Review Film Where the Wild Things Are (2009) Petualangan Anak Liar di Pulau Monster Ganas
Oleh Nabil BakriSkywalker Hunter
Edisi Review Singkat+ULTRA [7.000+ Kata/17 Halaman]
⸙Spesial 20 November
“We
were gonna make a whole world like this. Now, everyone used to come here, but
you know... you know what it feels like when all your teeth are falling out
really slowly and you don't realize and then you notice that, well, they're
really far apart. And then one day... you don't have any teeth anymore.”—Carol
Review berikut menggunakan gambar/foto milik pemegang hak
cipta yang dilindungi doktrin fair use. The following review utilizes
copyrighted pictures under the doctrine of fair use.
images©2009/Warner Bros./Where the Wild Things Are/All Rights
Reserved.
⸎Sangat mungkin mengandung Spoiler, Anda diharap bijak
menyikapinya.
Genre : Fantasi—Petualangan
Rilis :
Domestic Releases: |
October 16th, 2009 (Wide) by Warner Bros. |
International Releases: |
December 3rd, 2009
(Wide) (Australia) |
March 2nd, 2010 by Warner Home Video |
|
MPAA Rating: |
PG for mild thematic elements, some adventure action and
brief language |
Durasi : 101 menit
Sutradara : Spike Jonze
Pemeran :
⸙Max Records as Max.
⸙Catherine Keener as Connie, Max's
mother.
⸙Mark Ruffalo as Adrian,
Connie's boyfriend.
⸙Pepita Emmerichs as Claire, Max's
older sister.
⸙Steve Mouzakis as Max's teacher.
⸙James Gandolfini as Carol.
⸙Lauren Ambrose as KW.
⸙Chris Cooper as Douglas.
⸙Forest Whitaker as Ira.
⸙Catherine O'Hara as Judith.
⸙Paul Dano as Alexander.
⸙Michael Berry Jr. as Bernard The
Bull.
Episode : -
Sinopsis
Seorang
anak bernama Max tinggal bersama ibunya yang bernama Connie dan kakak
perempuannya yang bernama Claire. Ia adalah seorang anak yang “liar”,
bermasalah, dan memiliki imajinasi yang besar. Max merasa kesepian dan selalu
ingin diperhatikan oleh ibu dan kakaknya. Ketika ia membuat sebuah igloo dan
meminta kakaknya untuk memeriksa igloo tersebut, sang kakak menolak. Ketika
teman-teman kakanya datang, Max mencoba mencari perhatian mereka dengan memulai
perang bola salju. Teman-teman kakak Max yang sudah berusia remaja pun
melempari Max dengan bola salju dan mereka bersenang-senang sesaat. Setelah
teman dekat Claire menghancurkan igloo buatan Max, teman-teman Claire pergi dan
Max merasa sangat sedih sekaligus kesal. Ia kesal karena teman-teman Claire
menghancurkan igloo buatannya dan karena Claire hanya diam saja membiarkan hal
itu terjadi. Untuk melampiaskan emosinya, Max mengobrak-abrik kamar Claire dan
menyebarkan salju ke seluruh bagian karpet kamar Claire. Setelah ibunya pulang
dari kerja, Max menceritakan apa yang terjadi dan sang ibu memintanya membantu
membereskan kamar Claire. Karena Connie, ibu Max, sudah bercerai, ia menjalin
hubungan dengan Adrian. Ketika Connie mengundang Adrian untuk makan malam, Max
baru saja menyelesaikan membangun benteng di kamarnya dan meminta sang ibu
untuk melihat benteng tersebut. Namun karena sedang menemani Adrian, Connie
tidak datang ke kamar Max. Hal tersebut membuat Max marah besar. Dengan
mengenakan kostum serigala, Max bertingkah liar. Ketika Connie mencoba untuk
menghentikannya, Max justru menggigitnya dan Adrian menegaskan kepada Connie
bahwa ia tidak boleh membiarkan Max bersikap kurang ajar. Akhirnya, Max lari
dari rumah.
Max
menemukan sebuah perahu dan menggunakannya untuk berlayar tanpa tahu tujuannya.
