©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
Oleh Nabil BakriSkywalker Hunter
Edisi Review Singkat+PLUS
“And
below the hilt, in letters of gold: "Whoso pulleth out this sword from
this stone and anvil is rightwise king, born of England." Though many
tried for the sword with all thier strength, none could move the sword. So the
miricle had not worked. And in time, the marvelous sword was forgotten. This was
a Dark Age, without law, and without order. The strong preyed upon the weak.”—Narrator
Review berikut menggunakan gambar/foto milik pemegang hak
cipta yang dilindungi doktrin fair use. The following review utilizes
copyrighted pictures under the doctrine of fair use.
Genre : Komedi
Fantasi—Musikal [Animasi Tradisional/Hand-drawn Animation]
Rilis :
Domestic Releases: |
December 25th, 1963 (Wide) by Walt Disney |
March 20th, 2001 by Walt Disney Home Entertainment,
released as Sword in the Stone, The |
|
MPAA Rating: |
G 1972 Rating -
Re-Issue from 1963 |
Durasi : 79 menit
Sutradara : Wolfgang Reitherman
Pemeran : Rickie Sorensen, Karl
Swenson, Junius Matthews, Sebastian Cabot, Norman Alden, Martha Wentworth
Episode : -
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
Sinopsis
Pada zaman dahulu ketika Inggris “masih muda” dan para ksatrianya berperilaku gagah berani, Raja yang baik hati meninggal tanpa memiliki ahli waris. Inggris kemudian berada dalam kekacauan dan hanya dapat dipersatukan oleh sebuah keajaiban. Maka, muncullah sebuah keajaiban berupa sebuah pedang yang menancap di sebongkah batu—pedang Excalibur. Barang siapa berhasil mencabut pedang tersebut akan diangkat menjadi Raja Inggris. Namun setelah bertahun-tahun para ksatria berkelana dan mencoba mencabutnya, tidak ada seorang pun yang berhasil. Legenda pedang itu pun perlahan dilupakan dan Inggris tenggelam dalam kegelapan tanpa pemimpin yang jelas. Di wilayah Christendom, hidup seorang remaja kurus bernama Arthur yang diasuh oleh Sir Ector, seorang pengurus kastil yang merupakan ayah angkat Arthur dan ayah dari seorang pemuda arogan bernama Sir Kay. Meskipun Arthur secara teknis telah menjadi anak asuh Sir Ector, Arthur diperlakukan seperti seorang pembantu. Karena tubuhnya kurus dan sering melakukan kesalahan saat bekerja, Arthur dipanggil dengan julukan Wart—si Kutil. Ketika sedang mendampingi Kay berburu rusa di pinggir hutan, Arthur tanpa sengaja terjatuh dari pohon dan menimpa Kay. Akibatnya, anak panah Kay hilang di dalam hutan dan Kay gagal berburu rusa. Arthur berniat untuk bertanggung jawab dengan pergi ke dalam hutan untuk mengambil kembali anak panah Kay—meskipun Kay sendiri menyebutnya gila karena hutan itu sangatlah berbahaya.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
Di
dalam hutan terdapat sebuah pondok kecil milik penyihir sakti bernama Merlin dan
burung hantu peliharaannya yang dapat berbicara, Archimedes. Merlin memiliki
kemampuan meramal masa depan dan ia meramalkan bahwa seorang anak kurus akan
tiba di pondoknya dan Merlin akan menjadi guru bagi anak itu karena si anak
akan ditakdirkan menjadi seorang pahlawan yang penting. Benar saja, Arthur tidak
sengaja terperosok ke dalam rumah Merlin akibat jatuh dari atas pohon saat
mencoba mengambil anak panah Kay. Merlin memperkenalkan dirinya kepada Arthur
dan menawarkan diri untuk mendidik Arthur agar anak itu bisa benar-benar
menjadi sosok yang berpengaruh di masa depan. Karena Arthur masih punya banyak
tugas di kastil, Merlin bersedia ikut ke kastil dan mendidik Arthur di sana.
Sesampainya di kastil, Sir Ector langsung memerintahkan Arthur untuk
menyelesaikan tugas-tugasnya dan meminta Merlin untuk pergi. Pada mulanya, Sir
Ector tidak percaya kalau Merlin adalah seorang penyihir yang sakti sampai
Merlin menunjukkan kemampuan sihirnya. Setelah itu, barulah Sir Ector
mengizinkan Merlin tinggal di istananya karena khawatir Merlin memiliki ilmu
hitam yang berbahaya dan akan mencelakainya jika diusir dari kastil. Sir Ector
yang dikenal “pelit” memberikan “kamar terbaik” untuk Merlin di menara kastil
itu—padahal sebenarnya kamar itu ada di dalam menara yang rusak parah dan sudah
hampir runtuh. Ketika badai menerjang, menara tempat tinggal Merlin kebanjiran
karena atapnya rusak parah dan mengalami kebocoran di semua sudutnya.
