Selamat Tinggal Disc Tarra, Movie Plus, dan Vision

 

Picture from DiscTarra official Twitter account [Account and Store Defunct since 2015]



Oleh Nabil Bakri

Saya merilis tulisan ini untuk menutup tahun 2020 sekaligus arsip untuk koleksi film yang saya miliki di dalam Arsip Skywalker sehingga mudah untuk saya periksa secara online.

Di akhir 90-an, masyarakat Indonesia mulai mengenal luas cakram berukuran 5inci yang pertama kali diperkenalkan tahun 1993 bernama VCD [Video Compact Disc] dan bahkan lebih populer ketimbang DVD [DigitalVersatile Disc] yang diperkenalkan pertama kali tahun 1996. Dulu, jika ingin menonton film, kita harus menunggu filmnya tayang di TV atau menyewa dan/atau membeli filmnya. Maka, adalah hal yang lumrah bagi seseorang di era 90-an dan 2000-an untuk pergi ke rental atau toko film untuk menyewa/membeli film—sebagian besar masyarakat melakukan hal yang sama, persis seperti sekarang sebagian besar masyarakat download/streaming. Saya masih ingat betul saat film Dinosaur dan Tarzan masih baru dan membeli VCD filmnya di akhir 90-an. Waktu itu saya tinggal di Bandung. Untuk menonton film, karena kala itu tidak memiliki VCD player, maka saya harus memutarnya dengan komputer Windows 98 [saya lupa apakah waktu itu sudah pakai Windows 98 atau masih 95 karena bacgroundnya sangat mirip].

Private Collection [Koleksi Pribadi Penulis] [c] Nabil Bakri

Masuk di era 2000-an, masyarakat justru semakin banyak yang mengenal VCD dan VCD karaoke semakin menjamur di kalangan orang-orang tua. Di era ini, DVD semakin dikenal. Tidak hanya di Indonesia, popularitas DVD di dunia semakin meroket. Di era 90-an, orang Indonesia familiar dengan VCD, namun orang Amerika dan Eropa familiar dengan kaset VHS. Untuk pertama kalinya, format DVD menjadi format film yang populer di semua negara. Saking populernya, istilah DVD akhirnya dimasukkan ke dalam kamus Oxford. Bahkan, kepopuleran DVD menjadi bagian cerita dalam film balapan liar hits awal 2000an, The Fast and the Furious. Menyewa DVD, membeli DVD, nonton DVD, kado DVD, hingga pencurian DVD adalah hal yang wajar di masa lalu.

Saya termasuk orang yang menyewa dan membeli film. Kenapa? Ya karena begitulah cara orang dulu menonton film. Jadi sebenarnya saya dulu membeli VCD bukan semata-mata untuk tujuan koleksi, tapi memang karena kepingin menonton filmnya. Sebagian besar input film yang saya dapat tetap bersumber dari siaran televisi yang dulu setiap hari selalu menayangkan film-film unggulan. Baru di tahun 2010, saya memutuskan untuk benar-benar menjadi kolektor. Dan setelah 2016, saya merasa kalau saya sebenarnya bukan kolektor karena kolektor selalu melakukan update pada koleksinya dan mengganti film-film VCD ke DVD dan DVD ke Blu-ray. Tapi saya tidak, karena film yang saya miliki bukan sebatas koleksi, tapi lebih menjurus ke arah arsip/dokumen. VCD yang saya miliki, saya rasa tidak perlu diupgrade ke DVD, begitu juga DVD ke Blu-ray, dan Blu-ray ke 4K—saya tidak peduli lagi dengan format, karena yang terpenting adalah filmnya. Maka dengan adanya download/streaming sekarang sebetulnya tidak masalah bagi saya. Hanya saja, film yang tampil online bisa sewaktu-waktu hilang baik itu karena server crash, diblokir, atau shut-down. Untuk server legal, film yang mereka tayangkan bersifat rotasi, jadi jika masa tayang filmnya habis, akan ditarik dan tidak bisa ditonton lagi. Karena kondisinya seperti ini, setiap film yang saya anggap penting menjadi arsip akan saya download dan tetap saya burn ke dalam DVD supaya lebih permanen dan tidak memenuhi memori komputer karena tidak ada gunanya file film di komputer saya sebab saya hampir tidak pernah nonton film menggunakan komputer. Jadi akan saya burn dan simpan dalam DVD Holder yang satu bundle bisa menampung 80 disc dan itu pun 1 DVD bisa diisi beberapa film sekaligus.

