan sekelompok pencari harta yang menyusup masuk ke dalam gua yang berada di bawah sebuah gereja terbengkalai. Narasi tersebut sekilas mirip dengan konsep dalam film Supranatural The Mummy (Brendan Fraser). Namun, konsep Supranatural itu dengan cepat digantikan dengan konsep Fiksi Ilmiah untuk menjelaskan adanya fenomena monster di dalam gua. Setelah itu, tidak jelas apakah film ini fokus menceritakan perjuangan karakternya bertahan hidup di dalam gua atau latar belakang kemunculan para monster.

Terdapat percabangan-percabangan cerita film ini yang mengganggu fokus utamanya. Terdapat dinamika konflik antar karakter yang berkaitan dengan masa lalu mereka masing-masing. Pada akhirnya, tujuan-tujuan setiap karakter melakukan ekspedisi menjadi berbeda-beda dan kurang jelas. Dalam film Anacondas, jelas sekali bawa ekspedisi ke Borneo dilakukan karena semua karakternya ingin menemukan Blood Orchid—termasuk kapten kapal yang mengantarkan tim ekspedisi menjelajah hutan pun memiliki tujuan menemukan Blood Orchid agar mendapat bayaran dari tim ekspedisi. Dalam The Cave, kuang jelas apa sebenarnya ambisi para karakternya. Kalaupun ada, terlalu banyak tujuan berbeda yang harus dieksplorasi dan pada akhirnya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keseluruhan cerita. Dalam The Descent, fokus utamanya adalah bagaimana sekelompok penjelajah bertahan hidup di dalam sebuah gua yang dipenuhi sosok pembunuh. Tugas para karakter adalah mencari cara agar bisa selamat dari serangan para monster. Mereka harus mempelajari gerak-gerik para monster untuk bertahan hidup, tetapi latar belakang keberadaan monster itu sendiri tidak terlalu dieksplorasi karena memang tidak terlalu penting: jika para karakter tahu masa lalu para monster, apakah pengetahuan mereka akan membantu bertahan hidup? Kisah masa lalu para monster tidaklah penting bagi para karakter. Dalam The Cave, kisah masa lalu para monster beberapa kali disisipkan. Film ini berusaha menceritakan terlalu banyak poin cerita sehingga tidak memiliki fokus utama yang jelas. Tujuan-tujuan awal para karakter memasuki gua pun sulit untuk diingat kembali di akhir film.

03 Casting Choice and Acting

Pemilihan aktor dalam film ini sudah baik. Permasalahan-permasalahan akting dalam The Cave secara umum bukan disebabkan oleh aktor yang tidak pandai berakting atau tidak sesuai dengan deskripsi karakternya, tetapi karena narasi yang memang bermasalah. Salah satu dampak nyata dari narasi yang bermasalah adalah dialog yang juga bermasalah.

04 Music Match

Secara umum, tidak ada keluhan di pemilihan musik.

05 Cinematography Match

Sinematografi yang baik dalam film bukanlah sekadar sudut pengambilan gambar (angle) yang menampilkan visual terbaik. Sebuah rekaman (shot) yang terlihat memukau atau “keren” tidak serta merta menjadikan sinematografi dalam sebuah film berkualitas baik. Dalam Death in Venice, terdapat banyak sekali rekaman dengan sudut pengambilan gambar yang memukau secara visual, tetapi tidak signifikan dalam mendukung laju narasinya. Terdapat banyak rekaman yang spektakuler dalam The Cave, tetapi secara umum sinematografinya memiliki masalah. Berbagai sajian visual yang “memukau” atau “keren” dalam The Cave tidaklah “meaningful”—misalnya meningkatkan nuansa klaustrofobia di dalam gua. Sinematografi dalam The Cave, secara umum, justru membingungkan. Dalam banyak adegan, sering sekali karakternya diperlihatkan dari kejauhan. Teknik pengambilan gambar ini memperlihatkan seolah-olah para karakter sedang diintai oleh monster, lengkap dengan gerakan kamera yang bergetar (shaky). Namun ternyata, dalam banyak adegan tersebut, sudut pengamblan gambar “pengintaian” itu hanyalah permainan sinematografi yang meaningless (karakternya tidak sedang diintai)—lalu mengapa menggunakan teknik sinematografi “seolah-olah” karakternya sedang diintai?