Akibatnya, Merlin tidak bisa tidur. Di saat Merlin sibuk menampung air hujan
yang memasuki kamarnya, ia melihat sahabat Sir Ector yang bernama Sir Pellinore
mengunjungi kastil dengan membawa berita yang sangat besar dari London. Merlin
yang ingin tahu tentang berita itu meminta Archimedes, burung hantunya, untuk
pergi menyelidiki.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
Sir
Pellinore memberitakan bahwa akan diselenggarakan sebuah turnamen ksatria di
London untuk menentukan siapa Raja Inggris yang berikutnya. Dalam turnamen
tersebut, pesertanya cukup memenangkan turnamen tanpa harus berhasil mencabut
pedang Excalibur. Sir Ector amat gembira mendengar kabar tersebut karena ia
yakin bahwa puteranya, Kay, bisa ikut dalam turnamen dan menjadi pemenang.
Mulai saat itu, latihan fisik Kay akan ditingkatkan dan Arthur ditunjuk sebagai
pendamping Kay dalam turnamen ksatria di London. Sementara Arthur yakin bahwa
pendidikan yang terbaik adalah adu ketangkasan untuk menjadi ksatria, Merlin
bertekad menunjukkan kepada Arthur bahwa kekuatan fisik bukanlah segalanya.
Agar menjadi manusia yang berpendidikan, Arthur harus menggunakan akalnya dalam
memecahkan berbagai masalah di sekitarnya. Merlin lantas mengubah Arthur
menjadi seekor ikan untuk berpetualang di sekitar parit yang mengelilingi
kastil. Ketika menjadi seekor ikan, Arthur banyak belajar tentang menggunakan
akalnya ketika harus berhadapan dengan ikan predator. Petualangannya bersama
Merlin membuat Arthur terlambat mendampingi Kay latihan berkuda. Akibatnya, Sir
Ector justru menambah hukuman bagi Arthur dan menganggap semua petualangan
sihirnya sebagai kebohongan. Arthur diharuskan mencuci semua perkakas di dapur
yang jumlahnya sangat banyak dan ia tidak diperbolekan pergi sebelum
menyelesaikan semua tugasnya. Merlin harus segera mendidik Arthur, maka ia
menggunakan sihir untuk menggantikan pekerjaan Arthur dan mengajak anak itu
bertualang ke hutan. Kali ini, Merlin mengubah Arthur menjadi seekor tupai.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
Sama seperti kasus sebelumnya, pelajaran dari Merlin justru membuat Arthur tertimpa masalah. Kali ini, Sir Ector membatalkan perintahnya memberangkatkan Arthur ke London dan menunjuk Hobbs sebagai penggantinya. Hal itu membuat Arthur menjadi sangat sedih. Merlin berusaha menghiburnya sekaligus melanjutkan upayanya mendidik Arthur. Setelah mengubah anak itu menjadi seekor ikan dan tupai, kini Merlin mengubahnya menjadi seekor burung. Celakanya, Arthur diserang oleh seekor burung rajawali dan ia terperosok ke dalam rumah Madam Mim, seorang nenek sihir yang jahat dan menyukai kekacauan. Melihat hal itu, Archimedes bergegas melapor kepada Merlin. Akhirnya, Merlin dan Madam Mim berhadapan dalam sebuah duel maut penyihir. Siapakah yang akan memenangkan duel tersebut? Bagaimana dengan nasib Arthur? Apakah ia akan kembali ditunjuk sebagai pendamping Kay dan berangkat ke London? Apakah ramalan Merlin bahwa Arthur ditakdirkan menjadi seorang pahlawan akan benar-benar menjadi kenyataan?
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
01 Story Logic
The
Sword in the Stone merupakan sebuah film Komedi Fantasi yang disajikan dalam
bentuk Animasi Musikal. Meskipun pola genre Fantasi adalah aturan-aturan dunia
Fantasi yang serius dan konsisten seperti dalam cerita The Lord of the
Rings, Harry Potter, Eragon, dan lain
sebagainya, pola genre Komedi yang juga menanungi The Sword in the Stone
memperbolehkan film ini untuk tampil lebih sederhana dan lebih ringan. Dalam
film ini diperlihatkan bahwa negeri Camelot merupakan negeri yang mendapat
berkat berupa pedang Excalibur—berkat keajaiban semacam ini sangat erat
kaitannya dengan keajaiban yang berasal dari agama, bukan dari ilmu sihir
seperti dalam kebanyakan cerita Fantasi. Di dunia nyata sendiri ada banyak umat
beragama yang meyakini adanya benda-benda pusaka yang dikirimkan oleh Tuhan
atau Dewa, atau mukjizat yang diberkan kepada para Rasul oleh Tuhan. Keberadaan
pedang Excalibur dalam kisah King Arthur lebih menyerupai sebuah mukjizat
semacam ini daripada hasil ciptaan sosok Fantasi seperti Sauron yang menciptakan
Cinci Utama. Dapat dikatakan bahwa Excalibur lebih menyerupai Tongkat Musa yang
diberikan oleh Tuhan daripada tongkat Harry Potter yang dibeli di toko
Ollivander. Karena keajaiban yang berkaitan dengan agama itu sifatnya mutlak,
tidak perlu ada penjelasan yang terlalu mendalam tentang kemunculannya.
