Review Film Where the Wild Things Are (2009) Petualangan Anak Liar di Pulau Monster Ganas

 

Review Film Where the Wild Things Are (2009) Petualangan Anak Liar di Pulau Monster Ganas

Oleh Nabil BakriSkywalker Hunter

Edisi Review Singkat+ULTRA [7.000+ Kata/17 Halaman]

Spesial 20 November

Periksa index

“We were gonna make a whole world like this. Now, everyone used to come here, but you know... you know what it feels like when all your teeth are falling out really slowly and you don't realize and then you notice that, well, they're really far apart. And then one day... you don't have any teeth anymore.”—Carol

Review berikut menggunakan gambar/foto milik pemegang hak cipta yang dilindungi doktrin fair use. The following review utilizes copyrighted pictures under the doctrine of fair use.

images©2009/Warner Bros./Where the Wild Things Are/All Rights Reserved.

⸎Sangat mungkin mengandung Spoiler, Anda diharap bijak menyikapinya.

Genre             : Fantasi—Petualangan

Rilis                 :

Domestic Releases:

October 16th, 2009 (Wide) by Warner Bros.
October 16th, 2009 (IMAX) by 
Warner Bros.

International Releases:

December 3rd, 2009 (Wide) (Australia)

Video Release:

March 2nd, 2010 by Warner Home Video

MPAA Rating:

PG for mild thematic elements, some adventure action and brief language

Durasi             : 101 menit

Sutradara       : Spike Jonze

Pemeran         :

Max Records as Max.

Catherine Keener as Connie, Max's mother.

Mark Ruffalo as Adrian, Connie's boyfriend.

Pepita Emmerichs as Claire, Max's older sister.

Steve Mouzakis as Max's teacher.

James Gandolfini as Carol.

Lauren Ambrose as KW.

Chris Cooper as Douglas.

Forest Whitaker as Ira.

Catherine O'Hara as Judith.

Paul Dano as Alexander.

Michael Berry Jr. as Bernard The Bull.

Episode           : -

Sinopsis

Seorang anak bernama Max tinggal bersama ibunya yang bernama Connie dan kakak perempuannya yang bernama Claire. Ia adalah seorang anak yang “liar”, bermasalah, dan memiliki imajinasi yang besar. Max merasa kesepian dan selalu ingin diperhatikan oleh ibu dan kakaknya. Ketika ia membuat sebuah igloo dan meminta kakaknya untuk memeriksa igloo tersebut, sang kakak menolak. Ketika teman-teman kakanya datang, Max mencoba mencari perhatian mereka dengan memulai perang bola salju. Teman-teman kakak Max yang sudah berusia remaja pun melempari Max dengan bola salju dan mereka bersenang-senang sesaat. Setelah teman dekat Claire menghancurkan igloo buatan Max, teman-teman Claire pergi dan Max merasa sangat sedih sekaligus kesal. Ia kesal karena teman-teman Claire menghancurkan igloo buatannya dan karena Claire hanya diam saja membiarkan hal itu terjadi. Untuk melampiaskan emosinya, Max mengobrak-abrik kamar Claire dan menyebarkan salju ke seluruh bagian karpet kamar Claire. Setelah ibunya pulang dari kerja, Max menceritakan apa yang terjadi dan sang ibu memintanya membantu membereskan kamar Claire. Karena Connie, ibu Max, sudah bercerai, ia menjalin hubungan dengan Adrian. Ketika Connie mengundang Adrian untuk makan malam, Max baru saja menyelesaikan membangun benteng di kamarnya dan meminta sang ibu untuk melihat benteng tersebut. Namun karena sedang menemani Adrian, Connie tidak datang ke kamar Max. Hal tersebut membuat Max marah besar. Dengan mengenakan kostum serigala, Max bertingkah liar. Ketika Connie mencoba untuk menghentikannya, Max justru menggigitnya dan Adrian menegaskan kepada Connie bahwa ia tidak boleh membiarkan Max bersikap kurang ajar. Akhirnya, Max lari dari rumah.

Max menemukan sebuah perahu dan menggunakannya untuk berlayar tanpa tahu tujuannya. Perahu itu membawa Max ke sebuah pulau yang ternyata merupakan tempat tinggal tujuh monster mengerikan. Monster-monster itu adalah Carol yang perasaannya selalu berubah-ubah, KW yang sebenarnya disukai oleh Carol dan membuat Carol kesal, Douglas yang merupakan mosnter kakatua sahabat Carol, Ira yang merupakan monster yang paling kalem, Judith si monster bertanduk 3 yang pemarah dan selalu berpikir negatif—ia adalah pasangan Ira—, Alexander si monster kambing yang paling lemah dan suka menyendiri, dan Bernard si monster banteng yang berpenampilan menakutkan tetapi pendiam. Ketika Max menemukan mereka, Carol sedang marah besar dan menghancurkan rumah para monster. Ia sedang kesal kepada KW dan merasa cemburu karena KW memiliki teman baru dan tidak mau lagi menghabiskan waktu bersama Carol. Monster lainnya hanya diam melihat perbuatan Carol yang merusak. Bukannya merasa takut, Max justru senang melihat Carol yang bertingkah “liar” dan tanpa pikir panjang, Max ikut menghancurkan rumah para monster bersama Carol. Melihat kemunculan seorang bocah berkostum serigala, para monster mempertanyakan asal usul bocah tersebut. Mereka semua kesal karena Max justru membantu menghancurkan rumah mereka. Menurut Judith, mereka lebih baik memakan Max. Namun, Max mengarang cerita bahwa dirinya adalah raja kaum Viking yang perkasa. Berkat ceritanya, para monster pun mengangkat Max sebaga raja mereka.

Ketika KW kembali dan mempertanyakan kenapa rumah mereka sudah hancur, para monster menceritakan tentang raja baru mereka, Max. Carol sangat berharap Max dapat membawa perubahan yang besar bagi kelompok mereka. Benar saja, baru beberapa menit menjabat sebagai raja, Max sudah berhasil menyatukan para monster dan mereka tidur dalam sebuah tumpukan monster yang menjadikan mereka lebih dekat sebagai sebuah keluarga. Karena Max berhasil mengembalikan KW ke dalam kelompok mereka, Carol yakin bahwa Max benar-benar seorang raja dan memiliki kekuatan ajaib. Keesokan harinya, Carol mengajak Max berkeliling pulau dan melihat model/replika sebuah kota yang sudah ia buat. Replika itu adalah sebuah harapan besar Carol—ia sangat ingin bisa tinggal di sebuah kota bersama teman-temannya dan juga KW selama-lamanya. Akhirnya, Max memiliki sebuah ide untuk membangun sebuah benteng dan kota sungguhan tempat mereka semua bisa tinggal bersama-sama. Akhirnya, dimulailah sebuah proyek besar membangun tempat tinggal baru para monster. Dengan kekuatan yang luar biasa, para monster memotong pohon hanya dengan sekali hempasan cakar mereka, melontarkan batuan berukuran besar hanya dengan sekali lemparan, hingga meruntuhkan bongkahan batu di tebing hanya dengan hentakan kaki. Max terus berpura-pura menjadi raja dan para monster terus mengerjakan proyek besar mereka. Di waktu yang bersamaan, Carol menjadi semakin kesal kepada KW dan dua sahabat barunya, Bob dan Terry. Sanggupkah Max menjaga keutuhan kelompok monster? Akankah para monster tahu bahwa Max hanya berpura-pura menjadi raja? Apa yang akan dilakukan para monster jika mereka tahu Max telah membohongi mereka? Sanggupkah Max kembali ke rumahnya?