Perahu itu membawa Max ke sebuah pulau yang ternyata merupakan tempat tinggal
tujuh monster mengerikan. Monster-monster itu adalah Carol yang perasaannya
selalu berubah-ubah, KW yang sebenarnya disukai oleh Carol dan membuat Carol
kesal, Douglas yang merupakan mosnter kakatua sahabat Carol, Ira yang merupakan
monster yang paling kalem, Judith si monster bertanduk 3 yang pemarah dan
selalu berpikir negatif—ia adalah pasangan Ira—, Alexander si monster kambing
yang paling lemah dan suka menyendiri, dan Bernard si monster banteng yang
berpenampilan menakutkan tetapi pendiam. Ketika Max menemukan mereka, Carol
sedang marah besar dan menghancurkan rumah para monster. Ia sedang kesal kepada
KW dan merasa cemburu karena KW memiliki teman baru dan tidak mau lagi
menghabiskan waktu bersama Carol. Monster lainnya hanya diam melihat perbuatan
Carol yang merusak. Bukannya merasa takut, Max justru senang melihat Carol yang
bertingkah “liar” dan tanpa pikir panjang, Max ikut menghancurkan rumah para
monster bersama Carol. Melihat kemunculan seorang bocah berkostum serigala,
para monster mempertanyakan asal usul bocah tersebut. Mereka semua kesal karena
Max justru membantu menghancurkan rumah mereka. Menurut Judith, mereka lebih
baik memakan Max. Namun, Max mengarang cerita bahwa dirinya adalah raja kaum
Viking yang perkasa. Berkat ceritanya, para monster pun mengangkat Max sebaga
raja mereka.
Ketika
KW kembali dan mempertanyakan kenapa rumah mereka sudah hancur, para monster
menceritakan tentang raja baru mereka, Max. Carol sangat berharap Max dapat
membawa perubahan yang besar bagi kelompok mereka. Benar saja, baru beberapa
menit menjabat sebagai raja, Max sudah berhasil menyatukan para monster dan
mereka tidur dalam sebuah tumpukan monster yang menjadikan mereka lebih dekat
sebagai sebuah keluarga. Karena Max berhasil mengembalikan KW ke dalam kelompok
mereka, Carol yakin bahwa Max benar-benar seorang raja dan memiliki kekuatan
ajaib. Keesokan harinya, Carol mengajak Max berkeliling pulau dan melihat
model/replika sebuah kota yang sudah ia buat. Replika itu adalah sebuah harapan
besar Carol—ia sangat ingin bisa tinggal di sebuah kota bersama teman-temannya
dan juga KW selama-lamanya. Akhirnya, Max memiliki sebuah ide untuk membangun
sebuah benteng dan kota sungguhan tempat mereka semua bisa tinggal
bersama-sama. Akhirnya, dimulailah sebuah proyek besar membangun tempat tinggal
baru para monster. Dengan kekuatan yang luar biasa, para monster memotong pohon
hanya dengan sekali hempasan cakar mereka, melontarkan batuan berukuran besar
hanya dengan sekali lemparan, hingga meruntuhkan bongkahan batu di tebing hanya
dengan hentakan kaki. Max terus berpura-pura menjadi raja dan para monster
terus mengerjakan proyek besar mereka. Di waktu yang bersamaan, Carol menjadi
semakin kesal kepada KW dan dua sahabat barunya, Bob dan Terry. Sanggupkah Max
menjaga keutuhan kelompok monster? Akankah para monster tahu bahwa Max hanya
berpura-pura menjadi raja? Apa yang akan dilakukan para monster jika mereka
tahu Max telah membohongi mereka? Sanggupkah Max kembali ke rumahnya?
01 Story Logic
Narasi
dalam Where the Wild Things Are tidak logis sesuai dengan genrenya. Film ini
seharusnya merupakan sebuah Fantasi—Petualangan, tetapi hal-hal yang mendasari
genre Fantasi tidak ditemukan dalam film ini. Sistem Skywalker Hunter
menggunakan The Lord of the
Rings: The Fellowship of the Ring
sebagai acuan standar genre Fantasi. Salah satu hal yang ditegaskan oleh genre
Fantasi adalah meskipun narasinya sangat imajinatif, segala kejadian di dalam
ceritanya adalah kejadian yang sungguh-sungguh terjadi atau bukan hanya ada di
dalam pikiran karakternya. Meskipun sebuah film menampilkan sosok naga,
penyihir, goblin, dan karakter-karakter Fantasi lainnya, film tersebut bukanlah
sebuah film Fantasi jika kesemuanya hanyalah khayalan karakternya. Ada banyak
film yang memberikan nuansa Fantasi, tetapi sebetulnya merupakan sebuah film
Drama atau Psikologi. Film Neverwas
dan Saving Mr. Banks, misalnya, bisa
jadi menampilkan nuansa Fantasi tetapi keduanya bukan film Fantasi. Hal yang
serupa (the same logic) berlaku bagi film-film mencekam seperti Shutter Island, Dream House, dan The Ward.
Karena “hantu” yang muncul dalam film-film tersebut bukanlah hantu, ketiganya
tidak bisa dikategorikan sebagai Horror Supranatural, tetapi bisa dikategorikan
sebagai Psychological Thriller.