Maksudnya, tidak perlu ada penjelasan yang mendalam tentang alasan kemunculan
Excalibur dan bagaimana pedang itu bisa menancap di batu: “tanya saja pada Yang
Di Atas”. Itulah sebabnya Excalibur, dalam film ini, dinyatakan sebagai sebuah
“miracle” yang dalam bahasa Indonesia bisa berarti “keajaiban” atau
“mukjizat”—dilihat dari konteksnya, terjemahan yang paling tepat adalah
“mukjizat” karena Excalibur datang dari Tuhan untuk menuntun manusia menemukan
pemimpin yang tepat sehingga mereka terbebas dari zaman kegelapan.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
Karena
dunia The Sword in the Stone adalah sebuah dunia Fantasi, karakter-karakternya
sudah tidak terlalu terkejut menyaksikan kejadian-kejadian mistis atau
bernuansa sihir. Ketika Arthur bertemu Merlin untuk pertama kalinya, ia tidak
benar-benar merasa heran melihat perabotan yang bisa berjalan sendiri dan
seekor burung yang bisa bicara. Apabila dibandingkan dengan contoh yang lebih
modern, ekspresi Arthur melihat sihir tidak setakjub Harry ketika pertama kali
masuk ke Diagon Alley. Sir Ector beberapa kali tampak terkejut melihat
kemampuan sihir Merlin, tetapi keterkejutannya lebih pada rasa khawatir jika
Merlin adalah penyihir jahat, bukan pada kenyataan atau fakta bahwa Merlin
adalah seorang penyihir atau bahwa ilmu sihir itu benar-benar ada. Selanjutnya,
keterkejutan Sir Ector ditampilkan di bawah naungan genre Komedi sehingga
caranya merespons pada sihir Merlin umumnya digunakan untuk memperlihatkan
humor dari film ini. Puteranya, Sir Kay, sama sekali tidak terkejut ketika
mengetahui bahwa Merlin adalah seorang penyihir; ia bahkan tidak bangkit dari
kursinya dan sama sekali tidak mengubah ekspresi wajahnya yang bosan. Kay
bahkan berani menyarankan agar ayahnya mengusir Merlin dari kastil. Sikap semacam
ini menandakan bahwa Camelot memang benar-benar sebuah dunia Fantasi dan
karakter-karakternya sudah terbiasa dengan hal-hal Fantasi seperti sihir dan
makhluk-makhluk ajaib. Tentu saja karena The Sword in the Stone merupakan
sebuah Komedi, kisah Fantasinya tidak bisa dipandang sejajar dengan kisah
Fantasi yang murni atau yang serius. Terlebih lagi, film ini adalah sebuah
Animasi Musikal. Sebuah film Animasi memiliki keistimewaan berupa daya tahan
terhadap pemelintiran logika yang lebih kuat dibandingkan dengan live action
dan sebuah film Musikal juga memiliki keistimewaan yang serupa. Hanya dalam
Animasi saja wajah Squidward yang dihantam pintu kemudian menjadi tapan bisa
diangap masuk akal, dan hanya dalam Musikal saja orang-orang di pinggir jalan bisa
bernyanyi keras-keras tetapi tidak dianggap konyol atau gila.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
Secara
umum dapat dikatakan bahwa konsep cerita The Sword in the Stone sudah logis
sesuai dengan genrenya. Film ini telah menampilkan sebuah dunia Fantasi yang
erat hubungannya dengan Fantasi yang mengarah pada mukjizat dan memisahkan
antara manusia biasa dengan penyihir. Karena dunia Fantasi yang berkaitan
dengan mukjizat itu dituliskan takdirnya oleh Tuhan, maka jelas kalau penyihir
sekalipun tidak dapat melawan kehendak Tuhan dan tidak dapat mengetahui segala
rencana Tuhan dengan pasti. Adapun kekurangan aturan Fantasi dalam film ini
adalah kemampuan Merlin pergi ke masa depan—yang itu pun sebenarnya digunakan
untuk memenuhi kuota humor di dalam filmnya dan lebih berpengaruh pada
konsistensi ceritanya. Akan lebih logis jika Merlin tidak bisa pergi ke masa
depan dan hanya mampu menerawang masa depan sehingga penglihatannya tidak
sempurna. Hal itu akan menjelaskan mengapa Merlin tidak tahu kalau Arthur akan
menjadi King Arthur pemilik Excalibur dan mengapa ia hanya mampu menciptakan
replika sederhana teknologi abad 20 tanpa berhasil menciptakan mesin.
