Review Film Death in Venice (1971) Remaja Paling Rupawan di Dunia Menjadi Obsesi Seorang Musisi Dunia
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
Review Death in Venice (1971) Remaja Paling Rupawan di Dunia Menjadi Obsesi Seorang Musisi Dunia
Oleh Nabil BakriSkywalker Hunter
Review berikut menggunakan gambar/foto milik pemegang hak
cipta yang dilindungi doktrin fair use. The following review utilizes
copyrighted pictures under the doctrine of fair use.
Karena review berikut melebihi standar panjang Review Singkat
Skywalker namun dengan tetap mengikuti pakem/standar penilaian Skywalker, maka
review berikut dikategorikan sebagai Review
SingkatPLUS
Nama Skywalker Hunter adalah Alias dari Nabil Bakri.
Genre : Drama
Rilis : 1 Maret 1971
Episode : -
Sinopsis
Gustav
Aschenbach adalah seorang musisi yang sukses. Namun belakangan kariernya
menurun dan pementasannya dicaci maki oleh penonton dan kritikus. Gustav
kemudian pergi belibur ke Venesia di musim panas untuk beristirahat karena kesehatannya
menurun dan ia pun sudah semakin tua. Sesampainya di tujuan, Gustav menaiki
sebuah gondola yang akan mengantarkannya dan barang bawaannya ke hotel di Lido.
Begitu tiba di Lido, Gustav harus menukarkan uangnya terlebih dahulu untuk
membayar si pendayung gondola. Setelah uang itu ditukar, Gustav kembali dan
menerima kabar bahwa si pendayung telah pergi karena takut ditangkap—ia adalah
pendayung tanpa surat izin yang sudah diketahui oleh para pendayung lainnya.
Karena Gustav pada akhirnya sampai tujuan secara gratis, seorang petugas
memberikan isyarat untuk memberikan uang gondola itu kepadanya saja—yang
akhirnya Gustav berikan.
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
Musisi
ini menginap di Grand Hôtel des Bains. Ia senantiasa mengamati sekitar dan
suatu ketika pandangannya tertuju pada seorang remaja lelaki 14 tahun bernama
Tadzio yang juga menginap di hotel itu bersama ibu, tiga saudari perempuan, dan
seorang pengasuh. Tadzio mencuri perhatian Gustav karena ia adalah remaja yang
sempurna dengan wajah yang bagaikan diukir oleh dewa dan menyerupai pahatan
patung sempurna era Romawi Kuno. Gustav begitu terpikat dengan keindahan Tadzio
dan mulai merasakan perubahan pada dirinya. Ia mulai sengaja datang hanya untuk
bisa melihat Tadzio bahkan sampai membuntutinya. Ketika Gustav harus pergi
meningglkan Venesia, ia mengucapkan perpisahan kepada Tadzio di dalam hati.
Namun sebelum berangkat, Gustav diberi kabar bahwa kopernya salah kirim dan
akan kembali setelah beberapa hari. Biasanya jika dihadapkan dengan situasi
semacam ini, Gustav akan marah. Namun entah kenapa ia malah senang karena berarti
waktunya di Venesia bisa lebih lama dan bisa melihat Tadzio lebih lama.
