Mengapa Ada Ular Anaconda di Film Anacoda 2 Padahal Tidak Ada Anaconda di Kalimantan? [There is no anaconda in Borneo, but why the movie Anacondas shows the snakes in the island?]
Oleh
Film Anaconda yang dirilis pada tahun
1997 berlatar tempat di hutan Amazon, Brazil. Di hutan tersebut memang dikenal
luas merupakan habitat ular anaconda yang merupakan jenis ular terbesar di
dunia. Maka wajar saja jika monster ular yang ditampilkan dalam film Anaconda adalah anaconda raksasa. Film Anaconda sukses di pasaran dan sekuelnya
pun dirils pada tahun 2004. Meskipun sekuel tersebut sama-sama sukses, ada hal
yang berbeda dan mengganjal dalam film tersebut. Selain sekuel ini lebih
mengarah ke sebuah Spin-off [tidak
melanjutkan cerita di film pertamanya], film ini juga mengubah latar tempat
yang sebelumnya Amazon menjadi pulau Kalimantan [Borneo]. Pemindahan lokasi ini
tentunya menimbulkan pertanyaan besar karena ular anaconda itu sendiri tidak
ada di pulau Kalimantan. Kalau memang demikian, lantas mengapa pembuat film Anacondas: The Hunt for the Blood Orchid
atau Anaconda 2 menggunakan latar
tempat Kalimantan? Apakah ini karena sutradaranya tidak tahu [karena
ketidaksengajaan atau terjadi kesalahan], atau memang disengaja? Kalau
disengaja, apa alasannya?
Untuk memahami ini, kita perlu
lebih dulu memahami apa genre filmnya: apakah sebuah Fiksi Ilmiah yang
mengarah pada Dokumenter sehingga mengedepankan fakta atau dugaan
atas dasar yang kuat [disebut dengan istilah Hard Scince Fiction]
[misalnya Interstellar, Gravity, The Martian, atau The Matrix], atau Fiksi
Ilmiah—Petualangan yang mengedepankan Fiksi. Dalam situs IMDb, Anacondas: The Hunt for the Blood Orchid
justru disebut sebagai film dengan genre Aksi—Petualangan—Horror sementara
di Wikipedia hanya sebagai Petualangan—Horror, dan menurut pengamatan
saya seharusnya genre film ini adalah Fiksi Ilmiah—Petualangan. Dilihat dari
genrenya, tidak masuk akal jika penonton berharap film ini akan Akurat atau
memiliki alur cerita yang senyata mungkin [keberadaan ular raksasa semacam itu
saja sudah tidak masuk akal]—tapi kembali lagi, genre film seperti ini memang
bukan untuk menyajikan Fakta, tetapi untuk memberikan Fiksi yang menarik bagi
penonton. [The Blood Orchid dinyatakan sebagai bunga
keabadian—memangnya bunga seperti itu betulan ada?]
Dalam film Anacondas: The Hunt for the Blood Orchid, tidak hanya kesalahan bahwa tidak ada anaconda di Borneo, tetapi juga ada kesalahan lain seperti adanya harimau Bengal dari India [di Borneo sendiri dahulu terdapat Macan Borneo tetapi sudah punah]. Ada seekor Laba-Laba Batu yang sebetulnya Laba-Laba Golden Silk Orb, dan masih ada kesalahan lainnya—termasuk adanya Anaconda yang menelan mangsa tanpa dililit dulu: "When Gordon gets eaten by the snake the snake carries him up and swallows him whole without constricting. Anacondas usually constrict their pray even if it isn't putting up a struggle [Ketika Gordon disantap oleh ular, ular itu menyeretnya dan langsung menelannya tanpa dililit. Biasanya, anaconda akan melilit mangsanya meskipun si mangsa tidak melawan]."
[image: ilustrasi Macan Borneo
oleh Hodari Nundu]
Apakah pembuat filmnya tidak
sadar dengan kesalahan-kesalahan ini? Sepertinya sadar—bahkan isu ini telah
disinggung oleh para pembuat filmnya sendiri di dalam dokumenter behind the scenes of Anacondas;
kesalahan-kesalahan ini seperti disengaja karena alasan artistik demi
mendukung jalannya cerita dan nuansa ceritanya agar konsisten dengan film
pertamanya yang telah menjadi sebuah Cult Classic [film yang
dibenci kritikus tetapi seiring berjalannya waktu memiliki basis penggemar yang
besar]. Apabila diperhatikan, nuansa film ini memang mirip dengan film
pertamanya, berbeda jauh dengan film Anaconda
ke-3 dan ke-4. Film-film
Petualangan semacam ini umumnya menggunakan pakem cerita yang awalnya
dipopulerkan oleh Sir Arthur Conan Doyle lewat ceritanya The Lost World—mengeksplorasi
misteri-misteri di kawasan-kawasan yang tak terjamah manusia, menampilkan
keanehan-keanehan yang tidak seharusnya terjadi. Pengubahan fakta dengan alasan
artistik semacam ini tidak hanya dilakukan oleh film Anacondas: The Hunt for the Blood Orchid saja. Ada banyak sekali
film yang melakukan hal serupa karena pembuat film memiliki sebuah hak kreatif
yang dinamai creative license—selama hak tersebut digunakan untuk mendukung
jalannya cerita. Di dalam film Indiana
Jones and the Temple of Doom, misalnya, Indiana Jones mengatakan bahwa ada
sekelompok kelelawar Vampir raksasa yang berterbangan. Hal itu tentu saja salah
karena tidak ada kelelawar Vampir raksasa. Kelelawar Vampir memiliki ukuran
tubuh yang sangat kecil dan kelelawar yang diperlihatkan dalam film itu adalah
kelelawar buah—dan ini memang disengaja oleh pembuat filmnya [dibahas dalam
dokumenter yang dirilis tahun 2003]. Dalam film Jurassic Park yang sangat populer
pun terjadi pengubahan yakni Velociraptor
yang pada kenyataannya berukuran kecil diganti dengan Deinonychus,
tetapi nama Deinonychus kurang “keren” atau tidak semenarik nama Velociraptor.
Jadi, kesimpulannya, nikmati saja
filmnya tanpa terlalu memikirkan akurasinya—toh film ini ada dalam genre yang
mengedepankan Fiksi untuk menghibur, bukan untuk mengedukasi. Kreator film ini
juga sudah memodifikasi tampilan fisik ular anaconda di film ini agar tidak
terlalu mirip dengan ular anaconda yang asli [jika diperhatikan, ular dalam
film Anaconda 2 memiliki bentuk fisik
yang berbeda dengan ular di film pertamanya]. Selain itu, meskipun ini adalah
sekuel dari Anaconda 1997, tetapi
ceritanya sama sekali tidak berhubungan sehingga tidak membentuk sebuah
Extended Universe yang mana satu film memengaruhi film lainnya [sehingga tidak
perlu ditanyakan Kenapa di film pertama Anaconda ada di Amazon, sedangkan film
ke dua ada di Borneo—unrelated—satu-satunya koneksi adalah Cole Burris
dalam The Hunt for the Blood Orchid "pernah dengar"
berita kejadan Anaconda 1997 dari temannya].
Semoga sedikit membantu, Cheers…