“Bermuda? Yes, back from Bermuda and the 20th
century. And believe me, you can have it. One big modern mess!”—Merlin
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
02 Story Consistency
Alur cerita dalam The Sword in the Stone tidak konsisten. Tidak jelas apakah film ini ingin menceritakan tentang keadaan Inggris yang kacau sepeninggal Raja dan kemunculan pedang Excalibur, kisah hidup Arthur yang ditindas oleh “keluarganya” sendiri, proses pendidikan yang dijalani oleh Arthur agar menjadi manusia yang hebat, eksplorasi dunia Fantasi Camelot, atau menceritakan semuanya sebagai sebuah Komedi? Film ini jelas-jelas memiliki judulu “The Sword in the Stone—Pedang Ajaib yang Menancap di Batu”. Namun signifikansi dari pedang itu sendiri masih kurang dieksplorasi. Excalibur hanya disebutkan satu kali di awal film lalu dilupakan dan baru disebutkan lagi di akhir film ketika Arthur berhasil mencabutnya. Pelajaran-pelajaran yang dilalui oleh Arthur juga tidak konsisten dalam artian tidak jelas apa tujuannya. Bukannya mengajari Arthur tentang keadaan negeri Fantasi Camelot dan berbagai permasalahannya, Merlin justru mengubah Arthur menjadi seekor ikan di parit dan Merlin berkali-kali membahayakan nyawa Arthur secara tidak perlu [he constantly put Arthur in unnecessary dangers]. Apabila Merlin mengajak Arthur bertualang menelusuri Camelot dan belajar berduel dengan Naga, hal itu akan membentuk ketangkasan Arthur dalam menggunakan pedang dan menggunakan akalnya secara perlu atau meaningful, bukan dengan mengubahnya menjadi seekor ikan yang harus berhadapan dengan ikan predator secara tidak perlu.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
The
Sword in the Stone seharusnya memiliki kejelasan cerita berupa penjelasan
tentang keadaan Camelot [atau Inggris], mengeksplorasi kemunculan Excalibur
dengan lebih mendalam, dan memperjelas alasan Merlin mendidik Arthur. Dengan
demikian, Merlin akan memiliki konsep pendidikan yang jelas dan terstruktur
untuk mendidik Arthur supaya anak itu bisa memenuhi takdirnya dengan baik.
Kemunculan sosok-sosok “jahat” dalam film ini pun tidak benar-benar memiliki
hubungan yang erat dengan jalannya cerita dan hanya seperti rangkaian kejahatan
yang berjumpa dengan Arthur. Dalam film Cinderella, jelas sekali bahwa keluarganya adalah tokoh jahat yang
menghalangi Cinderella meraih impiannya. Keluarga yang semacam itu juga
dimiliki oleh Arthur sehingga tidak jelas apa gunanya kemunculan penyihir jahat
Madam Mim dalam The Sword in the Stone. Film ini memiliki berbagai segmen yang
seperti berdiri sendiri. Untuk membuktikan betapa tidak konsistennya narasi
dalam The Sword in the Stone, satu adegan “penting” bisa saja dihapus dan tidak
akan berpengaruh pada jalan ceritanya. Karena toh kemunculan Excalibur tidak
dieksplorsi, adegan pembukaan film ini bisa saja dihilangkan dan tidak akan
mengubah jalannya cerita karena nama Arthur pun sama sekali tidak disebutkan di
awal dan sama sekali tidak memberikan indikasi bahwa Arthur adalah anak yang
akan mencabut Excalibur. Adegan duel antara Merlin dan Madam Mim bisa saja
dihapus dan sama sekali tidak akan memengaruhi jalan ceritanya karena duel itu
tidak berpengaruh pada momen Athur mencabut Excalibur—Madam Mim tidak berencana
menghalangi Arthur menjadi Raja. Adegan Arthur menjadi ikan, tupai, dan burung
bisa saja dihilangkan dan hanya diperlihatkan adegan ketika Arthur terlambat
sampai di kastil dan dihukum oleh Sir Ector. Pada akhirnya, semua petualangan
Arthur tidak mengubah sifat karakternya, tidak membuat Arthur menjadi lebih
dewasa, lebih pemberani, atau lebih cerdas. Arthur di akhir cerita masih sama
dengan Arthur di awal cerita sehingga semua petualangannya sama sekali tidak
diperlukan alias sia-sia. Hal-hal semacam inilah yang membuat ceritanya tidak
konsisten [render the story inconsistet] karena masing-masing poin ceritanya
tidak memiliki benang merah yang jelas dan saling memengaruhi [the segments are
disjointed] sebatas seperti sebuah cerita ber-episode yang masing-masing
episodenya menyajikan cerita yang berbeda. Permasalahan ini sebelumnya dialami
oleh film Alice in
Wonderland. Jika narasi The Sword
in the Stone benar-benar konsisten, setiap segmen seharusnya memiliki peran
penting dan berpotensi merusak inti ceritanya jika sampai adegan atau segmen
itu dihilangkan.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
03 Casting Choice and Acting
Secara
umum, pengisi suara dalam film ini telah dipilih dengan baik karena berhasil
menghidupkan karakter masing-masing dengan natural. Bahkan, beberapa pengisi
suara mampu menyuarakan karakter yang berbeda dengan baik. Permasalahan suara
yang paling jelas adalah aktor Rickie Sorensen yang menyuarakan tokoh utamanya,
Arthur. Selama proses produksi, Rickie melalui masa pubertas yang mengubah
suaranya menjadi terdengar lebih dewasa. Maka, sutradara Wolfgang Reitherman
memutuskan untuk merekam suara puteranya sendiri, Richard dan Robert. Karena
suara Rickie tidak sepenuhnya diganti, suara Arthur sering terdengar berbeda
setiap berganti adegan atau bahkan dalam satu adegan yang sama.