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
Selama
berada di hotel dan setiap berpapasan dengan Tadzio, Gustav selalu ingin
menyapa dan berbincang. Namun semua itu dipendam dalam hati sehingga keduanya
sama sekali tidak pernah bertegur sapa. Beberapa kali pandangan Gustav dan
Tadzio bertemu—bahkan Tadzio tahu bahwa Gustav membuntutinya, namun entah
Tadzio menganggap Gustav sebagai orang istimewa atau hanya bagian dari
pengunjung hotel biasa, tak lebih dari orang lainnya. Apalagi, Tadzio memang
cukup populer terutama di kalangan remaja sebayanya. Ketika sedang membuntuti
Tadzio, Gustav tidak hanya membuntuti tapi juga mengamati keadaan kota Venesia
yang kian hari kian memburuk kondisi sanitasinya. Gustav mengamati sekitar dan
menyadari ada yang aneh: orang menyiramkan disinfektan di berbagai tempat
seolah terjadi pandemi. Namun di setiap koran yang ia baca, tidak ada
pembahasan soal pandemi. Setiap kali Gustav bertanya kepada petugas atau orang
biasa, semua menjawab dengan jawaban yang sama bahwa itu hanya tidakan
pencegahan. Namun Gustav benar-benar curiga hingga mendatangi seorang petugas
setelah menukarkan uangnya. Petugas ini berterus terang bahwa wabah kolera
telah menjangkit Venesia dan menasihati Gustav untuk segera pergi meninggalkan
Venesia hari itu juga. Sang musisi merasa desakan batin untuk memberi tahu
keluarga Tadzio selain supaya bisa meminta mereka segera pergi, juga supaya
Gustav akhirnya bisa bicara kepada Tadzio dan setidaknya berkesempatan mengusap
kepalanya. Namun lagi-lagi hal itu tak kesampaian dan kebetulan keluarga Tadzio
juga sudah mau pergi meinggalkan Venesia setelah makan siang. Namun sebelumnya,
Tadzio masih sempat bermain di pantai bersama teman-temannya. Gustav mengamati
Tadzio bermain. Bocah sempurna itu kemudian berkelahi dengan temannya yang
membenamkan wajah Tadzio ke pasir pantai yang basah. Gustav ingin menolong tapi
penyakitnya semakin parah sehingga ia tidak mapu berdiri. Akhirnya Tadzio bebas
dan menyendiri ke arah laut. Dari kejauhan, Gustav melihat sosok sempurna
Tadzio berdiri dengan air laut setinggi lutut dan menunjuk ke cakrawala. Saat
itulah Gustav menghebuskan napas terakhir. Sang musisi meninggal dunia di
Venesia.
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
01 Story Logic
Film
ini diangkat dari novella karangan Thomas Mann. Dalam novella tersebut, tokoh Gustav
von Aschenbach adalah seorang penulis, bukan seorang musisi. Dikisahkan bahwa Thomas
Mann telah membuat sebuah tulisan dengan salah satu karakter seorang lelaki
muda yang sangat rupawan seperti malaikat. Mann pun terpukau ketika melihat seorang
anak lelaki di Venesia karena ia memiliki ciri fisik yang sama sempurnanya
dengan karakter yang ia tulis—seolah-olah deskripsinya di atas kertas menjadi
kenyataan. Dari pengalaman inilah kisah Death in Venice diciptakan. Jika demikian,
maka sebenarnya titik mula ketertarikan Gustav kepada Tadzio akan jauh lebih
masuk akal sesuai logika genre drama realis yang serius apabila film Death in
Venice mengikuti alur cerita dari novela-nya dan pengalaman pribadi penulisnya
karena memang lebih masuk akal dan tidak ambigu. Dalam film, Gustav adalah
seorang musisi yang mana akan mempersulit pencarian titik mula ketertarikannya
kepada Tadzio, apabila ketertarikan ini dimaksudkan “lebih” dari sekadar
ketertarikan seksual. Jika Gustav hanya melihat wajah rupawan lalu tiba-tiba
jatuh hati, maka tidak perlu ada penjelasan panjang lebar mengenai alasan
ketertarikan Gustav dan membuang waktu mengobrak-abrik pemikiran filosofis
mengenai keindahan hakiki. Sederhana saja, seseorang tertarik kepada orang
lain. Musik berbeda dengan karya satra novel atau cerpen sekalipun yang
memiliki karakter. Dalam musik yang diciptakan oleh Gustav, tidak disebutkan
bahwa musiknya menceritakan tentang sesosok karakter yang memiliki keindahan
rupa ilahiah. Ceritanya akan berbeda jika Gustav membuat musik untuk sebuah
opera dengan karakter yang rupawan seperti Tadzio. Maka ketika secara tidak
sengaja ia bertemu dengan Tadzio, ia seketika tertahan perhatiannya dan perlahan
mulai menunjukkan ketertarikan kepada Tadzio.