Penggunan teknik pengambilan gambar yang disebutkan sebelumnya tidak hanya meaningless, tetapi juga rancu. Teknik itu membingungkan penonton dalam menentukan apakah karakternya sedang dalam bahaya karena sedang diintai atau hanya permainan kamera—apakah di belakang karakter ada monster sungguhan atau hanya cameraman. Dalam film Predator yang dibintangi Arnold Schwarzenegger, perspektif (arah kamera) sang Predator sangatlah penting, meaningful, dan tidak membingungkan. Penonton dapat mengidentifikasi dengan jelas apakah Predator sedang mengintai para tokoh manusia dan bukan hanya menjadi sebuah teknik permainan kamera. Teknik pengambilan gambar yang tidak meaningful semacam ini, menariknya, juga dipakai berulang-ulang dalam film monster “murahan” kelas B berjudul Blood Monkey.

Selain terlalu sering menampilkan adegan bukan untuk kepentingan mendukung narasinya, ada banyak adegan film ini yang terlihat seperti dipotong atau tidak diperlihatkan dengan utuh. Salah satu adegan yang sering mengalami masalah ini adalah adegan ketika karakter-karakternya terjatuh. Dalam proses karakter terjatuh, seolah-olah ada momen-momen penting yang tidak terekam sehingga banyak karakter yang diperlihatkan sudah jatuh, sudah memanjat, atau sudah cedera tanpa diperlihatkan prosesnya secara utuh. Hal ini berpengaruh secara langsung pada Logika ceritanya karena mengurangi kadar keseriusan filmnya. Penonton perlu melihat seberapa curamnya karakter terjatuh agar bisa menilai apakah luka karakter itu masuk akal: apakah terlalu ringan, terlalu berat, atau bahkan mustahil karakternya bisa selamat. Permasalahan lainnya ada pada bagaimana monster-monster dalam The Cave diperlihatkan.

Sejak awal, film ini sudah menggoda (teasing) penonton mengenai sosok monster utamanya. Maka, wajar sekali jika sosok monster yang sebenarnya tidak ditampilkan secara utuh di momen-momen awal film ini. Dalam banyak film monster, sosok monster utamanya memang seringkali tidak diperlihatkan dengan jelas di awal film. Masalahnya, film ini masih tetap menggoda (teasing) penonton bahkan setelah klimaks film dicapai dan tidak ada lagi alasan atau keperluan untuk menyembunyikan sosok monsternya. Pada momen puncak, penonton sudah mengetahui bentuk asli dari monsternya sehingga tidak perlu lagi disembunyi-sembunyikan. Teknik sinematografi semacam ini (menyembunyikan monster) sebetulnya baik untuk membangun (build-up) ketegangan menuju klimaks yang memperlihatkan (revealing/revelation) sosok monsternya. Namun setelah revelation, untuk apa kembali meyembunyikan monsternya? Dalam film Predator (Spoiler), setelah sosoknya diketahui oleh Dutch dan alat kamuflasenya rusak, sang Predator merasa tidak perlu lagi bersembunyi dan justru membuka topengnya dan penonton bisa dengan jelas melihat sosok Predator.

06 Costume Design

Secara keseluruhan, kostum dalam film ini sudah baik. Karena The Cave bukan sebuah film survival yang mengutamakan realisme, maka akurasi antara kostum ekspedisi dalam film dengan peralatan profesional di dunia nyata tidak perlu terlalu dipermasalahkan. Desain para monster pun tidak perlu dipermasalahkan karena sudah memenuhi fungsinya dengan baik.

07 Background/Set Match

Meskipun memiliki masalah dari segi narasi, latar belakang dan properti yang digunakan dalam film ini sudah baik. Faktanya, sebagian besar kritikus film memuji latar belakang dalam film ini—meskipun memberikan tanggapan yang negatif untuk narasinya.

08 Special and/or Practical Effects

Sama halnya dengan latar belakang, efek visual The Cave secara umum sudah baik untuk standar film tahun 2005. Keunggulan dalam poin latar belakang dan efek visual film ini menegaskan bahwa The Cave lebih banyak memusatkan perhatiannya untuk mengerjakan kedua aspek ini dengan mengorbankan aspek lainnya yang lebih penting (narasi).

