PENTING: Artikel ini merupakan Arsip, dan mungkin tidak lagi mencerminkan keadaan terkini situs ini, termasuk visi, misi, dan citra umumnya. Semua artikel Arsip akan diatur penerbitannya ke tanggal 20 November 2010. Waktu sebenarnya mungkin berbeda.
Jurnal Nabil Bakri Platinum 02
Mengajar Kelas Film
Oleh Nabil Bakri
Jurnal
ke-02, 8 Juni 2022
Perhatian: Jurnal/Log ini
merupakan opini pribadi. Nabil Bakri Platinum menghargai pendapat
masing-masing individu tanpa memaksakan pembaca untuk mengamini seluruh opini
yang disampaikan. Pembaca bisa jadi memiliki komentar, pendapat, pengalaman,
atau pengetahuan (schemata) yang berbeda dan penulis menghargainya. Maka,
pembaca tidak perlu menanggapi jurnal ini secara berlebihan. |
Psst, hari ini, tepatnya Rabu tanggal 6 Juni 2022, saya baru
sampai di kantor dan masih punya waktu luang. Saya masih menunggu pekerjaan
dari tim saya yang belum dikumpulkan ke saya. Daripada saya hanya berdiam diri
dan browsing YouTube, saya memutuskan memanfaatkan waktu untuk menulis.
Lagipula, saya sudah lama tidak menulis dan “melepaskan” blog saya dalam posisi
“auto
pilot”. Setelah saya diterima bekerja, saya tahu kalu saya tidak akan
bisa menulis sesering dahulu. Maka, saya putuskan untuk segera mengunggah semua
cadangan tulisan saya dengan jadwal terbit yang sudah diatur—salah satunya
artikel ini, tidak akan Anda baca segera setelah saya menulisnya. Dengan
demikian, sesibuk-sibuknya saya, blog yang sudah saya bangun dengan susah payah
ini akan tetap menerbitkan artikel baru meskipun saya tidak menyentuhnya sama
sekali hingga sepanjang tahun 2023. Baiklah, tidak usah berlama-lama lagi, saya
akan menceritakan tentang pengalaman saya mengajar kelas film yang menjadi
bagian krusial dari cara saya mereview film.
Dalam
banyak review yang saya tulis, khususnya review tentang film anak-anak dan
keluarga (misalnya film-film animasi Disney), saya sering sekali menceritakan
tentang pengalaman saya—meskipun hanya sedikit—ketika mengajar Bahasa Inggris
kepada anak-anak SD (Grade School) dan SMP (High School). Secara khusus, saya
dulu diminta untuk mengisi kelas diskusi film. Teman saya yang merupakan ketua
panitia dari program tersebut, mengetahui seberapa besar minat saya terhadap
film dan meminta saya untuk menggantikan guru yang sebelumnya untuk mengajar
kelas diskusi film. Tentu saja, saya tidak bisa menolak. Saya harus menyiapkan
rancangan marteri dan, yang paling sulit, memilih film-film apa saja yang akan
saya putarkan di dalam kelas. Tidak bisa dipungkiri bahwa seiring berjalannya
waktu dan semakin pesatnya teknologi telekomunikasi, minat anak-anak terhadap
sebuah karya menjadi turun secara drastis. Anak-anak tidak mau lagi
“menghabiskan” waktu dua jam untuk menyaksikan dialog demi dialog dengan
sedikit adegan aksi di bagian klimaks dan akhir film. Anak-anak masa kini,
umumnya, ingin segera menyaksikan adegan aksi yang paling spektakuler sejak
awal film. Tidak heran, anak-anak sangat menyukai TikTok yang memang didesain untuk bisa cepat “digeser/swipe”
jika pengguna merasa sekian detik awal yang mereka tonton tidak menarik. Saya
sudah menduga hal tersebut sebelum saya mulai mengajar karena saya sudah
mengamati adik-adik serta kerabat saya sendiri yang kala itu masih di tingkat
Sekolah Dasar.
Maka,
saya membuat daftar film yang akan saya putarkan di kelas berdasarkan apa saja
yang paling disukai oleh adik dan kerabat saya. Karena saya mengajar anak-anak
usia 14 tahun ke bawah dan dari sekolah swasta yang Islami, saya harus
berhati-hati dalam memilih film. Setelah saya menentukan film apa saja yang
akan saya putarkan, saya harus mengajukan daftar tersebut ke pihak sekolah
untuk ditinjau. Ada film-film yang disetujui, ada pula yang tidak boleh
diputarkan di kelas. Saya ingat betul kalau animasi Mulan yang saya ajukan ditolak. Saya pun harus mencari
penggantinya—karena sekolah itu bukan milik saya, yah saya tidak protes dan
menurut saja; meskipun Mulan adalah
animasi yang bagus dan saya yakin akan menarik minat anak-anak. Menariknya,
pengurus sekolah tersebut senantiasa mengalami pergantian dan ada juga
penanggung jawab yang mengizinkan saya untuk memutarkan Mulan di kelas. Yang jelas, saya harus membuat rancangan
pembelajaran yang jelas: apa saja film yang akan diputar, apa alasannya memilih
film-film tersebut, dan apa korelasinya film yang dpiutar dengan pelajaran yang
akan saya sampaikan di kelas. Setelah rancangan yang saya ajukan disetujui,
saya bisa memulai kelas.