01 Story Logic

Narasi dalam Where the Wild Things Are tidak logis sesuai dengan genrenya. Film ini seharusnya merupakan sebuah Fantasi—Petualangan, tetapi hal-hal yang mendasari genre Fantasi tidak ditemukan dalam film ini. Sistem Skywalker Hunter menggunakan The Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring sebagai acuan standar genre Fantasi. Salah satu hal yang ditegaskan oleh genre Fantasi adalah meskipun narasinya sangat imajinatif, segala kejadian di dalam ceritanya adalah kejadian yang sungguh-sungguh terjadi atau bukan hanya ada di dalam pikiran karakternya. Meskipun sebuah film menampilkan sosok naga, penyihir, goblin, dan karakter-karakter Fantasi lainnya, film tersebut bukanlah sebuah film Fantasi jika kesemuanya hanyalah khayalan karakternya. Ada banyak film yang memberikan nuansa Fantasi, tetapi sebetulnya merupakan sebuah film Drama atau Psikologi. Film Neverwas dan Saving Mr. Banks, misalnya, bisa jadi menampilkan nuansa Fantasi tetapi keduanya bukan film Fantasi. Hal yang serupa (the same logic) berlaku bagi film-film mencekam seperti Shutter Island, Dream House, dan The Ward. Karena “hantu” yang muncul dalam film-film tersebut bukanlah hantu, ketiganya tidak bisa dikategorikan sebagai Horror Supranatural, tetapi bisa dikategorikan sebagai Psychological Thriller.

Apabila Where the Wild Things Are adalah sebuah film Fantasi, maka Max harus benar-benar mengunjungi pulau para monster dan para Wild Things haruslah sungguh-sungguh ada—seperti para raksasa dalam BFG. Kalau kesemua atribut Fantasi itu sungguh-sungguh ada, maka Where the Wild Things Are masih belum memiliki logika yang kuat karena belum menjelaskan tentang aturan-aturan dunia Fantasi tersebut; misalnya bagaimana pulau Wild Things tersembunyi, bagaimana waktu berjalan dibandingkan dengan pulau manusia (seperti perbedaan waktu antara dunia manusia dengan dunia Narnia), apa sebenarnya para Wild Things yang menghuni pulau tersebut, dan hal lainnya yang membentuk aturan dunia Fantasi yang jelas. Tidak jelas apakah petualangan Max ke pulau Wild Things sungguh-sungguh terjadi atau hanya ada dalam imajinasi anak itu saja. Di dalam bukunya, jelas sekali bahwa semua monster Wild Things adalah hasil imajinasi Max. Karena mencoba memperumit sebuah cerita yang pada dasarnya sederhanan, adaptasi film Where the Wild Things Are ini justru menciptakan masalah baru: apa sebenarnya jati diri film ini. Jika para monster hanyalah khayalan Max, maka film ini memang tidak perlu menjelaskan aturan-aturan dunia Fantasi karena imajinasi seseorang bisa saja tanpa aturan. Dalam novel Challenger Deep karya Neal Shusterman, jelas sekali diperlihatkan (berdasarkan kisah nyata) bahwa seseorang bisa memiliki imajinasi dan berhalusinasi secara acak. Jika Where the Wild Things Are bukan sebuah Fantasi dan semua kejadian Fantasi yang ditampilkan hanya terjadi di dalam kepala Max, maka film ini berada di posisi yang serupa dengan film Neverwas; Where the Wild Things Are tidak akan fokus pada eksplorasi dunia Fantasinya, tetapi fokus mengupas kepribadian karakternya menggunakan pola kisah Drama dan Psikologi. Apa saja yang membuat Max begitu sedih, begitu marah, dan begitu tertekan sampai-sampai ia mengkhayal tentang hidup bersama para monster? Permasalahan Logika ini nantinya berkaitan erat dengan poin Konsistensi karena tidak jelas apakah film in ingin menceritakan tentang petualangan seorang anak di dunia Fantasi atau permasalahan psikologis seorang anak kecil.

Ketidakjelasan posisi film ini sebagai Fantasi atau sebagai Drama Psikologi membuat posisi Petualangan dalam film ini juga dipertanyakan dan bisa jadi tidak logis jika dikategorikan sebagai sebuah film Petualangan. Apabila film ini benar-benar sebuah Fantasi—yang sangat diragukan—maka Petualangan yang dilalui oleh Max sudah baik karena karakter utama sudah diperlihatkan melalui sebuah petualangan yang pada akhirnya mengubah karakternya. Namun jika semua petualangan itu hanya terjadi di dalam pikiran Max, apakah masih bisa disebut sebagai sebuah “petualangan”? Perjalanan seseorang melalui petualangan dalam pikiran tidak perlu dimasukkan ke dalam kelompok genre tersendiri karena sudah dinaungi oleh genre film Psikologi. Karakter Caden Bosch dalam novel Challenger Deep juga bertualang menggunakan sebuah kapal bajak laut bahkan menyelam ke dasar palung. Namun, novel tersebut tetap bukan novel petualangan karena titik beratnya ada pada poin psikologi dan petualangan yang terjadi hanya ada di dalam pikiran karakternya. Inilah alasan pentingnya kejelasan genre sebuah film: agar pembahasan mengenai logika dan konsistensi ceritanya menjadi jelas. Dalam beberapa aspek, Where the Wild Things Are memberikan indikasi bahwa Fantasi dan Petualangan film ini hanya terjadi di dalam imajinasi Max. Namun pada akhir cerita, tidak ada upaya untuk menegaskan bahwa kesemuanya benar-benar hanya khayalan. Dengan demikian, penonton dapat berasumsi bahwa semua keanehan yang dialami oleh Max sungguh-sungguh terjadi (seperti keanehan yang dialami Chihiro dalam Spirited Away benar-benar terjadi) sehingga wajar jika banyak anak-anak yang merasa ketakutan karena mereka menduga para monster itu nyata, berbeda dengan versi bukunya yang jelas-jelas menceritakan bahwa Wild Things adalah khayalan Max. Versi buku menceritakan tentang seorang anak yang bertualang secara imajinatif ke sebuah pulau monster sementara versi film menceritakan tentang seorang anak yang “terjebak” atau “terdampar” di sebuah pulau monster.