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
Logika
Death in Venice menjadi tidak masuk akal karena dengan sengaja mengabaikan
narasi yang sejak awal sudah lebih masuk akal. Penulis manapun pasti memiliki
gambaran imajiner tentang karakter yang mereka tulis, dan penulis manapun pasti
akan terkejut jika tanpa sengaja bertemu dengan seseorang yang sama persis atau
sangat mirip dengan imajinasi mereka. Apalagi jika si penulis dan tokoh
imajinernya ini tinggal di satu bangunan yang sama selama beberapa waktu dan
bertemu setiap hari. Tentulah ada rasa ingin tahu dan memungkinkan munculnya
ketertarikan yang lebih jauh. Rasa ingin tahu semacam ini memberi justifikasi
pada tindakan si penulis “membuntuti” karakter imajiner-nya karena ada
kemungkinan ia ingin melihat bagaimana karakternya ini bersikap: apakah seperti
dalam imajinasinya atau berbeda. Selain itu, gerak-geriknya mungkin bisa
memberikan inspirasi untuk melanjutkan cerita yang dia tulis [dalam
novella-nya, kehadiran Tadzio memberi Gustav inspirasi untuk menulis karena
Gustave terinspirasi dari kesempurnaan anak tersebut]. Hal ini membuat alur
cerita lebih masuk akal dan tidak terlalu ambigu. Dialog yang dipakai dalam
film Death in Venice juga ambigu dan kebanyakan tidak masuk akal atau hanya
seperti potongan-potongan pemikiran rancu yang dicampuradukkan. Bahkan aktor
Mark Burns yang berperan sebagai Alfred akhirnya mengakui bahwa ia tidak paham
sama sekali dengan dialognya—entah apa yang dia omongkan. Padahal, Alfred
adalah tokoh sentral yang “memuntahkan” kata-kata filosofis yang sangat penting
untuk memahami karakter Gustav. Setiap kali Gustav dan Alfred berbicara,
keduanya seperti bicara rancu ke sana ke mari tanpa tujuan jelas dan tidak
masuk akal karena omongan mereka terlalu puitis dan mustahil terjadi di
kehidupan nyata—maka dialog keduanya lebih cocok digunakan dalam pementasan
drama/teater ketimbang layar lebar.
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
02 Story Consistency
Alur
cerita film ini kurang konsisten. Hal semacam ini lumrah terjadi apabila suatu
film memiliki kekurangan dari segi logika cerita sehingga kemungkinan besar
mengalami kesulitan dalam merajut narasi menjadi satu kesatuan cerita yang
utuh. Maksud pembuatan film ini juga kurang tegas: apakah sebatas ingin
menunjukkan keindahan Venesia, atau ingin memberikan drama realis yang mendalam
dan life-changing atau setidaknya
menantang penonton untuk merenung atau berargumentasi soal kehidupan. Film ini
menghabiskan terlalu banyak waktu memfilmkan keadaan sekitar ketimbang
memperkuat narasi filmnya. Salah satu tema dan inspirasi dibuatnya film ini
memang soal kalangan borjuis Eropa di masa-masa akhir kejayaannya. Jadi tidak
heran jika sisi ini diekplorasi dalam film ini. Namun eksplorasi yang dilakukan
secara berlebihan justru memecah fokus narasinya dan mengaburkan keterkaitan
antar keduanya: apa hubungannya keruntuhan era para bangsawan dengan seorang
musisi yang terobsesi dengan seorang lelaki muda? Gustav tidak mengalami
depresi karena era borjuis akan berakhir, sehingga sebenarnya tidak terlalu
penting mengeksplorasi tema ini apalagi memberikannya porsi yang besar dalam
film. Namun supaya adil, saya sudah membaca novella-nya karangan Thomas Mann
dan dapat saya simpulkan bahwa novella itu juga kurang konsisten sehingga ending-nya menjadi tidak masuk akal—jadi
masalah ini bukan murni kesalahan filmnya.
03 Casting Choice and Acting
Pemilihan
aktor dalam film ini sebenarnya sudah sangat tepat. Sorotan utama tentunya
adalah aktor Björn Andrésen yang berperan sebagai si remaja rupawan Thaddeus
alias Tadzio. Proses pemilihan Björn juga penuh sensasi dan kontroversi karena
sutradara film ini melakukan sayembara pencarian bocah lelaki muda dengan wajah
paling rupawan [the most beautiful boy]—perlu
diingat bahwa kata kunci dalam cerita ini adalah “Rupawan” atau “Beautiful
[kepada alam, bukan kepada perempuan—nature’s
beauty]” bukan “Ganteng”, “Tampan”, atau “Handsome” sehingga menegaskan
obsesi Gustav pada “Beauty” terlepas dari jenis kelamin pemilik “Beauty” ini.