Sejak
dulu, banyak dari teman saya yang menyatakan kalau saya sangat cocok menjadi
pengajar. Namun berkali-kali saya tegaskan bahwa saya sebetulnya tidak ingin
berkarier menghasilkan uang di dunia pendidikan. Saya sangat suka mengajar,
saya akui itu, tetapi saya ingin mengajar yang tepat sasaran dan bukan
bertujuan mencari uang. Sebagai lulusan jurusan Bahasa, saya ingin sekali bisa
sukses di bidang media: Blogging, menulis novel, industri hiburan, dan yang
lainnya. Saya ingin membuktikan bahwa mahasiswa sastra, seperti mahasiswa dari
jurusan ilmu yang lebih praktis, bisa sukses mengimplementasikan ilmu yang mereka
pelajari di universitas. Yah, saya sempat menjadi pengisi suara untuk beberapa
film bioskop dan saya punya blog ini, tetapi saya belum bisa menikmati
kesuksesan darinya. Saya masih harus mencari pekerjaan lain yang tidak hanya
untuk memberi saya makan, tetapi untuk mendukung blog ini juga—karena membuat
Blog tidaklah semurah yang orang kira. Karena saya belum sukses di bidang yang
saya pelajari, sebenarnya saya belum berani mengajarkan ilmu di kelas karena
selalu ada perasaan kalau saya ini tidak tahu apa-apa: buktinya saya sering
gagal. Kembali ke poin utama jurnal ini, saya akhirnya mengajar kelas diskui
film dalam beberapa event khusus yang diselenggarakan pada tahun 2018 dan 2019
(seharusnya masih berlanjut sampai 2020, tetapi COVID-19 meluas dan semua
rencana kegiatan dibatalkan). Benar saja, saya sangat menikmati proses
mengajar: saya senang membagikan ilmu yang saya miliki dan ilmu saya bermanfaat
bagi orang lain. Saya benci menjadi penceramah yang menggurui orang-orang yang
tidak minta pendapat saya. Namun semua siswa memiliki kesadaran untuk belajar
dan secara umum mengikuti pelajaran dengan serius.
Saya
tidak bisa memungkiri bahwa salah satu faktor yang membuat anak-anak mau
memperhatikan dengan serius adalah pilihan film yang saya tayangkan. Untung
saja saya sudah melakukan “eksperimen” sebelumnya sehingga saya punya gambaran
tentang film-film apa saja yang kemungkinan besar akan menarik perhatian
anak-anak. Sebagian besar dugaan saya terbukti benar: Film-film yang disukai
oleh adik saya seperti The Lion King, Spirit:
Stallion of the Cimarron, dan The
Spiderwick Chronicles berhasil
membuat kelas saya kondusif dan semua siswa mengamati filmnya dengan cermat. Ada
pula film-film yang saya pikir akan mereka sukai (karena sewaktu kecil dulu
sangat saya sukai) tetapi ternyata tidak berhasil membangkitkan antusiasme
anak-anak. Contohnya adalah film dinosaurus The
Land Before Time. Perbedaan yang jelas antara generasi saya dan generasi
baru itu membuat saya teringat pendapat David Hume yang diringkas oleh Gordon
Graham dalam buku Philosophy of the Arts.
Sebelumnya, saya menilai film dengan arbiter: tidak ada standar dalam menilai
film, toh itu sifatnya subjektif. Namun seiring berjalannya waktu dan setelah
mengajar, saya memikirkan tentang sebuah skema atau struktur penilaian film
yang jelas, logis, dan dapat diukur—meskipun tetap tidak bisa 100% objektif.
Maka, saya mencantumkan sebuah poin yang sangat penting dalam setiap review
yang saya tulis di bawah naungan nama Skywalker Hunter. Poin itu berada di
posisi paling akhir tetapi bukan berarti paling tidak penting: Longevity.
Berdasarkan
pandangan Hume yang sangat saya setujui, sebuah karya seni yang benar-benar
bagus akan mampu bertahan melawan perubahan zaman. Tak peduli generasi masa
lalu, masa kini, atau masa depan, akan tetap mampu melihat keunggulan karya tersebut.