02 Story Consistency

Alur cerita film ini tidak konsisten. Pertama, konsep film ini masih belum jelas (sudah dibahas di poin Story Logic) sehingga tidak jelas apakah film ini ingin fokus menceritakan tentang petualangan Max yang mengubah hidupnya, atau permasalahan psikologis Max. Tidak jelas apakah film ini ingin mengeksplorasi berbagai permasalahan yang terjadi di dalam keluarga Max (bagaimana hubungannya dengan kakak dan ibunya, atau dengan ayahnya yang sudah tidak tinggal dalam satu rumah), sebatas menceritakan tentang imajinasi Max yang liar, atau permasalahan yang dialami oleh Carol sebagai salah satu Wild Things. Permasalahan-permasalahan dalam rumah tangga, seperti yang dieksplorasi dalam narasi seperti Challenger Deep atau Dear Evan Hansen, dapat memengaruhi sisi psikologis anak sehingga apa-apa saja permasalahan yang terjadi sudah sepantasnya dieskplorasi untuk menjelaskan mengapa si anak berperilaku seperti yang ditampilkan. Eksplorasi semacam ini tidak ditemukan dalam Where the Wild Things Are. Karena mencoba untuk membuat imajinasi Max seolah-olah kejadian sungguhan (bukan imajinasi), film ini juga tidak bisa mengkesplorasi cerita sederhana tentang betapa luar biasanya imajinasi anak kecil. Padahal, film ini diawali dengan ibu Max yang meminta Max bercerita dan sang ibu terpukau dengan seberapa mengalirnya imajinasi anak-anak. Where the Wild Things Are juga mencoba mengeksplorasi kompleksitas hubungan antar monster Wild Things. Ada permasalahan antara Carol dengan KW yang masih belum dieksplorasi dengan baik, dan antara para monster dengan Alexander si monster kambing yang merasa dikucilkan di kelompok monster. Apabila kehidupan monster dimaksudkan untuk mereplikasi kehidupan Max, maka poin ini bukan hanya kurang konsisten karena tidak dieksplorasi tetapi juga tidak logis karena tidak jelas siapa padanan monster di dunia “nyata”. Dalam beberapa adegan, Max tampak diperlihatkan sebagai versi manusia dari Carol. Namun di adegan lainnya, Max diprlihatkan lebih mirip dengan Alexander.

03 Casting Choice and Acting

Pemilihan aktor live-action dan pengisi suara dalam film ini, secara umum, sudah baik.

04 Music Match

Musik yang diperdengarkan dalam film ini secara umum sudah baik karena sudah diperdengarkan pada momen adegan yang sesuai.  

There were some buildings... There were these really tall buildings, and they could walk. Then there were some vampires. And one of the vampires bit the tallest building, and his fangs broke off. Then all his other teeth fell out. Then he started crying. And then, all the other vampires said, "Why are you crying? Weren't those just your baby teeth?" And he said, "No. Those were my grown-up teeth." And the vampires knew he couldn't be a vampire anymore, so they left him. The end.”—Max

05 Cinematography Match

Secara umum, Where the Wild Things Are memiliki sinematografi yang baik.

06 Costume Design

Kostum dalam film ini sudah baik. Kostum untuk karakter manusia di perkotaan sudah baik, begitu pula kostum para Wild Things yang tidak hanya sesuai dengan desain awal penulis ceritanya, tetapi berfungsi dengan baik secara teknis. Ketika Where the Wild Things Are pertama kali dirilis, berbagai kalangan memuji penggunaan kostum Wild Things dalam film ini.

07 Background/Set Match

Latar belakang serta properti yang digunakan dalam film ini sudah baik. Meskipun Where the Wild Things Are menerima tanggapan yang beragam dan cenderung negatif dari kalangan penonton, tanggapan negatif itu sebetulnya ditujukan pada pilihan-pilihan artistik film ini, bukan pada aspek teknisnya. Secara teknis, teknik sinematografi, musik, kostum, serta latar belakang dan properti yang digunakan dinilai sudah tidak bermasalah atau sudah baik. Rumah Max sudah terlihat seperti rumah “biasa” (bukan rumah keluarga mewah, hal ini mendukung jalannya cerita yang memperlihatkan bahwa ibu Max cukup kesulitan menghidupi keluarganya), rumah dan benteng para Wild Things sudah terlihat baik dengan efek nyata, latar belakang laut serta properti perahu yang digunakan oleh Max pun sudah terlihat baik alias tidak tampak bermasalah.

08 Special and/or Practical Effects

Berkaitan erat dengan poin kostum dan latar belakang, efek visual dalam film ini sudah baik. Where the Wild Things Are telah menggunakan efek komputer dengan baik untuk “menghidupkan” karakter Wild Things dengan menggerakkan bibir mereka sementara tetap mempertahankan keseluruhan karakter menggunakan kostum nyata non-CGI. Berbagai tambahan objek CGI pun terlihat sudah menyatu baik dengan objek nyata. Pencahayaan film ini tidak bermasalah, berbagai adegan yang terjadi di malam hari tetap dapat disaksikan dengan jelas oleh penonton.

09 Audience Approval

Where the Wild Things Are mendapatkan tanggapan yang beragam—cenderung sangat negatif. Ketika pertama kali dirilis, film ini memunculkan cukup banyak perdebatan mengenai sasaran usia penontonnya. Meskipun pihak studio dan pencipta film ini menyatakan bahwa Where the Wild Things Are adalah “film anak-anak” yang bisa disaksikan oleh semua usia, ada banyak kalangan yang merasa bahwa Where the Wild Things Are lebih cocok untuk penonton dewasa karena berpotensi besar untuk menakut-nakuti anak kecil. Tidak sedikit penonton kanak-kanak yang mengalami mimpi buruk atau ketakutan setelah menonton film ini. Setelah media sosial menjadi semakin populer di 2010 ke atas, semakin banyak penonton yang mengaku menyaksikan Where the Wild Things Are semasa kecil dan mengalami trauma—banyak yang bahkan hingga dewasa tidak berani lagi menonton film tersebut. Kritikus film Stephanie Zacharek menyatakan bahwa “The movie is so loaded with adult ideas about childhood—as opposed to things that might delight or engage an actual child” (“Film ini dipenuhi dengan apa yang dipikir oleh orang dewasa tentang masa kanak-kanak—bukan apa yang bisa menghibur atau menarik minat anak-anak sungguhan”. Singkatnya, pencipta Where the Wild Things Are merasa “memahami” penonton anak-anak, tetapi sebetulnya apa yang mereka pahami adalah diri mereka sendiri, bukan anak-anak sungguhan (permasalahan ini akan lebih dieksplorasi dalam poin Intentional Match).