Selain proses audisinya berpotensi mengarah ke eksploitasi anak dan pedofilia,
sebagian besar kru pembuat film ini—termasuk sang sutradara—adalah kalangan
LGBTQ. Hal yang menimbulkan kontroversi atau masalah bukanlah kehidupan pribadi
para kru-nya, namun cara sang sutradara meyakinkan diri bahwa Björn Andrésen
adalah pilihan tepat dengan mengamati bagaimana para pria gay menyikapi Björn
Andrésen—sang sutradara sampai membawa aktor muda itu ke klub gay yang membuat
sang aktor merasa tidak nyaman. Karena sejak awal sutradara Luchino Visconti
sudah memperlakukan karakter Tadzio seperti objek pajangan ketimbang karakter,
maka akting Björn Andrésen terlihat sangat kaku dan tidak maksimal. Memang
aktor ini tampil sesuai arahan sebagai pemuda rupawan dan teknik pengambilan
gambarnya dipuji karena tiap adegan Björn Andrésen bisa dipotong dan dijadikan
foto hiasan karena nilai estetikanya. Namun, perlu diingat bahwa Death ini
Venice ini adalah sebah film, bukan sebuah majalah. Sehingga, pengambilan
gambar yang menyerupai sesi pemotretan majalah ini sama sekali tidak mendukung
jalannya cerita untuk menjadi lebih dinamis dan lebih logis. Selain itu, aktor Björn
Andrésen juga beberapa kali terlihat tidak nyaman dan tidak tertarik memerankan
Tadzio dilihat dari kikuk-nya aktor ini [padahal Tadzio dalam novella
digambarkan memiliki gerak-gerik yang “bersahaja” tanpa kelihatan “dibuat-buat”
jadi memang Tadzo ini sosok yang sebegitu sempurnanya]. Sebuah film bukanlah
sebuah buku, bukan sebuah sinetron, bukan sebuah majalah atau lukisan. Mestinya
pemilihan Björn Andrésen yang sudah sangat tepat ini diimbangi dengan penulisan
naskah yang lebih baik sehingga akting pemainnya dapat dimaksimalkan. Novella-nya
sendiri sangat minim dengan dialog, tapi itu bukan berarti filmnya harus minim dialog
juga. Sebuah film punya hak creative
license yang menjustifikasi perubahan tertentu dari media sastra ke film. Aktor
lain yang banyak berdialog juga tampak kurang baik dalam memerankan karakternya
dan benar saja, aktor Mark Burns bahkan tidak paham denga dialognya sendiri. Diksi
yang dipakai juga seperti teks novel atau drama, sehingga sangat cocok untuk
dipentaskan di panggung, tapi tidak cocok dalam format layar lebar/film.
Misalnya saja adaptasi drama Shakespeare, tentu akan mengubah habis-habisan
dialognya untuk diangkat ke film, kecuali beberapa pengecualian seperti
adaptasi Romeo+Juliet tahun 1996 yang
menggunakan dialog sama dengan dramanya. Meski demikian, film itu juga mengubah
banyak hal, misalnya ada mobil di cerita Romeo+Juliet.
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
04 Music Match
Tidak
ada keluhan di pemilihan musik.
05 Cinematography Match
Tidak
ada keluhan dalam poin sinematografi. Justru, sinematografi film ini sangatlah
kuat karena mampu menangkap keindahan kota Venesia dan keindahan rupa Tadzio.