Pandangan ini semakin relevan di era media sosial karena munculnya fenomena video
yang “viral”. Apabila sebuah film menjadi “viral” dalam sekejap dan mayoritas
pengguna internet menyatakan bahwa film itu “bagus”, maka orang lain akan ikut
menyatakan bahwa film itu bagus—terlepas apakah sebenarnya kualitas film itu
memang bagus atau justru sebaliknya. Di tengah puncak popularitas The Avengers, seorang teman saya sekaligus penggemar Marvel di
kelas Film Analysis menyatakan dengan tegas bahwa “efek visual Avatar (2009) itu biasa saja, dan Avengers (2012) memiliki efek visual
yang lebih memukau”—benarkah demikian? Apakah “opini” teman saya itu benar?
Apakah memang tidak ada standar untuk menilai sebuah film sama sekali? Saya
ingat suatu hari di tahun 2021 adik saya sedikit memaksa saya untuk memutarkan
film Tusk (2014). Film itu (saat itu) baru saja viral di
TikTok. Dari jutaan komentar pengguna internet, tidak ada yang mengomentari
betapa buruknya kualitas film tersebut. Saya terkejut ketika akhirnya menonton Tusk dan mendapati kalau film ini
sebetulnya tidak bagus. Saya heran bagaimana adik saya dan pengguna TikTok
lainnya merasa “takut” melihat Justin Long di dalam kostum walrus. Padahal,
kostum itu terlihat sangat palsu dan film Tusk
secara keseluruhan sebetulnya sangat konyol. Ketika sebuah film menjadi
“viral”, orang akan menjadi seperti domba dan tergiring menuju opini tertentu
yang sudah terlanjur dibentuk [herd mentality]. Kalaupun ada orang
yang berbeda pendapat, kemungkinan besar mereka akan takut menyampaikan
pendapat mereka karena pendapat itu berbeda dan ada risiko penindasan secara
online. Fenomena kekerasan di dunia cyber ini sudah dibahas dengan menarik
dalam buku Like War—yang saya jadikan
salah satu sumber rujukan Thesis Master saya tentang Social Anxiety Disorder
dan novel Dear Evan Hansen.
Intinya,
pengalaman saya mengajar anak-anak Sekolah Dasar dan Menengah membuat saya
sadar betapa pentingnya menyertakan poin Longevity dalam menilai film. Sewaktu
toko DVD langganan saya masih beroperasi di sekitar tahun 2019, pemiliknya
sempat berdiskusi dengan saya dan kami membicarakan tentang film-film baru dan
kenapa film-film terbaru terasa hambar dan tidak memorable. Beliau menyatakan
sebuah pendapat yang saya setujui: “Film (baru) sekarang cepat sekali naik
(booming/viral), tapi baru sebentar sudah hilang.” Film yang benar-benar baik
tidak harus langsung populer, tetapi abadi—timeless. Keputusan saya menggunakan
poin Longevity menjadi semakin mantap setelah saya menonton satu episode Teen React di YouTube (Do Teens Know 90’s Romance Movies?). Dalam episode tersebut, para remaja diminta bereaksi
terhadap film-film romantis paling populer dari dekade 1990-an. Mereka semua
pada akhirnya akan diminta menebak apa judul filmnya. Ada film-film yang banyak
diketahui, ada yang tidak diketahui oleh generasi muda. Namun, dari semua film
romantis 1990-an, Titanic menjadi satu-satunya yang diketahui oleh tidak hanya
sebagian besar remaja dalam acara tersebut, tapi semuanya: every single one of them knows Titanic.
Apabila
kita runtut ke belakang, Titanic
bukanlah sebuah film yang “cepat viral dan cepat hilang”. Ketika pertama kali
dirilis, Titanic tidak langsung
menduduki puncak box office. Bahkan sebelum filmnya dirilis, mayoritas media
dan masyarakat sudah menduga bahwa Titanic
kualitasnya akan buruk dan akan gagal secara finansial. Namun, perlahan tapi
pasti, Titanic merajai box office dan
tayang di bioskop selama 10 bulan. Bahkan setelah kasetnya dirilis di rental
dan toko, film tersebut masih tayang di bioskop. Di era 2000 ke bawah, tidak
mengherankan jika ada film yang tayang selama itu. E.T. misalnya, tayang di bioskop selama 12 bulan. Namun jika kita
lihat dekade 2010 ke atas, hal semacam itu tidak terjadi lagi. Film-film dari
studio besar dengan basis penggemar yang besar akan langsung viral dalam waktu
sekejap dan, tidak lama kemudian, akan dilupakan dan membuka jalan untuk
film-film baru lainnya: Move! Make way for the next big thing!
Mengapa Jurassic Park yang dirilis pada tahun 1993 dinilai lebih timeless
daripada Jurassic
World yang dirilis tahun 2015?