Ketidakpopuleran Where the Wild Things Are dapat dilihat dari angka penjualan tiket bioskopnya yang tidak berhasil menutup biaya pembuatan filmnya. Bahkan setelah film ini berusia lebih dari 10 tahun, tidak ada peningkatan dalam hal tanggapan positif (akan dieksplorasi dalam poin Longevity). Bahkan sebelum filmnya dirilis, studio Warner Bros. sebenarnya menganggap film ini kurang cocok untuk anak-anak karena berbagai gambaran sosok mengerikan yang nyata tetapi sureal berpotensi menakutkan bagi anak-anak (as opposed to/dibandingkan dengan gambar-gambar sureal dalam animasi yang memang pada dasarnya tidak nyata). Sejalan dengan permasalahan target usia penontonnya, tanggapan-tanggapan positif memang datang dari para penonton dewasa. Selain itu, ada cukup banyak penonton dewasa yang sewaktu kecil dahulu tidak memahami narasi Where the Wild Things Are atau ketakutan menonton filmnya; barulah setelah beranjak dewasa dan menonton ulang, mereka tidak lagi ketakutan dan memahami ceritanya. Karena film ini mendapatkan tanggapan yang positif dari kalangan kritikus, Where the Wild Things Are berpotensi menjadi sebuah film yang memunculkan berbagai kritikus generasi baru yang pretentious—atau tidak mau dianggap “kurang sophisticated” jika tidak menyukai Where the Wild Things Are. Dalam kolom opini yang disediakan oleh Google, ada banyak komentar tidak wajar yang intinya berbunyi “saya tidak memahami film ini dan takut menontonnya, tetapi saya menyukai film ini dan film ini sangat indah”. Komentar semacam ini memiliki irama yang persis seperti kisah The Emperor’s New Clothes, “saya tidak bisa melihat baju baru sang raja, tapi baju baru itu sangat bagus dan menawan”.

I remember watching this movie when I was much younger and I never really understand what was going on, even now I barely understand it, but still a great movie.—[ID]Saya ingat menonton film ini saat masih jauh lebih muda dan saya tidak benar-benar memahaminya, bahkan hingga sekarang saya belum sepenuhnya mengerti, tetapi film ini tetaplah film yang luar biasa.” Film-film dengan karakteristik seperti Where the Wild Things Are, entah mengapa, seringkali menciptakan atmosfer ketakutan untuk menyampaikan pendapat yang sebenar-benarnya di forum-forum yang membahas tentang film. Orang-orang takut diri mereka dianggap “kurang pintar” atau “kurang sophisticated” sehingga tidak memahami sebuah mahakarya. Pengguna ini menyatakan bahwa Where the Wild Things Are adalah sebuah film yang luar biasa, tetapi tidak dapat memberikan alasan yang membuat Where the Wild Things Are luar biasa. Padahal, pengguna bisa setidaknya menyatakan bahwa efek visual kostum dalam film tersebut sangat baik karena memang faktanya kostum yang digunakan dalam film ini, secara teknis, sudah baik.

Lmao don't even pay attention to the reviews, this is one of those movies that did its own thing and of course, got critiqued heavily for it.—[ID]Ha ha ha jangan perhatikan ulasannya, ini adalah salah satu film yang punya ciri khas sendiri dan tentu saja, akibatnya mendapat kritik yang tajam.” Komentar ini menyatakan “ulasan” dan memberikan indikasi bahwa ulasan seputar Where the Wild Things Are sangatlah negatif. Padahal, film ini mendapatkan ulasan yang, sebaliknya, sangat positif dari kalangan kritikus. Bahkan, pengguna ini berkomentar di sebuah forum yang mayoritas  memberikan tanggapan positif untuk Where the Wild Things Are. Komentar ini memiliki salah satu indikator pretentiousness yakni mengagung-agungkan “perbedaan”—pada intinya sesuatu yang berbeda selalu bagus, hanya saja selalu salah dimengerti. Padahal, “berbeda” bisa jadi memang benar-benar tidak bagus atau tidak istimewa sama sekali.

Many people didn’t understand the point of the movie, they just cant capture the beauty of this film. This is one of the best movie to capture what is it like to be a child. A lot of critics tend to forget that childhood is not always a time of unwavering happiness.The movie capturing the feeling of fun and carefree  moments and then scary and sad. Anyone who says the theme “is too dark and mature” MISSED THE WHOLE POINT!!!—[ID]Banyak orang yang tidak memahami tujuan film ini, mereka gagal menangkap keindahan film ini. Where the Wild Things Are adalah salah satu film terbaik yang menangkap bagaimana rasanya menjadi seorang anak. Banyak kritikus yang cenderung melupakan bahwa masa kanak-kanak bukanlah masa yang selalu dipenuhi keceriaan. Film ini menangkap perasaan gembira dan bebas, kemudian perasaan takut dan sedih. Siapa saja yang menyatakan tema film ini “terlalu gelap dan dewasa” TIDAK MEMAHAMI MAKSUDNYA!!!” Fakta paling utama yang harus diklarifikasi di sini adalah “kritikus yang mana?” Frasa “many critics/banyak kritikus” ini sebetulnya mengacu kepada siapa? Pada kenyataannya, mayoritas kritikus memberikan respons yang positif untuk film ini. Para “kritikus” adalah orang dewasa yang sudah dewasa saat menonton Where the Wild Things Are. Permasalahannya, film tersebut dipasarkan untuk anak-anak, bahkan di beberapa negara mendapatkan rating usia G (General Audiences/Semua Umur). Sebagian besar kalangan tidak menyatakan film ini “terlalu gelap gelap dan dewasa” tetapi “terlalu gelap dan dewasa untuk anak-anak” karena pada kenyataannya, banyak sekali anak-anak yang ketakutan menonton film ini.

Platform

Score ⸙

IMDb

6.7/10

Rotten Tomatoes

57%

Metacritic

6.5/10

Cinemascore

B+

Google User

72%

[|]Nilai pada tabel di atas mungkin berbeda dengan nilai yang dikemukakan oleh masing-masing platform. Pada platform penilaian film yang menampilkan penilaian kritikus, nilai yang ditampilkan pada tabel di atas adalah nilai yang diberikan oleh penonton non-kritikus/user. Nilai yang ditampilkan mengacu pada data termutakhir saat artikel ini dipublikasikan. Maka, nilai yang ditampilkan pada masing-masing platform dapat berubah seiring berjalannya waktu.