Picture from DiscTarra official Twitter account [Account and Store Defunct since 2015]

Dalam kaitannya dengan arsip, media cyber/streaming sangat rawan dengan editing dan sensor. Sebuah perusahaan film dan sutradara sering sekali merilis berbagai versi dari satu film. Dalam versi streaming, hanya akan disediakan satu versi yang sudah dimutakhirkan. Padahal, jika kita bicara soal arsip, penting sekali sebuah film ditayangkan “apa adanya” tanpa di-re-edit. Selain karena ada niat untuk mengubah dari studio dan sutradara, sering sekali film terpaksa diedit karena masalah hak cipta. Misalnya, lagu dalam film memiliki hak cipta yang terpisah dari filmnya. Jadi, jika hak cipta pemakaian lagu di film sudah habis masanya dan tidak diperpanjang, studio bisa saja terpaksa mengganti lagunya. Ini adalah proses yang sangat serius, sebab lagu adalah bagian penting dari film. Belum lagi jika dikaitkan dengan dunia akademik, proses edit seperti ini bisa membuat rancu sumber rujukan sebuah skripsi, tesis, atau disertasi. Berikut beberapa contohnya: Film Star Wars part 1, 2, dan 3 diubah menjadi part 4, 5, dan 6. Hanya versi kaset jadul awal 80-an yang judulnya masih otentik sesuai aslinya. Selain itu, sutradara film ini yakni George Lucas sudah mengedit film Star Wars dan menolak untuk merilis versi aslinya. Bahkan, pihak lembaga konservasi film Amerika, National Film Registry, sudah meminta George Lucas untuk menyerahkan rekaman asli filmnya karena dianggap sebagai “pusaka” negara. Namun, George Lucas menolak dan hanya mau memberikan versi yang sudah diedit—tentu saja National Film Registry tidak mau menerimanya. Hal serupa terjadi pada banyak sekali film, misalnya perbedaan versi Special Edition dan Diamond Edition dalam The Lion King dan Beauty and the Beast, perbedaan versi asli Bambi dengan versi restorasi yang beberapa kesalahan teknisnya sudah diperbaiki, dan masih banyak lagi. Hal yang sepertinya sepele ini sebetulnya sangat krusial bagi peneliti film dan kritikus film yang profesional karena analisis mereka bisa rancu atau kacau jika tidak diketahui versi dan sumber videonya [salah satu contoh kejadian kajian paling fatal dan memalukan adalah kasus “skandal” Kimba the White Lion vs The Lion King yang dibahas oleh kritikus sekaligus YouTuber Your Movie Sucks[YMS] di mana profesor universitas dan seorang akademisi mempublikasikan kajian berupa buku yang sepenuhnya salah, tapi terlanjur diamini oleh jutaan orang, semua hanya karena orang tidak tahu dan/atau tidak mau tahu sumber rujukan yang dipakai]. Padahal, dalam versi streaming, server tidak pernah menyatakan secara gamblang versi film yang mereka tayangkan. Mereka hanya menyebutkan judul filmnya tanpa menyatakan versinya. Terlebih lagi di zaman sekarang, film-film bersejarah yang dianggap rasis bukannya dipelajari, malah disensor, padahal itu bukti sejarah. Karena itulah saya merasa bahwa saya bukan lagi seorang kolektor, namun seorang kurator arsip yang menjaga keaslian film dan memberikan informasi mengenai keberadaan versi-versi yang berbeda.

Picture from DiscTarra official Twitter account [Account and Store Defunct since 2015]

Apakah saya masih membeli VCD, DVD dan Blu-ray di tahun 2020 [dan seterusnya]? Tentu saja masih. Dan ini berhubungan dengan judul tulisan ini.