Sayangnya, nyaris semua adegan direkam secara perlahan. Maksudnya adalah supaya
penonton bisa benar-benar menghayati keadaan masyarakat di era kaum Borjuis [immersed] namun seringkali pengambilan
gambarnya terlalu lambat dan serasa dilambat-lambatkan. Apalagi, sinematografi
yang sangat indah ini tidak mendukung kualitas narasinya. Dalam film Titanic, misalnya, sutradara James
Cameron juga ingin membuat penonton merasa immersed
dengan keagungan kapal Titanic, tapi bukan berarti kapalnya direkam perlahan
dari ujung depan ke belakang sehingga adegan ketika Titanic melaju di laut
hanya berlangsung beberapa detik namun efektif karena berhasil memberikan
nuansa immersive kepada penonton dan
menghadiahi Titanic piala Oscar untuk
sinematografi terbaik. Film berbeda dengan buku karena durasinya terbatas. Film
harus tetap memikat perhatian penonton sehingga adegan yang terlalu
berlarut-larut berpotensi mengurangi minat penonton. Jika minatnya sudah
berkurang, maka besar kemungkinan penonton akan gagal menangkap keindahan
filmnya secara keseluruhan/utuh. Misalnya, banyak penonton sudah “bosan”
melihat adegan awal The Tree of Life.
Padahal, begitu filmnya masuk ke permasalahan, filmnya sangat menarik. Namun
penonton banyak yang sudah “terlanjur” tidak peduli sehingga kadar apresiasinya
untuk cerita yang menarik di The Tree of
Life menjadi berkurang juga. Contoh lain adalah film The Hobbit: An Unxexpected Journey. Film ini penuh dengan aksi,
sehingga penonton sejak awal sudah berharap melihat banyak aksi. Apakah tidak
ada aksi di filmnya? Nyatanya The Hobbit
memang menampilkan banyak aksi, namun ditampilkannya terlambat sehingga
perasaan excitement penonton sudah
berkurang—ibarat excitement naik
roller coaster sudah berkurang setelah antre selama satu jam di bawah terik matahari.
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
06 Costume Design
Tidak
ada keluhan dalam poin pemilihan kostum. Pemilihan kostum untuk karakter Tadzio
dipuji karena sangat sesuai dan meningkatkan nilai estetika tampilannya—menguatkan
pesan bahwa tokoh ini adalah sosok yang tanpa cela. Selain itu, kostum untuk
para Borjuis secara umum sudah sangat baik.
07 Background/Set Match
Tidak
ada keluhan dalam pemilihan latar belakang.
08 Special and/or Practical Effects
Tidak
ada keluhan dalam penggunaan efek dan hasil akhir presentasi filmnya.
09 Audience Approval
Film
ini memang tidak masuk kategori populer sehingga tidak banyak yang menontonnya.
Meski begitu, mereka yang menonton sebagian besar memberikan tanggapan positif.
Di Jepang, terutama, film ini dipuji dan menjadi acuan gaya pembuatan manga Bishounen berdasarkan keindahan rupa Tadzio.
Keindahan rupa yang semacam ini digambarkan mampu memikat siapa saja tak peduli
sex atau gender.
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
10 Intentional Match
Film
ini gagal dalam menangkap esensi dari novella yang merupakan sumber ceritanya.
Luchino Visconti seperti ragu untuk memilih satu tujuan yang jelas mengapa ia
menyutradari film ini: apkah ingin memperlihatkan keindahan Venesia di masa
lalu ketika para borjuis masih memiliki posisi puncak sekaligus memperlihatkan
transformasi Venesia dari sebuah kota yang penuh keindahan menjadi penuh
ketakutan atau kekosongan saat wabah menjangkit—atau ingin menceritakan
pikiran-pikiran serta perasaan Gustav terhadap seni, keindahan, dan terhadap
Tadzio? Lantas apakah Luchino ingin lebih setia kepada novella dalam
menggambarkan kompleksitas hubungan serta pergulatan batin dan psikologis
Gustav dengan Tadzio atau sebatas ingin menyederhanakannya menjadi ketertarikan
seksual Gustav terhadap Tadzio? Film Death in Venice tidak mampu
mempresentasikan kedalaman narasi novellanya—yang sebenarnya juga tidak dalam
dan bertele-tele—apalagi dengan singkatnya sumber cerita [kurang lebih 50
halaman dalam versi bahasa Inggris] yang dibarengi dengan lamanya durasi film.
Death in Venice melewatkan banyak poin penting pergulatan pikiran Gustav yang
cenderung mengarah ke pergulatan pemikiran intelektual yang filosofis mengenai
apa itu keindahan dan hubungannya dengan manusia dan seni.