10 Intentional Match

Where the Wild Things Are belum berhasil memenuhi visi penciptanya baik dari segi finansial maupun artistik. Ketika sutradara film The Amazing Bulk, Lewis Schoenbrun, menyatakan bahwa efek dalam The Amazing Bulk terlihat sangat buruk karena dirinya sengaja membuat film tersebut bernuansa buku komik, sudah menjadi tugas kritikus film dan penonton untuk menilai apakah pernyataan sutradara (his intention) sudah sesuai dengan realita atau produk akhirnya (does the director’s intention match the final product). Karena inilah sistem penilaian Skywalker Hunter menyertakan poin Intentional Match ke dalam 10 poin penilaian utama. Selama proses pembuatan dan pemasaran Where the Wild Things Are, para penciptanya dengan tegas menyatakan bahwa film ini adalah film untuk anak-anak yang bisa disaksikan oleh penonton dari segala usia. Bahkan ketika pihak studio Warner Bros. meragukan pernyataan tersebut, para penciptanya tetap bersikeras menyatakan film ini sebagai tontonan untuk anak-anak dan keluarga. Ketika cuplikan film ini tersebar di internet pada tahun 2008 sebelum filmnya resmi dirilis, banyak pengguna internet yang berkomentar negatif terhadap desain karakternya. Tidak sedikit kalangan yang menyatakan bahwa Where the Wild Things Are berpotensi menakuti anak-anak. Beredar sebuah rumor bahwa ketika film ini diputar di hadapan anak-anak selama uji coba, film ini membuat mereka ketakutan. Rumor tersebut membuat Warner Bros memutuskan untuk menunda perilisan filmnya. Beberapa rumor tersebut di antaranya:

Apparently the film is too weird and ‘too scary,’ and the character of Max is being seen as not likable—[ID]Tampaknya, film ini terlalu aneh dan ‘terlalu menakutkan’, juga karakter Max dinilai tidak disukai.” [Hunter Stephenson, “Spike Jonze’s Where the Wild Things Are to Be Entirely Reshot?!”, 20 Februari 2008]

Early audience reports from test screenings late last year were prototypically alarming, calling the film “dark,” “not suitable for small children,” complaining about “some desert place” et al.—[ID]Laporan penonton dalam tahap uji coba akhir tahun lalu memberikan gambaran yang mengkhawatirkan, mereka menyebut film itu “gelap”, “tidak cocok untuk anak-anak”, mengeluhkan tentang “gurun pasir antah berantah” dll.” [Hunter Stephenson, “Spike Jonze’s Where the Wild Things Are to Be Entirely Reshot?!”, 20 Februari 2008]

Cuplikan rumor tersebut bukan tanpa dasar. Terbukti bahwa memang ada banyak kalangan yang menolak untuk menerima pernyataan pencipta filmnya bahwa Where the Wild Things Are adalah film untuk anak-anak. Setelah rumor tentang seberapa menakutkannya Where the Wild Things Are untuk anak-anak, ahli efek visual Howard Berger yang sebelumnya berpartisipasi dalam pembuatan Narnia, memberikan indikasi bahwa terlepas benar atau tidaknya rumor tersebut, pendekatan artistik dalam film Where the Wild Things Are memang berpotensi sejalan dengan rumornya. Meskipun Howard Berger adalah penggemar buku cerita Where the Wild Things Are, dirinya mengaku telah menolak tawaran sutradara Spike Jonze sebanyak 4 kali untuk mengerjakan efek visual kostum para Wild Things. Pernyataan Howard Berger dimuat dalam Sci Fi Wire sebagai berikut:

"We were approached four times, and we turned it down four times. [We turned it down] because I'm in love with it so much. I respect it too much. What is happening is what I thought would happen."—There were rumors earlier, reported on C.H.U.D. and elsewhere, that Warner was not happy with Jonze's footage and that it was even considering reshooting the entire film. The movie is expected to be released in October 2009.—Whether those reports are true or not, Berger said: "The direction that they were taking in the movie was certainly not the direction that I would have taken. It was potentially a catastrophe. I had a sinking feeling about it. I didn't want to get myself in it. It's a horrible idea." [Mike Szymanski, “Berger On Why He Said No To Wild Things”, 25 November 2008]

[ID]“Empat kali kami diminta, dan empat kali kami menolak. [Kami menolaknya] karena saya sangat menyukai (buku) Where the Wild Things Are. Saya sangat menghormatinya. Apa yang sedang terjadi sekarang (rumor tentang kostum monster yang terlalu menakutkan untuk anak-anak) sudah saya perkirakan akan terjadi.”—Sebelumnya, beredar rumor yang dipublikasikan di C.H.U.D. dan sumber lainnya, bahwa (studio) Warner tidak menyukai cuplikan film Jonze hingga bahkan memberikan wacana untuk merekam ulang seluruh filmnya. Film ini seharusnya dirilis pada bulan Oktober 2009.—Terlepas benar atau tidaknya rumor tersebut, Berger menyatakan: “Arah (artistik) yang mereka pilih dalam film itu jelas sekali bukan arah (artistik) yang mau saya pilih. Arah tersebut berpotensi menjadi bencana. Saya memiliki perasaan tidak enak soal itu. Saya tidak ingin terlibat di dalamnya. (Arah) itu adalah sebuah ide yang buruk.” [Mike Szymanski, “Berger On Why He Said No To Wild Things”, 25 November 2008]

Pada awal 1980-an, buku karya Maurice Sendak berjudul Where the Wild Things Are yang terbit pada 1963 direncanakan untuk diangkat menjadi sebuah animasi. Tepatnya pada tahun 1983, animator Glen Keane dan (calon) sutradara Toy Story John Lasseter melakukan uji coba animasi komputer (CGI) menggunakan cerita Where the Wild Things Are untuk memadukan animasi 2 dimensi dengan 3 dimensi. Meskipun film tersebut tidak terealisasikan, Where the Wild Things Are beberapa kali diproses untuk diangkat menjadi sebuah film animasi. Proses ini, meski terus menerus gagal menjadi kenyataan, menunjukkan bahwa mayoritas tim kreatif yang berniat memfilmkan Where the Wild Things Are merasa bahwa kisah tersebut lebih cocok difilmkan dalam bentuk animasi ketimbang live-action. Setelah Sendak bekerja sama dengan Universal, Where the Wild Things Are akhirnya diputuskan untuk menjadi sebuah live-action. Karena Universal dan Sendak memiliki perbedaan pendapat, akhirnya pengerjaan film ini berpindah tangan kepada Warner Bros. higga akhirnya tewujudlah sebuah film live-action yang sejak awal kebocoran rekamannya sudah menuai kontroversi di kalangan masyarakat—khususnya mengenai desain artistik karakter-karakternya yang dinilai tidak cocok untuk anak-anak. Ketika berbagai kalangan mencoba menerangkan kekhawatiran mereka (their concerns) tentang betapa tidak cocoknya Where the Wild Things Are menjadi sebuah film anak-anak, tik kreatif film ini justru menyerang balik dan tetap bersikeras bahwa mereka tahu yang terbaik dan bahwa Where the Wild Things Are adalah film yang cocok untuk anak-anak. Ketika para orangtua menyatakan bahwa film tersebut terlalu menakutkan untuk anak-anak, Maurice Sendak justru membalas dengan mempersilakan para orangtua untuk “pergi saja ke neraka”. Pernyataan tersebut telah didokumentasikan oleh The Guardian sebagai berikut:

Parents who think the new film of Maurice Sendak's picture book Where the Wild Things Are is too frightening for children can "go to hell", the author has said.—"I would tell them to go to hell," Sendak said. And if children can't handle the story, they should "go home," he added. "Or wet your pants. Do whatever you like. But it's not a question that can be answered." [Alison Flood, “Maurice Sendak tells parents worried by Wild Things to 'go to hell'”, 20 Oktober 2009]

Orangtua yang merasa film terbaru adaptasi buku bergambar Where the Wild Things Are karya Maurice Sendak terlalu menakutkan untuk anak-anak silakan saja “pergi ke neraka”, kat sang penulis.—“Saya akan mempersilakan mereka pergi saja ke neraka,” kata Sendak. Dan jika anak-anak ketakutan akan ceritanya, mereka sebaiknya “pulang ke rumah,” ia menambahkan. “Atau pipis di celana. Lakukan sesuka kalian. Tapi itu merupakan sebuah pertanyaan yang tidak ada jawabannya.” [Alison Flood, “Maurice Sendak tells parents worried by Wild Things to 'go to hell'”, 20 Oktober 2009]

Pada akhirnya, adaptasi Where the Wild Things are tidak berhasil menangkap esensi dari bukunya—meskipun proses pembuatan filmnya didampingi langsung oleh pembuat ceritanya. Film ini gagal menjadi sebuah film yang cocok dan digemari oleh anak-anak. Bukannya mendapatkan tanggapan positif dari anak-anak (sebagaimana buku ceritanya), tanggapan positif justru datang dari kalangan kritkus film dewasa. Daripada memaksakan untuk membuat sebuah film anak-anak yang tanggung karena setengahnya memiliki bobot film kalangan dewasa, akan lebih baik jika sedari awal film ini fokus saja menjadi sebuah film untuk orang dewasa dan mengeksplorasi tentang pengalaman-pengalaman masa kecil yang tidak akan dimengerti oleh anak-anak, tetapi akan dikenang oleh orang dewasa misalnya seperti film December Boys (2007), The Tree of Life (2011), Finding Neverland (2004) atau yang sejenisnya. Bukannya mengadaptasi tema imajinasi dari dalam bukunya seperti Winnie the Pooh, adaptasi Where the Wild Things Are mencoba menguatkan kesan bahwa Max benar-benar mendarat di sebuah pulau para monster Wild Things, mengubah kisah pertemanan imajinatif menjadi realistis (bukan imajinasi) seperti The Fox and the Hound atau BFG (Big Friendly Giant).

ADDITIONAL CONSIDERATIONS

[Lima poin tambahan ini bisa menambah dan/atau mengurangi sepuluh poin sebelumnya. Jika poin kosong, maka tidak menambah maupun mengurangi 10 poin sebelumnya. Bagian ini adalah pertimbangan tambahan Skywalker, maka ditambah atau dikuranginya poin pada bagian ini adalah hak prerogatif Skywalker, meskipun dengan pertimbangan yang sangat matang]

01 Skywalker’s Schemata

Where the Wild Things Are adalah salah satu film paling buruk yang pernah saya tonton. Everything about this movie is unsettling; the music, the cinematography, the characters, the costumes, the aura, the world, every single thing of this movie is stuff of nightmare. Jangankan anak-anak, orang dewasa pun masih bisa merasa ketakutan jika menonton film ini. Where the Wild Things Are adalah sebuah film yang begitu absurd, surealis, aneh, dan mungkin hanya cocok dinikmati saat sedang teler ganja. Karakter-karater makhluk liar dalam film ini adalah makhluk-makhluk yang muncul dari mimpi buruk selama demam [fever dream]. Saya mengerti betul kalau film ini diangkat dari sebuah buku cerita anak-anak yang hanya terdiri dari beberapa kalimat. Saya sudah membaca bukunya dan mengerti kalau desain karakter di filmnya sudah sesuai dengan desain karakter dalam bukunya. Namun saya dan banyak orang lainnya merasa tidak takut membaca bukunya dan ketakutan atau setidaknya merasa tidak nyaman/terganggu (disturbed) ketika melihat para monster dalam versi filmnya. Ada satu hal penting yang membuat monster dalam bukunya tidak begitu menakutkan sedangkan monster dalam filmnya berhasil membuat banyak anak di seluruh dunia ketakutan dan mengalami trauma. Di sinilah tempat argumen saya mengenai film animasi bekerja: tidak semua film cocok disajikan secara live action. Karakter-karakter dalam bukunya tidak sebegitu menakutkan karena mereka, pada dasarnya, adalah karakter animasi 2 dimensi. Di sinilah letak keunggulan format animasi. Film animasi memiliki batas toleransi ke-absurd-an (absurdity) ekspresi karakter yang jauh lebih besar dibandingkan dengan live-action. Hal ini menjelaskan mengapa Alice in Wonderland masih dapat dinikmati banyak orang dan Spirited Away masih bisa dinikmati oleh banyak orang. Bahkan, terdapat perbedaan keleluasaan ekspresi antara animasi 2 dimensi dan animasi 3 dimensi: karakter 2 dimensi dalam Spirited Away bisa tampil lebih ekspresif dibandingkan karakter dalam film Earwig and the Witch yang 3 dimensi.

Jika kita amati, sebetulnya ada banyak kisah-kisah absurd untuk anak-anak dengan karakter yang menyeramkan. Para monster dalam serial Sesame Street, misalnya, tampak absurd dan menakutkan. Namun mereka tetaplah tidak nyata: mereka adalah boneka yang digerakkan oleh manusia. Where the Wild Things Are juga menggunakan kostum boneka, tetapi film tersebut dengan jelas berusaha menghilangkan kesan bahwa semua monster adalah boneka. Film ini mencoba meyakinkan anak-anak bahwa para monster yang mereka saksikan adalah monster sungguhan. Where the Wild Things Are menghapus batasan yang jelas antara apa yang nyata dan apa yang tidak nyata. Parahnya, penghapusan tersebut dilakukan dalam format live action. Film ini menjejalkan hal-hal yang abstrak dan absurd ke dunia nyata, sementara di dunia nyata tidak ada hal yang abstrak dan absurd seperti para monster Wild Things. Dalam bukunya, jelas sekali kalau para monster Wild Things hanyalah hasil imajinasi Max. Dengan demikian, Max memiliki kendali penuh atas imajinasinya. Di dalam buku, Max terlihat garang, pemberani, sama sekali tidak takut dengan para monster. Ia membayangkan dirinya menjadi seorang petualang yang berhasil menjadi pemimpin para monster. Dengan kata lain, Max memiliki sebuah pilihan dan pilihan itu ada dalam genggaman tangannya. Dalam versi film, Max sering diperlihatkan ketakutan menghadapi para Wild Things. Selain itu, para Wild Things versi film bukanlah sekadar hasil imajinasi Max—kalaupun iya, proses imajinasi tersebut sangat disamarkan hingga tidak terlihat. Jika versi buku adalah sebuah imajinasi, versi film adalah sebuah mimpi buruk. Ketika berimajinasi, kita bebas menentukan apa saja yang ada di dalamnya. Namun dalam mimpi, kita sama sekali tidak bisa memilih. Kita terjebak dan harus menghadapi kengerian yang tidak bisa kita hindari.