Mengapa animasi klasik Disney menjadi lebih timeless daripada remake
live-action yang dirilis oleh Disney sepanjang dekade 2010-an? Film-film yang
mampu bertahan melawan gempuran perubahan zaman semacam itu, pastilah memiliki
kualitas yang benar-benar baik sampai-sampai orang yang tidak hidup di masa
penayangan perdananya bisa memahami keunggulan-keunggulan film tersebut.
Anak-anak era 1980-an akan lebih mengapresiasi Jurassic Park karena pada waktu itu efek visualnya adalah yang
paling memukau. Jika Jurassic Park
hanya mengandalkan efek visual saja, seharusnya anak-anak generasi baru lebih
menyukai Jurassic World karena film
tersebut memiliki efek CGI yang lebih canggih.
Film
yang viral, menurut pemikiran saya, adalah film yang tenggelam dalam air keruh
karena sedang diaduk-aduk hingga lumpur-lumpur dari dasarnya menyebar ke segala
penjuru. Jika demikian, akan sulit menilai film itu apa adanya. Lihat saja
bagaimana sutradara senior Martin Scorsese dan James Cameron mendapat kecaman
karena memberikan komentar “negatif” kepada film-film Marvel. Saya sendiri
merupakan penggemar Marvel, tetapi saya sudah merasa lelah mengikuti film-film
baru dari MCU dan saya ingin demam superhero segera berhenti. Tetapi, saya akan
dicap sebagai seorang hater. Saya menghabiskan uang jutaan rupiah untuk membeli
DVD, komik, hingga ensiklopedia Marvel dan saya masih dianggap sebagai hater.
Saya tidak membenci Marvel, tetapi saya membenci bagaimana Marvel menghilangkan
perbedaan antara film dengan serial televisi. Silakan saja merilis ratusan
episode kisah Marvel, tetapi rilislah di telsevisi sebagai sebuah serial, bukan
sebagai sebuah film. Saya juga muak melihat film terbaru Marvel hanya menjadi
iklan untuk film Marvel berikutnya. Selain Marvel, saya pun dinilai seorang
hater Disney karena memberikan tanggapan negatif terhadap film-film remake
Disney. Saya juga tidak setuju dengan sikap Disney mengganti karakter kulit
putih dengan kulit hitam, dan saya dengan tegas menyatakan bahwa Song of the
South itu tidak rasis. Saya akan dicap sebagai hater Disney yang rasis
karena anti kulit hitam. Padahal, saya sendiri seorang keturunan kulit hitam
dan Disney klasik adalah film-film favorit saya sepanjang masa. Untuk film
animasi Snow White saja, saya punya 5 kopi versi kemasan dan format yang
berbeda. Tindakan saya mengkritik Disney dan Marvel bukan karena saya membeci
mereka, tetapi karena saya menunggu aliran sungan sampai jernih, sampai semua
lumpur mengendap kembali di dasarnya, dan saya bisa melihat objek di dalam air
dengan lebih jelas—apa adanya. Di air keruh, saya bisa saja menyangka sebuah
balok kayu adalah buaya karena semua orang di pinggir sungai juga mengira kayu
itu adalah buaya. Barulah setelah airnya jernih, saya tahu bahwa buaya itu
sebetulnya hanya balok kayu. Kesalahan semacam itu tentu kelihatan tidak
berbahaya. Tapi, bagaimana kalau yang terjadi adalah sebaliknya?
Bagaimana
kalau ada buaya di air yang keruh, dan orang-orang mengira itu adalah balok
kayu. Mereka akan berenang dan mati dimangsa. Di sinilah saya merasa perlu
untuk menjadi penengah. Sudah menjadi panggilan saya untuk menyediakan
informasi yang sebenar-benarnya mengenai dunia perfilman—selagi saya bisa.
Akibatnya, saya tidak bisa senantiasa aktif update berita dan film-film baru
seperti kritikus film pada umumnya. Bagi saya, mencari kebenaran memerlukan
waktu. Dan saya tidak akan goyah: I am the Guardian of Truth in the Realm of
Cinema.
Namun
saya memiliki batasan: saya tidak akan berkhotbah kepada orang-orang yang
memang tidak ingin mendapatkan informasi dari saya. Saya tidak suka memaksa.
Saya membangun sebuah “kuil” film, yakni blog ini, dan orang bebas berkunjung
jika mereka mau. Jika tidak, tentu saja itu pilihan masing-masing. Yang pasti,
saya tidak akan tinggal diam ketika informasi yang keliru atau opini yang
berlebihan (nitpicking, misalnya) dijadikan rujukan utama karena bisa
menyesatkan orang.
Menarik
sekali kalau melihat ke atas, paragraf-paragraf yang saya tulis, semuanya
bermula dari keputusan saya menerima tawaran untuk mengajar kelas diskusi film.
***
Fin.