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
ADDITIONAL CONSIDERATIONS
[Lima poin tambahan ini bisa menambah dan/atau mengurangi sepuluh poin sebelumnya. Jika poin kosong, maka tidak menambah maupun mengurangi 10 poin sebelumnya. Bagian ini adalah pertimbangan tambahan Skywalker, maka ditambah atau dikuranginya poin pada bagian ini adalah hak prerogatif Skywalker, meskipun dengan pertimbangan yang sangat matang]
Ringkasan Skywalker's Schemata [a summary of Skywalker's thoughts about the film] |
01 Skywalker’s Schemata [Death in Venice and Our Fascination[s] for Beauty, Perfection, and Agony]
Saya
adalah orang yang dengan tegas menolak gagasan bahwa orientasi seksual
seseorang selain straight adalah bawaan—sampai kapanpun ilmuwan mencoba, saya jamin tidak akan
ditemukan gay gene atau bagian DNA
yang menyebabkan seseorang lahir sebagai gay—mau bagaimanapun, gen jantan dan
betina itu ada untuk melengkapi dan memiliki keturunan sehingga default
biologis semua manusia adalah lelaki dan perempuan bersatu supaya beranak
[sebuah tipe komputer Lenovo dibuat dengan default yang sama persis]. Namun
saya adalah orang yang praktis, maka dengan melihat anatomi tubuh manusia, saya
berpendapat bahwa ilmuwan ini tidak usah jauh-jauh mencari misteri bagaimana
seorang manusia menjadi gay karena secara anatomi, menjadi gay bukanlah hal
yang mustahil [meski komputer Lenovo tadi memiliki aturan default, namun seiring
berjalannya waktu seorang user bisa melakukan customization karena
memang memungkinkan secara teknis meskipun bukan default-nya]. Tubuh manusia tetap mampu mengirimkan sinyal
kenikmatan asalkan titik-titik tertentu diberi rangsangan—terlepas dari siapa
yang memberikan rangsangan itu. Selain itu, manusia secara naluriah tertarik
dengan keindahan. Otak kita bisa menilai keindahan fisik universal secara
otomatis yang bisa dijelaskan dengan perhitungan Golden Ratio yang berlaku
untuk laki-laki maupun perempuan. Maka tak jarang seorang perempuan yang merasa
tersipu atau kagum melihat perempuan lain yang jauh lebih cantik, atau
laki-laki yang memiliki “male crush”
namun itu semua sifatnya bukan seksual, melainkan obsesi atau ketertarikan
kepada keindahan secara umum. Seorang penggemar juga bisa terobsesi dengan
idolanya dan merasa memiliki, merasa ingin melindungi, merasa dekat, dan lain
sebagainya—bahkan sampai menguntit/stalking,
namun semua itu bisa dirasakan tanpa adanya hasrat seksual [meski tidak menutup
kemungkinan juga adanya hasrat seksual].
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
Maka
jika sutradara Death in Venice yang merupakan seorang biseksual ingin membawa
film ini ke arah yang demikian, saya siap meladeni dengan pikiran terbuka. Apalagi
saya juga mengamati skala Kinsey dan saya menganggap perubahan peferensi
seksual seseorang bisa senantiasa berubah [sexual fluidity] dan faktor paling
utama di luar anatomi tadi adalah faktor psikologis. Bagaimanapun juga, manusia
secara alami dilahirkan berpasangan untuk melanjutkan keturunan—selain itu
adalah variasi perilaku manusia yang mungkin dilakukan, tetapi tidak bisa
dijadikan standar atau dianggap normal [bukan default]. Namun pada
akhirnya saya malah mendapat kekecewaan karena film ini kosong secara narasi
dan kacau proporsinya antara dialog dan rekaman pemandangan. Setelah selesai
membaca novella Death in Venice, saya justru menjadi semakin kecewa dengan film
ini dan mencurigai motivasi Luchino dalam membuat film ini apalagi film ini
ternyata melukai mental Bjorn Andersen, si pemeran Tadzio. Entah disengaja atau
karena ketidakpahaman, Luchino gagal menerjemahkan makna novella Death in
Venice. Hal ini sungguh disayangkan karena fillm ini telah berhasil secara
visual menampilkan apa yang dideskripsikan oleh novella-nya. Namun karena
maknanya berbeda, seolah-olah film ini melakukan gerakan yang sama dengan
novella, tapi dialognya diganti. Misalnya, dalam novella Gustav menikmati stroberi, di filmnya juga
Gustav menikmati stroberi, namun alasan kenapa ia memakan stroberi bisa berbeda
antara film dan novela, ibarat satu film yang sama kemudian disulih-suara ke
bahasa yang berbeda dengan menggunakan naskah dari film lain—seperti dagelan
video film asing yang diunggah ke YouTube setelah diganti bahasanya dengan
lelucon bahasa Jawa atau Indonesia sehingga sama sekali tidak merepresentasikan
esensi cerita produk aslinya padahal filmnya sama.