09 Audience Approval

Ketika pertama kali dirilis, The Cave mendapatkan tanggapan yang negatif dari sebagian besar penonton. Secara umum, penonton lebih menyukai The Descent yang juga dirilis di tahun 2005. Respons negatif dari penonton ini terlihat jelas dari penjualan tiket The Cave yang hanya $3 juta lebih tinggi dibandingkan biaya pembuatannya. Penjualan tiket film ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan The Descent.

Platform

Score ⸙

IMDb

5.1/10

Rotten Tomatoes

28%

Metacritic

7.5/10

Cinemascore

C-

Google User

74%

Nilai pada tabel di atas mungkin berbeda dengan nilai yang dikemukakan oleh masing-masing platform. Pada platform penilaian film yang menampilkan penilaian kritikus, nilai yang ditampilkan pada tabel di atas adalah nilai yang diberikan oleh penonton non-kritikus/user. Nilai yang ditampilkan mengacu pada data termutakhir saat artikel ini dipublikasikan. Maka, nilai yang ditampilkan pada masing-masing platform dapat berubah seiring berjalannya waktu.

10 Intentional Match

Tidak ada banyak informasi mengenai proses pembuatan The Cave khususnya detail mengenai visi para penciptanya. Informasi proses pembuatan yang paling banyak dieksplorasi adalah tentang proses pengambilan gambar di lokasi, bukan alasan-alasan utama film ini dibuat. Maka, cukup sulit untuk mengetahui visi artistik penciptanya. Maka, kita akan menggunakan pengelompokan genre film ini dan materi-materi promosi untuk menentukan standar yang dijanjikan akan dicapai oleh film ini. The Cave merupakan sebuah film Fiksi Ilmiah—Petualangan yang bertajuk Monster dan merupakan sebuah major film (bukan film “murah” kelas B atau film direct-to-DVD). Berdasarkan 9 pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa The Cave tidak berhasil memenuhi atau mencapai standar yang dijanjikan.

Berbeda dengan penelusuran visi artistik, penelusuran visi finansial dari sebuah film jauh lebih mudah dilaksanakan. Semua film yang diproduksi, pada kenyataannya, memiliki tujuan untuk mendatangkan keuntungan finansial. Dapat dipastikan bahwa pencipta The Cave menginginkan film ini sukses secara finansial. Salah satu aktor The Cave, Morris Chesnut, menyatakan bahwa ada kemungkinan sekuel The Cave akan diproduksi apabila The Cave sukses secara finansial. Berdasarkan data penjualan tiket, terlihat jelas bahwa The Cave mengalami kerugian secara finansial sehingga tidak berhasil memenuhi visi finansial penciptanya.

ADDITIONAL CONSIDERATIONS

[Lima poin tambahan ini bisa menambah dan/atau mengurangi sepuluh poin sebelumnya. Jika poin kosong, maka tidak menambah maupun mengurangi 10 poin sebelumnya. Bagian ini adalah pertimbangan tambahan Skywalker, maka ditambah atau dikuranginya poin pada bagian ini adalah hak prerogatif Skywalker, meskipun dengan pertimbangan yang sangat matang]

01 Skywalker’s Schemata

Salah seorang user Instagram yang saya follow mengunggah foto salah satu koleksi DVD miliknya. Cover DVD itu menarik perhatian saya dengan judul besar “The Cave”. Saya tidak memiliki DVD itu dan caption pengguna itu menyatakan kalau The Cave adalah film yang bagus. Saya pun segera menonton filmnya secara online (sebelumnya saya tidak tahu kalau filmnya tersedia secara gratis di YouTube). Hampir semua aspek produksi film ini mulai dari set latar belakang, properti, sampai jajaran aktornya berhasil memikat saya. Akhirnya saya memiliki ekspektasi yang tinggi kepada film ini. Lagipula, pembukaan film ini terlihat bagus dan keseluruhan filmnya tampak menjanjikan. Sampai akhirnya penjelajahan gua yang sebenarnya dimulai. Memang benar kalau berbagai aspek teknis dalam film ini sudah baik. Sayangnya, aspek yang sangat penting yakni dari segi narasi masih belum baik. Narasi yang buruk bisa membuat film dengan aspek teknis sebaik apapun menjadi buruk. Sebaliknya, film dengan aspek teknis yang penuh keterbatasan bisa jadi tetap memukau penonton karena memiliki narasi yang kuat—lihat saja film-film hitam putih yang fenomenal seperti Sunset Boulevard, Casablanca, Night of the Living Dead, dan lain sebagainya yang penuh dengan keterbatasan teknis tetapi memiliki narasi yang baik.