Kalau kita amati kembali, sebenarnya kisah Alice in Wonderland dan Spirited Away sama-sama menceritakan tentang karakter yang “terjebak” di negeri asing atau “alam lain”. Bahkan, kengerian dalam Spirited Away bisa jadi lebih menakutkan daripada Where the Wild Things Are karena terdapat berbagai kekerasan yang ditampilkan di dalamnya—termasuk (spoiler) bagaimana kedua orang tua Chihiro diubah menjadi babi dan munculnya asumsi bahwa semua babi yang dikandangkan di rumah pemandian penyihir adalah manusia yang akan disembelih dan dimakan oleh para hantu. Namun, ada satu hal penting yang membuat Spirited Away serta Alice in Wonderland menjadi bearable dan justru bisa memikat anak-anak serta orang dewasa: keduanya adalah animasi 2 dimensi. Tidak bisa dipungkiri bahwa animasi 2 dimensi adalah medium yang memberikan keleluasaan terbaik dalam menampilkan ekspresi karakternya. Bahkan, animasi 2 dimensi masih lebih fleksibel dibandngkan dengan animasi 3 dimensi—dibuktikan dengan film Earwig and the Witch. Karakter-karakter Where the Wild Things Are versi buku sangat disukai oleh anak-anak karena mereka tidak nyata, mereka adalah animasi 2 dimensi yang dilukis oleh seorang penulis dengan penuh imajinasi, bukan oleh seorang sutradara film horor yang menyajikan Insidious atau The Conjuring. Film Where the Wild Things Are tidak hanya menarik karakter imajinasi ke dunia nyata, tetapi juga mengubah nuansa bukunya secara total sehingga benar-benar menakutkan. Berkaitan dengan film Insidious, coba perhatikan karakter iblis merah di dalamnya dan bandingkan dengan Darth Maul dalam Star Wars Episode I. Keduanya memiliki desain dan warna yang mirip, tetapi Darth Maul tidak terlihat semenakutkan iblis merah Insidious karena nuansa Star Wars bukanlah nuansa horor seperti Insidious. Aslan dalam Narnia tidak terlihat menakutkan seperti singa dalam film monster berjudul Prey yang tersnpirsi dari legenda singa Tsavo pemakan manusia.

Saya tidak tahu apa yang dipikirkan oleh para pencipta film ini ketika mengubah nuansa petualangan dan imajinatif dari bukunya menjadi sebuah kisah horor. Sosok Max yang pemberani dan terlihat mampu mengintimidasi para monster dalam bukunya pun berubah total menjadi karakter anak kecil yang rapuh. Di dalam bukunya, Max bukanlah anak yang mudah menangis. Ia lebih menyerupai Kevin yang tengil dari film Home Alone daripada Danny yang usil dalam film Zathura. Imajinasi anak-anak akan ikut menguat ketika mereka melihat Max berimajinasi melakukan petualangan dan berhasil menguasai para monster. Namun, anak-anak bisa jadi ikut merasakan kengerian yang luar biasa, rasa takut yang luar biasa, ketika Max gemetar melihat para monster dalam film. Tidak sekalipun Max dalam buku digambarkan ada dalam posisi terancam sementara Max senantiasa terancam di dalam film. Sejak film dimulai, para Wild Things sudah diperkenalkan melalui nuansa yang menakutkan. Ditambah, mereka telah membunuh banyak manusia yang sebelumnya mereka jadikan raja. Bukannya menekankan bagaimana monster yang mengerikan di dalam film sebenarnya juga memiliki perasaan, film ini justru berkali-kali memperlihatkan seberapa mematikannya para monster: cakar-cakar mereka diperlihatkan mampu menghancurkan benda terkuat, taring-taring mereka diperlihatkan senantiasa siap menerkam Max, dan berkali-kali diingatkan bahwa Max bisa menjadi santapan sewaktu-waktu. Bahkan ketika Max bersenang-senang dengan para monster, bekali-kali penonton dapat melihat ketakutan dalam ekspresi Max, ada kekhawatiran yang luar biasa dalam ekspresinya—kekhawatiran yang hanya bisa disembunyikan jika film ini adalah sebuah animasi. Ketika Max dan para monster tidur dalam sebuah tumpukan, misalnya, seharusnya menjadi sebuah adegan yang menyenangkan. Namun, adegan tersebut menampilkan bahwa Max bisa sewaktu-waktu tergilas tubuh monster dan tewas dengan usus terburai. Coba bandingkan dengan sebuah adegan dalam film animasi The Jungle Book 2: Bagheera tertindih tumpukan gajah yang dipimpin oleh Kolonel Hathi, tetapi tidak ada indikasi bahwa tubuh Bagheera akan remuk karena ditindih pantat gajah. Semua itu terlihat “wajar” karena filmnya menggunakan medium atau format animasi 2 dimensi.

Sudah lama sekali sejak saya pertama kali menonton film ini. Entah mengapa, para kolektor film sangat merekomendsikan film ini (dulu saya bergabung dengan grup kolektor film) dan majalah film paling populer di Indonesia kala itu, Cinemags, memberikan ulasan yang positif. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli DVD-nya dan menontonnya. Saya tidak menyukai film ini pada waktu itu. Saat saya menonton ulang setelah sekian tahun untuk menulis review ini, saya tetap tidak menyukainya. Saya mencoba mengesampingkan desain karakter yang mengerikan, musik yang mencekam, sinematografi bergaya The Blair Witch Project yang membuat pusing, dan berbagai elemen non-narasi dalam film ini untuk fokus pada ceritanya. Hasilnya, saya tetap tidak menyukai film ini karena saya pun menilai narasi dalam film ini juga tidak baik. Isu mengenai masa kecil, persahabatan, konflik sesama teman, impian-impian masa kecil, dan berbagai hal mengenai masa kanak-kanak lainnya juga ternyata tidak dieksplorasi dengan baik. Film animasi Pooh’s Heffalump the Movie justru menampilkan isu-isu tersebut dengan lebih efektif dan tidak menakutkan. Tidak heran bahwa dulunya Where the Wild Things Are memang diniatkan untuk menjadi sebuah film animasi, tetapi kalangan tertentu memaksakannya untuk menjadi sebuah live-action. Apakah dengan menjadikan kisahnya live-action akan lebih baik dari animasi? Mengapa harus live-action? Apa yang ingin dicapai? Membuat anak-anak terhibur? Nyatanya anak-anak justru ketakutan. Apabila ingin mengangkat cerita yang absurd ke format live-action, narasinya harus dibuat sejelas mungkin. Itulah mengapa Alice in Wonderlan live action karya Tim Burton memiliki alur cerita yang sangat jelas, bukan sekadar menggabungkan berbagai keanehan menjadi sebuah film seperti dalam versi animasinya.