04 Music Match
Musik
dalam The Sword in the Stone secara keseluruhan sudah baik. Karena film ini
merupakan sebuah Animasi Musikal, lagu yang digunakan tidak boleh hanya
mengiringi nuansa adegan tetapi harus menjadi bagian dari cerita yang
menggerakkan ceritanya. Lagu-lagu dalam The Sword in the Stone sudah
diimplementasikan dengan baik sehingga berhasil ikut mendorong jalannya cerita.
05 Cinematography Match
Sinematografi
di dalam film ini sudah baik; bagaimana menara tua yang hampir ambruk
diperlihatkan, bagaimana ikan predator ditampilkan, bagaimana duel penyihir
diperlihatkan, hingga bagaimana Artthur mencabut Excalbur dianimasikan sudah
ditampilkan dengan baik.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
06 Character Design
Desain
karakter dalam The Sword in the Stone bermasalah karena terdapat berbagai gaya
desain yang berbeda sehingga sering terlihat ketidakcocokan desain antar
karakter [seperti berasal dari dunia/universe yang berbeda]. Film ini dibuka
dengan adgan yang menampilkan binatang dengan gaya desain realistis
[proporsional]. Namun seiring berjalannya cerita, binatang-binatang yang
ditampilkan memiliki desain yang tidak proporsional dan di beberapa adegan
terdapat beberapa gaya desain yang berbeda. Sebagai contoh, serigala dalam
adegan pembukaan film ini dianimasikan dengan desain lebih realistis menyerupai
serigala dalam film Disney berikutnya, The
Jungle Book. Namun, serigala yang berperan penting dalam film ini memiliki
desain yang lebih menyerupai karikatur karena tidak proporsional. Ketika Arthur
berubah menjadi ikan, desain binatang parit banyak yang tidak realistis
[seperti desain katak dan ikan lele yang sudah sesuai dengan desain ikan Arthur
dan Merlin], tetapi ikan pike [ikan tombak/esox] yang menjadi predator utama digambar
menggunakan gaya yang lebih realistis atau proporsional. Ketika Arthur menjadi
burung, desainnya sudah sesuai dengan desain Archimedes yang memang lebih
loose-ekspresif [tidak seproporsional atau serealistis Friend Owl dalam film Bambi] tetapi desain burung rajawali yang menyerang Arthur
digambar dengan gaya realistis/proporsional sehingga kembali memperlihatkan
kontras desain karakter dalam film ini.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
Permasalahan
desain kembali muncul ketika Merlin dan Madam Mim melakukan duel penyihir yang
mana mereka hanya boleh menyerang dengan cara berubah menjadi binatang. Gambar
hewan-hewan yang ditampilkan seringkali memiliki gaya desain yang berbeda-beda.
Film ini memiliki beberapa adegan yang menampilkan kuda dan penunggangnya.
Dalam beberapa adegan, desain kuda dan penunggangnya tampak lebih
loose-ekspresif sementara dalam adegan duel di turnamen terakhir, kuda dan
penunggangnya memiliki desain yang jauh lebih proporsional. Maka, desain
karakter dalam The sword in the Stone terlihat cukup kacau karena karakternya
seperti terlihat dari universe yang berbeda-beda. Permasalahan ini dapat
dijelaskan dengan fakta bahwa The Sword in the Stone memang banyak “meminjam”
hasil animasi dari film-film Disney sebelumnya. Sebagai contoh, karakter induk
Bambi “diambil dan ditampel” [copied then pasted] dalam adegan ketika Kay
berburu. Dalam adegan turnamen terakhir, duel antar ksatria diambil secara
langsung dari film pendek Disney The Truth About
Mother Goose yang gaya animasinya
berbeda dengan The Sword in the Stone. Namun karena adegan duel dalam The Truth
About Mother Goose hanya menampilkan duel di atas kuda sementara duel dalam The
Sword in the Stone masih berlangsung setelah kedua ksatria terhempas dari kuda
mereka, desain karakter ksatria itu pun kembali mengalami perubahan karena terlihat
berbeda dari diri mereka sediri ketika berada di atas kuda. Desain karakter
yang tidak konsisten, penggunaan kembali arsip film Disney sebelumnya, ditambah
penggunaan teknologi Xerox [semacam fotokopi] dalam reproduksi lukisan
animasinya, membuat The Sword in the Stone terlihat lebih “murahan”
dibandingkan dengan film-film besar Disney sebelumnya, bahkan terlihat lebih
“murahan” dibandingkan dengan 101 Dalmatians yang oleh Walt Disney sendiri sudah dianggap “murahan”.