Ada juga film dengan keterbatasan aspek teknis dan narasi yang sederhana tetapi tetap memukau karena mengikuti pola genrenya sendiri seperti Evil Dead. Film pertama Tarantino, Reservoir Dogs, tidak memiliki dana sebesar Kill Bill dan tidak menampilkan adegan spektakuler seperti Kill Bill. Namun, film tersebut tetap memukau karena memiliki narasi yang kuat. The Cave memiliki aspek teknis yang kuat, tetapi narasinya sangat lemah sehingga membuat saya melupakan keunggulan teknisnya dan tetap tidak menyukai filmnya. Hanya karena Jurassic World menggunakan teknologi komputer yang lebih canggih daripada Jurassic Park, bukan berarti Jurssic World otomatis menjadi lebih baik daripada Jurassic Park. Hanya karena The Cave memiliki aspek teknis yang lebih baik daripada The Descent, bukan berarti The Cave otomatis lebih baik daripada The Descent. Ketidaksukaan saya pada The Cave sebetulnya lebih dikarenakan rasa kecewa. Bukan kecewa karena filmnya jauh lebih buruk daripada harapan saya, tetapi kecewa karena saya melihat potensi besar yang disia-siakan.

Sayang sekali sebuah konsep yang menarik dan memiliki potensi besar disia-siakan. Sayang sekali aspek teknis yang luar biasa disia-siakan untuk mengakomodasi cerita yang buruk. Sayang sekali jajaran aktor yang hebat justru diminta memerankan narasi yang buruk. The Cave merupakan sebuah pesta penuh kesia-siaan—sebuah ajang membuang potensi besar-besaran. The Cave merupakan salah satu contoh permasalahan industri perfilman abad 21: bigger does not always mean better. Coba saja kita lihat film-film Godzilla era Heisei yang banyak dipuji. Orang-orang tahu kalau Godzilla itu hanyalah aktor di dalam kostum, tetapi ada cerita menarik di film-film itu—dan juga berbagai ledakan yang cukup spektakuler. Kalau kita melihat pada kasus Madagascar (DreamWorks) vs The Wild (Disney), kembali terlihat jelas bahwa aspek yang paling penting dari film adalah ceritanya. Saya bahkan tidak mempermasalahkan poin dialog sebagai satu penilaian khusus; tetapi saya melihat narasi secara keseluruhan lewat poin Story Logic yang menyesuaikan dengan genre masing-masing. Kembali ke kasus Madagascar vs The Wild, terlihat jelas kalau The Wild lebih unggul dari segi teknologi animasi. Detilnya, gerakan karakternya, dan format presentasinya secara umum. Namun, justru Madagascar yang dipuji oleh penonton. Hal semacam ini selalu terjadi berulang-ulang. Kalau kita mundur lebih jauh lagi, ada kasus Dumbo vs Fantasia. Penonton tidak peduli seberapa hebatnya visual dalam Fantasia. Mereka lebih menyukai narasi yang baik dalam Dumbo—meskipun Dumbo memiliki aspek teknis yang jauh lebih sederhana.

Sayang sekali film dengan visual kelas A justru terlihat seperti sebuah film kelas B karena narasinya. Saya bahkan lebih menyukai film kelas B “murah” berjudul DNA yang dirilis pada tahun 1997 ketimbang The Cave. Oh, agar tidak membandingkan terlalu jauh, saya terkejut ketika mengetahu bahwa The Descent dibuat dengan dana sebesar $7 juta sedangkan The Cave dibuat dengan dana sebesar $30 juta—tetapi The Descent terlihat berkali-kali lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan The Cave.