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
Saya
juga tidak menyukai tendensi menyederhanakan sebuah fenomena psikologis yang
kompleks menjadi seksual—sama seperti saya mulai menggelengkan kepala begitu
Freud mulai mendasari apa-apa kepada sex. Film Death in Venice menurunkan atau
menyederhanakan kompleksitas obsesi manusia pada keindahan dengan
mengarahkannya kepada nafsu seksual. Dalam novella Death in Venice, ketakjuban
Gustav kepada Tadzio tampaknya tidak berada tepat pada posisi hasrat seksual
dan lebih mengarah kepada kecintaan, ketertarikan, atau obsesi seseorang kepada
kesempurnaan—Tadzio digambarkan tidak hanya “Ganteng” saja, yang mana tidak
membuat Gustav tertarik, tetapi benar-benar “sempurna” pada level divine
alias ilahiah. Bayangkan saja jika
semua kesempurnaan dunia diwujudkan dalam satu sosok manusia, tentu akan
membuat orang takjub regardless of the
sex. Narcissus mencintai bayangannya bukan karena bayangan itu laki-laki,
tetapi karena bayangan itu terlalu sempurna baginya sehingga ia menjadi
terobsesi [soal Narcissus juga dibahas dalam novella, namun tidak dalam film].
Judul lain artikel ini, sumber foto tertera. Credits added permanently onto the photograph. |
Menceritakan
tentang obsesi seseorang tanpa tudingan hasrat seksual memang cukup sulit,
apalagi di era post-modern yang apa-apa diasosiasikan dengan sex [bahkan
keaguman Dumbledore pada Grindelwald tidak boleh lagi sebatats seorang lelaki mengagumi temannya, tapi harus
ada unsur hasrat seksual, maka Dumbledore menjadi gay di tahun 2007, LeFou dari
Beauty and the Beast menjadi gay di
2017, dan seterusnya: sesuatu yang sebetulnya bukan bersifat seksual namun
selalu diarahkan ke seksual]. Maka jujur saja saya bahkan sempat berpikir
jangan-jangan si penulis novella menggunakan tokoh utama laki-laki bukannya perempuan
karena tidak ingin orang/pembacanya langsung
berasumsi bahwa obsesi atau ketertarikan [fascination]
kepada keindahan [beauty] itu selalu bersifat seksual karena jika Gustav adalah
perempuan, makan akan jelas adanya indikasi ketertarikan seksual karena
ketertarikan seorang perempuan kepada laki-laki adalah hal yang wajar [default]
meski si penulis bisa saja menjelaskan bahwa perasaan cinta wanita ini adalah
seperti “kasih ibu”—yang lucunya juga dipakai dalam novella aslinya yakni
“kasih ayah”. Apabila semua obsesi ini disederhanakan menjadi ketertarikan
seksual, maka timbul masalah baru yakni Gustav bukan lagi bagian dari LGBTQ
tetapi pedofil karena Tadzio masih berusia 14 tahun—bahkan inspirasi karakter
Tadzio dicurigai lebih muda lagi sekitar 11 atau 12 tahun. Namun penyederhanaan
semacam ini akan membuat orang gagal melihat bentuk keindahan atau kesempurnaan
lainnya selain kesempurnaan fisik yakni kemurnian atau kesucian seorang anak.
Tadzio tidak hanya rupawan, namun juga sedang berada di usia yang masih inosen.