“No, no, no, it's round now. Man will
discover this in centuries to come. And he will also find that the world is
merely a tiny speck in the universe.”—Merlin
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
07 Background/Set Match
Latar
belakang film ini memiliki permasalahan yang serupa dengan desain karakternya
karena terdapat latar belakang yang juga diambil dari film lainnya [misalnya
interior kastil yang diambil dari interior isana Sleeping Beauty]. Meski demikian, latar belakang film ini tetap berhasil
mengakomodasi keberadaan karakter-karakternya sehingga para karakter terlihat
menyatu dengan cukup baik dalam latar belakangnya.
08 Special and/or Practical Effects
Jika
versi restorasi film ini dibandingkan dengan versi restorasi film-film Disney
sebelum 101 Dalmatians [Sleeping Beauty hingga mundur sampai Snow White and the
Seven Dwarfs], maka The Sword in
the Stone akan terlihat memiliki kekurangan dari segi efek visual karena
animasi yang ditampilkan terlihat lebih kasar sehingga gerakan karakternya
tidak terlihat sehalus gerakan dalam Snow
White, Pinocchio, Cinderella,
hingga Sleeping Beauty. Salah satu
alasan Walt Disney tidak menyukai 101
Dalmatians adalah karena hasil akhir animasinya tampak “murah” dari segi
visual. Namun, dalam menilai film ini, kita perlu melihat teknologi yang
digunakan dan masa perilisannya. The Sword in the Stone dirilis pada masa
turunnya popularitas animasi Disney dan studio sedang melakukan penghematan
besar-besaran pada divisi animasi. Bahkan kakak Walt, Roy, sempat meminta Walt
untuk berhenti saja membuat animasi dan hanya merilis ulang film-film lawas
mereka karena rilisan ulang itu justru lebih menguntungkan [ingat, pada masa
itu TV masih belum merata serta belum ada DVD dan Streaming, jadi film bioskop
akan rutin diputar ulang]. Untuk memangkas biaya produksi, replikasi sketsa
yang dulunya dilakukan secara manual sehingga animasinya terlihat halus
[smooth] diubah dengan menggubakan mesin fotokopi [Xerox] yang sudah
dimodifikasi sehingga sketsanya memang terlihat lebih kasar. Dengan berbagai
keterbatasan itu, The Sword in the Stone tetap mampu menampilkan sajian visual
yang sudah baik. Gerakan karakternya tetap terlihat “hidup”, tidak seperti
gerakan patah-patah dari animasi “murah” produksi non-Disney.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
09 Audience Approval
Ketika
pertama kali dirilis, The Sword in the Stone gagal membuat penonton terkesan
sehingga film ini mendapatkan tanggapan yang beragam dari kalangan penonton.
The Sword in the Stone tidak menerima tanggapan yang sehangat 101 Dalmatians yang dirilis sebelumnya
atau The Jungle Book yang dirilis
setelahnya.
10 Intentional Match
The
Sword in the Stone tidak berhasil mencapai visi dari para penciptanya baik dari
segi artistik maupun finansial—film ini tidak memiliki “jati diri artistik”
karena desainnya berantakan dan pendapatannya mengecewakan karena menghabiskan
biaya yang tidak sedikit dengan penjualan tiket bioskop yang biasa saja. Hal
ini berkaitan erat dengan permasalahan “di balik layar” dari proses pembuatan
The Sword in the Stone. Setelah sukses dengan 101 Dalmatians, para animator Disney terbagi antara mereka yang
ingin membuat animasi Chantecler yang
bercerita tentang seekor ayam yang yakin bahwa suaranya ketika berkokok adalah
penyebab terbitnya matahari dan animator yang ingin membuat animasi The Sword
in the Stone. Setelah kedua cerita diseleksi oleh Walt Disney, Walt menyetujui
pembuatan The Sword in the Stone dan menolak Chantecler. Tokoh kunci Disney Ken Anderson, Marc Davis, Milt Kahl,
dan Wolfgang Reitherman menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menyiapkan
konsep Chantecler karena mereka ingin
menciptakan animasi yang bernuansa kontemporer. Karena usaha mereka terbuang
begitu saja akibat The Sword in the Stone, para animator senior Disney
sebetulnya tidak terlalu antusias dalam mengerjakan The Sword in the Stone.