The Cave is a film that has all the visuals of a Class A movie, but has the story and direction of a B movie. It’s gonna be a good low budget/B movie, but an awful major/Class A movie. The Cave is a worse experience than Anacondas or even the cheap 1997 Sci-Fi Monster movie starring Mark Dacascos, DNA.

02 Awards

The Cave tidak mendapatkan penghargaan yang penting untuk disebutkan.

03 Financial

Dari dana sebesar $30 juta, The Cave hanya berhasil menjual tiket sebesar $33 juta. Bahkan, The Numbers (acuan paling utama artikel ini) memberikan laporan yang lebih mengejutkan yakni total penjualan tiket The Cave hanya sebesar $27 juta. Baik di angka $33 juta maupun $27 juta, keduanya tetap menunjukkan fakta yang sama: The Cave mengalami kerugian dari segi finansial. Angka penjualan DVD serta rental DVD film ini pun tidak menunjukkan adanya fenomena yang signifikan.

Theatrical Performance

Domestic Box Office

$15,007,991

Details

International Box Office

$12,140,000

Details

Worldwide Box Office

$27,147,991

Home Market Performance

Est. Domestic DVD Sales

$12,982,837

Details

Total Est. Domestic Video Sales

$12,982,837

Further financial details...

Opening Weekend:

$6,147,294 (41.0% of total gross)

Legs:

2.44 (domestic box office/biggest weekend)

Domestic Share:

55.3% (domestic box office/worldwide)

Production Budget:

$30,000,000 (worldwide box office is 0.9 times production budget)

Theater counts:

2,195 opening theaters/2,195 max. theaters, 3.4 weeks average run per theater

Infl. Adj. Dom. BO

$21,470,088

04 Critics

Mayoritas kalangan kritikus profesional memberikan tanggapan yang negatif untuk The Cave. Secara umum, para kritikus memuji efek visual The cave tetapi menanggapi keseluruhan cerita dan dialognya dengan negatif.

05 Longevity

The Cave tidak mampu bertahan melawan perubahan zaman. Seiring berjalannya waktu, film ini semakin dilupakan. Tanggapan penonton generasi baru pun secara umum tetap negatif. Sementara The Cave semakin dilupakan, popularitas The Descent masih tetap kuat dan mendapatkan tanggapan yang tetap positif setelah filmnya berusia lebih dari 10 tahun. Padahal, The Cave dibuat dengan dana yang jauh lebih besar daripada The Descent dan memiliki jajaran pemeran yang populer (semisal Lena Headey yang populer lewat serial Game of Thrones).

Final Score

Skor Asli                     : 5.5

Skor Tambahan           : -1

Skor Akhir                  : 4.5/10

***

STREAMING

YouTube [Free] [Selama Tersedia]

***

Edisi Review Singkat

Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Karena menggunakan standar yang baku, edisi review Skywalker akan jauh lebih pendek dari review Nabil Bakri yang lainnya dan akan lebih objektif.

Edisi Review Singkat+PLUS

Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Apabila terdapat tanda Review Singkat+PLUS di bawah judul, maka berdasarkan keputusan per Juli 2021 menandakan artikel tersebut berjumlah lebih dari 3.500 kata.

Edisi Review Singkat+ULTRA

Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Apabila terdapat tanda Review Singkat+ULTRA di bawah judul, maka berdasarkan keputusan per Mei 2022 menandakan artikel tersebut berjumlah lebih dari 5.000 kata.

Skywalker Hunter adalah alias dari Nabil Bakri

Keterangan Box Office dan penjualan DVD disediakan oleh The Numbers

©2005/Sony, Lakeshore Entertainment/The Cave/All Rights Reserved.

©Nabil Bakri Platinum.

Teks ini dipublikasikan dalam Nabil Bakri Platinum [https://nabilbakri.blogspot.com/] yang diverifikasi Google dan dilindungi oleh DMCA.

Nabil Bakri Platinum tidak bertanggung jawab atas konten dari link eksternal yang ada di dalam teks ini—termasuk ketersediaan konten video atau film yang dapat berubah sewaktu-waktu di luar kendali Nabil Bakri Platinum.