Sejak 2010, saya mulai rutin pergi ke toko film Movie Plus dan Disc Tarra yang tersebar di banyak tempat:[khusus wilayah Yogyakarta] Movie Plus Gardena Jl. Solo [Urip Sumoharjo], Vinolia Baby Shop Jl. Solo, Movie Plus dan Disc Tarra Gramedia Jl. Sudirman, Movie Plus dan Disc Tarra Malioboro Mall, Movie Plus Gramedia Ambarrukmo Plaza, Disc Tarra Ambarrukmo Plaza lantai G dan 3. Sayangnya, saya mulai aktif koleksi di saat streaming mulai bergeliat. Di Amerika Serikat, rental film terbesar Blockbuster, menyatakan bangkrut di tahun 2010 [berdasarkan laporan CNN Business] karena selain kecepatan internet sudah memungkinkan masyarakat untuk mendownload film secara ilegal, jasa streaming Netflix telah mulai dikenal luas. Tentu saja di Indonesia terlambat beberapa tahun. Di tahun 2013, Disc Tarra Gramedia Sudirman tutup. Diikuti Disc Tarra Malioboro Mall di tahun 2014. Kemudian pada bulan Desember 2015, Disc Tarra resmi tutup dan dua outlet di Ambarrukmo Plaza akhirnya harus tutup. Tutupnya kedua toko ini membuat saya sangat sedih karena toko itu menyimpan kenangan masa kejayaan toko musik, ketika Ambarrukmo Plaza baru selesai dibangun dan dibuka, dan Disc Tarra di sana selalu ramai. Di tahun 2016 Movie Plus Gramedia Malioboro Mall tutup, diikuti Movie Plus Gardena di tahun 2017, dan terakhir Movie Plus Gramedia Sudirman di tahun 2018. Vinolia Baby Shop berhenti menyediakan DVD di akhir tahun 2019.

Jika diperhatikan baik-baik, ada hal yang aneh dari tumbangnya toko-toko DVD ini. Di tahun 2016, ketika toko-toko ini sebagian besar sudah tutup, industri perfilman justru memperkenalkan masyarakat dengan cakram baru yakni Blu-ray 4K/UHD Blu-ray. Selain itu, industri rekaman mulai menanggapi naiknya permintaan untuk kaset pita dan piringan hitam, meski kita semua tahu kalau kaset dan piringan hitam sudah “dibunuh” oleh CD sejak 90-an dan CD sendiri sudah “dibunuh” oleh musik cyber [mustahil mengatakan musik digital vs CD karena, toh, CD itu juga digital]. Pertanyaannya adalah, kenapa permintaan untuk DVD masih ada tetapi tokonya sudah tutup? Selain memang karena pembelinya berkurang karena pergeseran market [yang dulunya dikonsumsi semua orang, sekarang berubah hanya dikonsumsi kolektor atau kalangan tertentu yang masih menyukai rilisan fisik], masalah besar adalah dari skema penjualan film itu sendiri yakni toko fisik yang tidak bisa dijangkau semua orang dan memerlukan maintenance yang seringkali ongkosnya melebihi pemasukan. Maka, tak heran kalau kejadian ini tidak hanya dialami oleh toko DVD, namun toko-toko ritel lainnya termasuk toko mainan, bahkan toko pakaian dan sepatu. Sekarang, ada 0 [Nol/Kosong] DVD yang dijual di Disc Tarra, tapi ada X0.000 [Puluhan Ribu] DVD yang dijual di situs Amazon. Jika digabungkan dengan situs E-Bay, YesAsia, dan banyak situs lainnya, masih ada jutaan DVD yang dijual [per Desember 2020].

Picture from P.T. Vision official Facebook account [Account and Store Defunct since 2019]

Kenapa masih banyak orang mencari DVD?