Meskipun beberapa sumber menyatakan bahwa Walt lebih menyukai The Sword in the
Stone karena merasa ceritanya lebih menarik setelah ia sendiri terpukau
menonton pertunjukan Camelot,
muncul indikasi bahwa The Sword in the Stone dipilih karena produksinya
diproyeksikan akan lebih murah dengan mengedepankan teknologi fotokopi Xerox.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
[EN]By 1960, Peet had his
script boarded and ready to move on. There was just one problem: the animators didn’t
want it…The film still managed to cost almost as much as 101 Dalmatians, and
while it made money at the box office, revenue was down, and reviews were
mixed. Even within the studio, there were misgivings. Director Woolie
Reitherman was reluctant to work on the picture from the beginning, songwriting
team the Sherman brothers reflected that their songs were disconnected from the
underscore and the narrative, and even Bill Peet admitted that the film hadn’t
turned out as well as Dalmatians. But most of all, the underperformance of
another feature cartoon had Walt worried, enough so that he wanted a much
greater say in the next one after years of neglecting them. [How 'The Sword in the Stone' Pulled Walt Disney Back Into
Animation by William Fischer for Collider, 04 August 2021]
[ID]Di tahun 1960, [Bill]
Peet sudah siap dengan naskah [The Sword in the Stone] dan siap melanjutkan ke
tahap berikutnya. Masalahnya, para animator Disney tidak ingin membuat animasi
The Sword in the Stone…[meski diperkirakan lebih murah] Film ini tetap saja
menghabiskan biaya nyaris sebesar 101
Dalmatians. Meskipun film ini menguntungkan, keuntungannya kecil dan
mendapatkan tanggapan yang beragam. Di dalam studio sendiri, terdapat berbagai
permasalahan. Sutradara Woolie [Wolfgang] Reitherman sejak awal sudah enggan
mengerjakan The Sword in the Stone. Musisi Sherman Brothers mengaku bahwa lagu
ciptaan mereka dibelokkan dari kuncinya dan dari narasinya. Bahkan Bill Peet
[penulis cerita] sendiri mengaku bahwa film ini tidak sebaik 101 Dalmatians. Pada akhirnya,
kekecewaan finansial serta kritik dari film ini membuat Walt sangat cemas [akan
masa depan animasi Disney] sehingga ia akan lebih berperan dalam produksi
animasi yang berikutnya setelah sekian lama meninggalkannya [untuk fokus pada
hal lain non-animasi]. [How 'The Sword in the Stone' Pulled Walt Disney Back Into
Animation by William Fischerditerjemahkan
oleh Nabil Bakri for Collider, 04 Augustus
2021]
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
Sempalan
artikel di atas memberikan penjelasan yang masuk akal mengenai hasil akhir The
Sword in the Stone yang terlihat lebih “berantakan” ketimbang film-film Disney
yang sebelumnya dan tidak serapih 101
Dalmatians yang sama-sama diproduksi menggunakan mesin Xerox. Tentu saja
film ini gagal mencapai visi penulis cerita Bill Peet karena sutradara film ini
saja sebetulnya tidak ingin menyutradarai The Sword in the Stone dan kecewa
karena visinya menciptakan animasi Chantecler
tidak dapat direalisasikan. Para animator yang ingin membuat Chantecler pada akhirnya juga harus
mengerjakan The Sword in the Stone—ibarat orang-orang yang kalah harus bekerja
untuk si pemenang sehingga kerja mereka tampak kurang maksimal. Walt Disney pun
merasa kecewa dan setelahnya memutuskan untuk lebih terlibat lagi dalam
produksi animasi—yang ia realisasikan dalam produksi The Jungle Book [film terakhir yang mulai diproduksi sebelum Disney
meninggal dunia]. Kesimpulannya, The Sword in the Stone tidak berhasil memenuhi
visi penciptanya.
ADDITIONAL CONSIDERATIONS
[Lima poin tambahan ini bisa menambah dan/atau mengurangi
sepuluh poin sebelumnya. Jika poin kosong, maka tidak menambah maupun
mengurangi 10 poin sebelumnya. Bagian ini adalah pertimbangan tambahan
Skywalker, maka ditambah atau dikuranginya poin pada bagian ini adalah hak
prerogatif Skywalker, meskipun dengan pertimbangan yang sangat matang]
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
01 Skywalker’s Schemata
Tanggapan
saya untuk The Sword and the Stone adalah tanggapan yang negatif: saya tidak
menyukai film ini. Permasalahan terbesar saya dengan film ini adalah alur
ceritanya yang ambigu alias tidak jelas membentuk satu cerita yang utuh. Saya
tidak mempermasalahkan segi artistiknya dan lagu pembukaan film ini yang
menceritakan tentang kemunculan Excalibur adalah salah satu lagu Disney klasik
favorit saya. Saya mempermasalahkan cerita film ini karena The Sword in the
Stone membuang-buang potensi cerita yang luar biasa dari kisah King Arthur.