Hal ini semakin menguatkan aura ilahiah
Tadzio dan semakin menggugah pikiran-pikiran Gustav yang merupakan seorang
penulis dengan membanding-bandingkan situasi yang dialaminya dengan para dewa
Yunani [tidak ada di film].
Menyambung
soal “kasih ayah” yang memang disebutkan secara gamblang di novela-nya,
sebenarnya novela ini juga tidak konsisten karena perasaan Gustav terus berubah
dan semakin tidak konsisten [jika membaca dalam novella, kerancuan ini mungkin
disebabkan oleh penyakit Gustav]. Tidak konsisten karena pada akhirnya Gustav
menemukan cedera pada Tadzio dari susunan gigi dan warna kulitnya sehingga ia
menyimpulkan bahwa Tadzio akan sakit-sakitan dan tidak akan berumur panjang.
Karena Gustav adalah seorang penulis yang terobsesi pada keindahan, pikiran
bahwa keindahan sempurna seperti Tadzio tidak akan lama ada di dunia menjadi
menyakitkan. Maka ketika Venesia dilanda wabah yang dirahasiakan oleh
pemerintah, Gustav merasa desakan batin untuk meminta ibu Tadzio supaya segera
pergi meninggalkan Venesia. Motivasinya untuk ingin meminta Tadzio pergi
menjadi sangat jelas—yang sayangnya tidak ada di dalam film. Karakter Gustav
dalam novela juga merupakan stereotip seorang penulis yang sering digambarkan
dalam fiksi, yakni mereka senantiasa mengamati dan mencoba menebak kepribadian
dan kehidupan seseorang hanya dari melihat gerak-geriknya. Dalam film My House in Umbria, misalnya, karakter
wanita tua penulis yang diperankan oleh Maggie Smith senantiasa merasa superior
karena bisa “membaca seseorang”. Tidak mengherankan juga penulis sering
digambarkan cukup dramatis dan cenderung berlebihan. Dalam adegan sederhana di Life of Pi saja, tokoh penulis yang
diperankan oleh Rafe Spall mengatakan bahwa tulisannya “muntah dan tewas”—tentu
berlebihan hanya untuk berkata “saya bingung mau menyelesaikan tulisannya
bagaimana”.
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
02 Awards
Film
ini memenagkan 4 BAFTA, 4 Nastro d’Argento, dan penghargaan lain serta beberapa
nominasi termasuk nominasi kostum terbaik dalam Oscar. Film ini dipuji dari
bagin artistik terutama sinematografi.
03 Financial
Dari
dana sebesar $2 juta, film ini tercatat meraup sebesar $67,233. Dari angka yang
ditampilkan beberapa situs penghitung pendapatan bioskop, memang terlihat jelas
bahwa film ini tidak sukses secara finansial.
04 Critics
Mayoritas
kritikus memberikan tanggapan positif untuk film ini.
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
05 Longevity
Film
ini tidak bertahan dengan baik melawan gempuran zaman kecuali pemilihan Bjorn
sebagai Tadzio yang sampai sekarang masih dianggap sebagai salah satu orang
paling rupawan [the most beautiful boy in the world]. Alur cerita dan proses
pembuatan film ini bukannya kian dikenang malah kian dipertanyakan dan
menimbulkan kontroversi. Memang, ada basis penggemar untuk film ini, namun
basisnya cenderung “eksklusif”—cult following,
sehingga menjadikan Death in Venice sebagai sebuah cult classic.
Final Score
Skor
Asli : 7
Skor
Tambahan : -2
Skor
Akhir : 5/10
Spesifikasi DVD
Judul : Death in Venice
Rilis : 19 Februari 2019
Format : DVD
Kode
Warna : -
Fitur : https://www.criterion.com/films/28699-death-in-venice
Support :
Windows 98-10 [VLC Media Player], DVD Player, HD DVD Player [termasuk X-Box
360], Blu-ray Player [termasuk PS 3 dan 4], 4K UHD Blu-ray Player [termasuk PS
5].
Untuk informasi lebih lanjut mengenai Spesifikasi DVD, kunjungi profil instagram @skywalkerhunter95
***
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |
Edisi Review SingkatPLUS
Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar
penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa
untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi.
(C) 1971/Warner Bros./all rights reserved./The Criterion Collection. |