Where the Wild Things Are is an unsettling and pretentious film. Critics’ and supporters’ reactions remind me once again of the old story by Hans Christian Andersen: the King does not wear anything, he is naked. And yet, some people will not admit that they cannot see the clothes. They do not want to look less-sophisticated or they want to look “cool” by being “different” or have a “different/unique taste of cinema”—which is fine by me so long they never claim the film as being, objectively speaking, a true masterpiece.

02 Awards

Berdasarkan laporan IMDb, Where the Wild Things Are menerima 7 penghargaan dan 54 nominasi. Meski demikian, tidak ada penghargaan yang benar-benar penting untuk disebutkan.

03 Financial

Dari dana pembuatan sebesar $100 juta, Where the Wild Things Are hanya mempu menjual tiket bioskop sebesar $99,1 juta (beberapa sumber menyebutkan $100,1 juta). Hal ini berkaitan erat dengan poin Audience Approval yang memperlihatkan rendahnya minat penonton untuk menyaksikan film ini di bioskop dan menunjukkan bahwa film ini gagal secara finansial. Setelah DVD-nya dipasarkan, barulah film ini memperoleh keuntungan yang lebih besar. DVD serta Blu-ray film ini terjual dengan nilai lebih dari $36,5 juta di Amerika Serikat saja. Namun tetap saja, Where the Wild Things Are tidak dapat dinyatakan sebagai sebuah film yang sukses secara finansial. Untuk menyesuaikan perspektif secara menyeluruh, penjualan DVD+Blu-ray film Avatar (2009) adalah sebesar (lebih dari) $362 juta—penjualan DVD terlaris selama 2010—dan Where the Wild Things Are bahkan tidak masuk dalam 30 besar penjualan DVD terlaris sepanjang 2010. [lebih lanjut: total penjualan DVD 2010, total penjualan Blu-ray 2010]

Where the Wild Things Are (2009) Theatrical Performance

Domestic Box Office

$77,233,467

Details

International Box Office

$21,890,189

Details

Worldwide Box Office

$99,123,656

Home Market Performance

Est. Domestic DVD Sales

$30,260,417

Details

Est. Domestic Blu-ray Sales

$6,284,322

Details

Total Est. Domestic Video Sales

$36,544,739

Further financial details...

Opening Weekend:

$32,695,407 (42.3% of total gross)

Legs:

2.36 (domestic box office/biggest weekend)

Domestic Share:

77.9% (domestic box office/worldwide)

Production Budget:

$100,000,000 (worldwide box office is 1.0 times production budget)

Theater counts:

3,735 opening theaters/3,735 max. theaters, 5.1 weeks average run per theater

Infl. Adj. Dom. BO

$94,390,469

04 Critics

Sebagian besar kalangan kritikus film memberikan tanggapan yang positif untuk film ini.  

05 Longevity

Where the Wild Things Are, sejak awal kemunculannya, memang tidak terlalu populer. Seperti yang telah dibahas pada poin Audience Approval dan Financial, film ini mendapatkan tanggapan yang cenderung negatif dari kalangan penonton dan gagal mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan tiket bioskop. Seiring berjalannya waktu, popularitas film ini tidak mengalami peningkatan. Bahkan, film ini pun tidak membantuk basis penggemar tersendiri yang kuat dan menjadi sebuah cult movie. Target usia penonton film ini, setelah lebih dari 10 tahun, masih menjadi masalah tersendiri. Ada banyak penonton yang mengaku akhirnya bisa memahami film ini setelah pertama kali menontonnya sewaktu kecil, tetapi ada banyak juga penonton yang menyatakan tetap merasa ketakutan karena mengalami trauma, dan tetap tidak menyukai film ini setelah beranjak dewasa. Tidak banyak penonton generasi baru yang begitu tertarik menonton film ini. Dengan kata lain, Where the Wild Things Are tidak berhasil bertahan melawan perubahan zaman.

Final Score

Skor Asli                     : 6

Skor Tambahan           : -2

Skor Akhir                  : 4/10


***

Spesifikasi Optical Disc

[Cakram Film DVD/VCD/Blu-ray Disc]

Judul               : Where the Wild Things Are

Rilis                 : 28 Februari 2011

Format             : DVD [|||]

Kode Warna    : 3/NTSC

Upscaling        : Support Player-HDMI Upscaling [YES||NO] [1080/60/50/24p]

Fitur                : Shorts by Lance Bangs

Support           : Windows 98-10 [VLC Media Player], DVD Player, HD DVD Player [termasuk X-Box 360], Blu-ray Player [termasuk PS 3 dan 4], 4K UHD Blu-ray Player [termasuk PS 5].

Keterangan Support:

[Support VCD, DVD, Kecuali Blu-ray dan 4K]

[Support VCD, DVD, Termasuk Blu-ray, Kecuali 4K]

[Support Semua Termasuk 4K]

STREAMING

Amazon VOD:

Amazon

iTunes:

iTunes

Google Play:

Google Play

Vudu:

Vudu

***

Spesifikasi Buku

Baca e-book Where the Wild Things Are [Free]

***

Edisi Review Singkat

Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Karena menggunakan standar yang baku, edisi review Skywalker akan jauh lebih pendek dari review Nabil Bakri yang lainnya dan akan lebih objektif.

Edisi Review Singkat+PLUS

Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Apabila terdapat tanda Review Singkat+PLUS di bawah judul, maka berdasarkan keputusan per Juli 2021 menandakan artikel tersebut berjumlah lebih dari 3.500 kata.

Edisi Review Singkat+ULTRA

Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar penilaian Skywalker Hunter Scoring System dengan jumlah 5.000-10.000 total kata.

Skywalker Hunter adalah alias dari Nabil Bakri

Keterangan Box Office dan penjualan DVD disediakan oleh The Numbers

©2009/Warner Bros./Where the Wild Things Are/All Rights Reserved.

©Nabil Bakri Platinum.

Teks ini dipublikasikan dalam Nabil Bakri Platinum [https://nabilbakri.blogspot.com/] yang diverifikasi Google dan dilindungi oleh DMCA.

Nabil Bakri Platinum tidak bertanggung jawab atas konten dari link eksternal yang ada di dalam teks ini—termasuk ketersediaan konten video atau film yang dapat berubah sewaktu-waktu di luar kendali Nabil Bakri Platinum.