Bagaimana lagi caranya seseorang mengoleksi atau memiliki hak kepemilikan seutuhnya atas film yang dia beli? Saat kita membayar ongkos Netflix, film yang kita tonton bukan milik kita, sehingga pada dasarnya kita hanya menyewa. Bagaimana jika seseorang tidak ingin menyewa dan ingin memiliki? Sangat mungkin [dan memang demikian cara kerjanya] bagi Netflix untuk menghapus sebuah film dari server, tapi mustahil bagi Disney, Paramount, Fox, Universal, Nickelodeon, dkk, untuk masuk ke rumah orang dan “menyita DVD” yang dia beli. Sebagai contoh, seseorang mungkin bukan kolektor DVD, tapi merupakan penggemar berat Harry Potter. Dia tidak pernah membeli DVD dan semua film ditonton secara streaming dan buku dibaca lewat PDF atau Kindle. Namun sebagai penggemar Harry Potter, bagaimana lagi caranya memiliki konten favorit secara permanen dan memuaskan jika tidak membeli buku cetak dan filmnya dalam DVD? Apalagi cover buku dan DVD ini sering dibuat menarik [kolektibel] dan dirilis dalam edisi terbatas/Limited Edition. Jika seseorang pergi ke konser, bagaimana lagi caranya mendapat memorabilia lagu dari penyanyinya jika tidak menggunakan CD, kaset, atau piringan hitam? Saya pernah membaca sebuah komentar dari seorang penggemar The Lord of The Rings. Dia telah menjual semua koleksi DVD-nya kecuali DVD The Lord of the Rings. Dan meskipun bukan kolektor Blu-ray, dia tetap ingin membeli paket The Lord of the Rings 4K terbaru. Inilah yang saya maksud ketika saya bilang bahwa market untuk DVD sudah bergeser. Fungsi DVD pun bukan lagi sebatas untuk menonton film, namun untuk dikoleksi dan/atau dijadikan arsip. Terkadang seorang kolektor hanya akan mengoleksi film animasi Disney, ada yang hanya akan mengoleksi DVD keluaran Criterion Collection, dan berbagai pilihan lainnya. Sejak zaman dulu manusia itu suka sekali mengoleksi, ada kolektor lukisan, mobil antik, buku, sampai penghapus, botol minuman, perangko, dan lain sebagainya. Tidak ada logika/nalar untuk menjelaskan kebiasaan koleksi karena merupakan hobi yang cenderung bersifat emosional—ada keterkaitan batin dengan benda yang dimiliki. Tentu saja, koleksi buku dan film memiliki fungsi yang lebih praktis karena buku dan DVD itu tidak cuma untuk dipajang, tapi juga untuk ditonton. Terlebih lagi, banyak sekali DVD yang memberikan fitur tambahan yang tidak ada di situs streaming [Misalnya komentar aktor dan pembuat film, dan fitur pop up behind the scene].

Picture from DiscTarra official Twitter account [Account and Store Defunct since 2015]

Saya mempublikasikan tulisan ini sebagai ucapan selamat tinggal yang resmi kepada toko-toko film yang pernah menemani saya—saat hangout bersama teman, bersama gebetan, atau seorang diri, toko-toko ini menjadi tampat yang sangat saya sukai karena pada dasarnya saya sangat menyukai film. Saya sangat merindukan toko-toko ini dan berharap suatu saat akan muncul kembali [karena di Amerika justru ada beberapa toko yang didirikan khusus untuk para kolektor dan orang yang jenuh belanja online dan ingin belanja film secara nyata]. Saya merindukan interaksi nyata yang difasilitasi oleh toko-toko ini: ngobrol dengan penjaga toko atau bergabung dengan sesama kolektor mencari film di toko, atau berdebat tentang kualitas film yang dijual di sudut Bestseller bersama teman. Aroma DVD original baru yang bagi saya sama memabukkannya dengan aroma buku baru. Dalam ucapan selamat tinggal ini, saya mengucapkannya untuk toko-toko yang tadi saya sebutkan, tapi bukan kepada format DVD yang masih populer sampai sekarang. Untuk itu, saya merilis katalog film yang saya beli di toko-toko tersebut, sampai tutupnya Disc Tarra. Film yang saya beli setelah itu tidak saya masukkan karena toh saya juga sudah berhenti membuat katalog. Selamat tinggal Disc Tarra dan Movie Plus, saya merindukanmu, mengenangmu selalu. Nabil Bakri, Desember 2020.

***

Arsip Skywalker Hunter

***

Mengenang Masa-Masa 90-an Lewat Novel TERBIT TENGGELAM


Picture from P.T. Vision official Facebook account [Account and Store Defunct since 2019]