Dunia Fantasi Camelot yang bisa dieksplorasi justru tidak dieksplorasi,
bahaya-bahaya yang mengintai di hutan dan bisa menjadi tantangan bagi Arthur
justru tidak didalami, dan sihir Merlin yang konon luar biasa hanya digunakan
untuk mencuci piring. Hal yang paling saya benci dari produksi film semacam ini
adalah ketika sesuatu yang memiliki potensi luar biasa justru disia-siakan.
Pada akhirnya, sama sekali tidak ada yang istimewa dari The Sword in the Stone.
Beberapa kalangan mengatakan film ini sebagai Masterpiece yang Underrated alias
bagus tetapi kurang diapresiasi. Saya menolak untuk mendukung pandangan itu
karena jelas-jelas The Sword in the Stone kurang diapresiasi karena memang
kualitasnya tidak baik. Film dengan konsep yang seharusnya menggugah penuh
petualangan ini berakhir menjadi sebuah Komedi membosankan yang bahkan tidak
lucu. Saya pun mempertanyakan apakah perlu film ini diproduksi, karena toh
tidak menghasilkan sebuah pencapaian yang signifikan. It’s a Disney movie, but
do not expect the Disney quality you’ve all been very familiar with.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
02 Awards
The
Sword in the Stone tidak memenangkan penghargaan yang penting untuk disebutkan.
03 Financial
Dari
dana sebesar $3 juta, The Sword in the Stone berhasil menjual tiket sebesar
$4.75 juta ketika pertama kali dirilis. Angka tersebut tergolong sebagai sebuah
“kegagalan” yang membuat Disney sangat kecewa. Film ini baru benar-benar
mendapatkan keuntungan setelah dirilis ulang pada tahun 1972 yang menghasilkan
$2.5 juta dan pada tahun 1983 yang menghasilkan sebesar $12 juta.
04 Critics
The
Sword in the Stone mendapatkan tanggapan yang beragam dari kalangan kritikus
film yang umumnya mengritik narasinya yang dinilai lemah.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
05 Longevity
Popularitas
The Sword in the Stone tidak secemerlang film-film Disney lainnya yang dirilis
semasa hidup Walt Disney [dengan pengecualian film-film paket yang dibuat
semasa Perang Dunia II alias setelah Bambi
dan sebelum Cinderella]. Tanggapan
penonton pun secara umum tidak berubah yakni masih tetap beragam. The Sword in
the Stone dinilai gagal dalam membuat penonton masa lalu maupun generasi baru
merasa terkesan. Walau demikian, film ini memang meraih kesuksesan finansial
setelah dirilis ulang, bukan ketika pertama kali dirilis. Hal ini menandakan
bahwa penonton generasi baru menyambut The Sword in the Stone dengan lebih
hangat dibandingkan dengan penonton asli pada 1963.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
Final Score
Skor
Asli : 6.5
Skor
Tambahan : -
Skor Akhir : 6.5/10
***
Spesifikasi Optical Disc
[Cakram Film DVD/VCD/Blu-ray Disc]
Judul : The Sword in the Stone [45th
Anniversary Edition]
Rilis : 25 April 2008
Format : DVD [|||]
Kode
Warna : 3/NTSC
Upscaling : Support Player-HDMI Upscaling [YES||NO]
[1080/60/50/24p]
Fitur : Game, bonus shorts, behind the
scenes, song selections
Support : Windows 98-10 [VLC Media Player],
DVD Player, HD DVD Player [termasuk X-Box 360], Blu-ray Player [termasuk PS 3 dan 4], 4K UHD Blu-ray Player [termasuk PS 5].
Keterangan Support:
[Support VCD, DVD, Kecuali Blu-ray dan 4K]
[Support VCD, DVD,
Termasuk Blu-ray, Kecuali 4K]
[Support Semua
Termasuk 4K]
STREAMING
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
***
Edisi Review Singkat
Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar
penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa
untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Karena menggunakan
standar yang baku, edisi review Skywalker akan jauh lebih pendek dari review
Nabil Bakri yang lainnya dan akan lebih objektif.
Edisi Review Singkat+PLUS
Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar
penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa
untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Apabila terdapat tanda
Review Singkat+PLUS di
bawah judul, maka berdasarkan keputusan per Juli 2021 menandakan artikel
tersebut berjumlah lebih dari 3.500 kata.
Skywalker Hunter adalah alias
dari Nabil Bakri
Keterangan Box Office dan penjualan DVD disediakan oleh The Numbers
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved.
©1963/Disney/The Sword in the Stone/All Rights Reserved. |
©Nabil Bakri Platinum.
Teks ini dipublikasikan dalam Nabil Bakri Platinum [https://nabilbakri.blogspot.com/] yang diverifikasi Google dan dilindungi oleh DMCA.
Nabil Bakri Platinum tidak bertanggung jawab atas konten dari
link eksternal yang ada di dalam teks ini—termasuk ketersediaan konten video
atau film yang dapat berubah sewaktu-waktu di luar kendali Nabil Bakri
Platinum.