Apabila
Where the Wild Things Are adalah sebuah film Fantasi, maka Max harus
benar-benar mengunjungi pulau para monster dan para Wild Things haruslah
sungguh-sungguh ada—seperti para raksasa dalam BFG. Kalau kesemua atribut Fantasi itu sungguh-sungguh ada, maka
Where the Wild Things Are masih belum memiliki logika yang kuat karena belum
menjelaskan tentang aturan-aturan dunia Fantasi tersebut; misalnya bagaimana
pulau Wild Things tersembunyi, bagaimana waktu berjalan dibandingkan dengan
pulau manusia (seperti perbedaan waktu antara dunia manusia dengan dunia Narnia), apa sebenarnya para Wild Things yang menghuni pulau
tersebut, dan hal lainnya yang membentuk aturan dunia Fantasi yang jelas. Tidak
jelas apakah petualangan Max ke pulau Wild Things sungguh-sungguh terjadi atau
hanya ada dalam imajinasi anak itu saja. Di dalam bukunya, jelas sekali bahwa
semua monster Wild Things adalah hasil imajinasi Max. Karena mencoba memperumit
sebuah cerita yang pada dasarnya sederhanan, adaptasi film Where the Wild
Things Are ini justru menciptakan masalah baru: apa sebenarnya jati diri film
ini. Jika para monster hanyalah khayalan Max, maka film ini memang tidak perlu
menjelaskan aturan-aturan dunia Fantasi karena imajinasi seseorang bisa saja
tanpa aturan. Dalam novel Challenger Deep
karya Neal Shusterman, jelas sekali diperlihatkan (berdasarkan kisah nyata)
bahwa seseorang bisa memiliki imajinasi dan berhalusinasi secara acak. Jika
Where the Wild Things Are bukan sebuah Fantasi dan semua kejadian Fantasi yang
ditampilkan hanya terjadi di dalam kepala Max, maka film ini berada di posisi
yang serupa dengan film Neverwas;
Where the Wild Things Are tidak akan fokus pada eksplorasi dunia Fantasinya,
tetapi fokus mengupas kepribadian karakternya menggunakan pola kisah Drama dan
Psikologi. Apa saja yang membuat Max begitu sedih, begitu marah, dan begitu tertekan
sampai-sampai ia mengkhayal tentang hidup bersama para monster? Permasalahan
Logika ini nantinya berkaitan erat dengan poin Konsistensi karena tidak jelas
apakah film in ingin menceritakan tentang petualangan seorang anak di dunia
Fantasi atau permasalahan psikologis seorang anak kecil.
Ketidakjelasan
posisi film ini sebagai Fantasi atau sebagai Drama Psikologi membuat posisi
Petualangan dalam film ini juga dipertanyakan dan bisa jadi tidak logis jika
dikategorikan sebagai sebuah film Petualangan. Apabila film ini benar-benar
sebuah Fantasi—yang sangat diragukan—maka Petualangan yang dilalui oleh Max
sudah baik karena karakter utama sudah diperlihatkan melalui sebuah petualangan
yang pada akhirnya mengubah karakternya. Namun jika semua petualangan itu hanya
terjadi di dalam pikiran Max, apakah masih bisa disebut sebagai sebuah
“petualangan”? Perjalanan seseorang melalui petualangan dalam pikiran tidak
perlu dimasukkan ke dalam kelompok genre tersendiri karena sudah dinaungi oleh
genre film Psikologi. Karakter Caden Bosch dalam novel Challenger Deep juga bertualang menggunakan sebuah kapal bajak laut
bahkan menyelam ke dasar palung. Namun, novel tersebut tetap bukan novel
petualangan karena titik beratnya ada pada poin psikologi dan petualangan yang
terjadi hanya ada di dalam pikiran karakternya. Inilah alasan pentingnya
kejelasan genre sebuah film: agar pembahasan mengenai logika dan konsistensi
ceritanya menjadi jelas. Dalam beberapa aspek, Where the Wild Things Are
memberikan indikasi bahwa Fantasi dan Petualangan film ini hanya terjadi di
dalam imajinasi Max. Namun pada akhir cerita, tidak ada upaya untuk menegaskan
bahwa kesemuanya benar-benar hanya khayalan. Dengan demikian, penonton dapat
berasumsi bahwa semua keanehan yang dialami oleh Max sungguh-sungguh terjadi
(seperti keanehan yang dialami Chihiro dalam Spirited Away benar-benar terjadi) sehingga wajar jika banyak
anak-anak yang merasa ketakutan karena mereka menduga para monster itu nyata,
berbeda dengan versi bukunya yang jelas-jelas menceritakan bahwa Wild Things
adalah khayalan Max. Versi buku menceritakan tentang seorang anak yang
bertualang secara imajinatif ke sebuah pulau monster sementara versi film
menceritakan tentang seorang anak yang “terjebak” atau “terdampar” di sebuah
pulau monster.
02 Story Consistency
Alur
cerita film ini tidak konsisten. Pertama, konsep film ini masih belum jelas
(sudah dibahas di poin Story Logic) sehingga tidak jelas apakah film ini ingin
fokus menceritakan tentang petualangan Max yang mengubah hidupnya, atau
permasalahan psikologis Max. Tidak jelas apakah film ini ingin mengeksplorasi
berbagai permasalahan yang terjadi di dalam keluarga Max (bagaimana hubungannya
dengan kakak dan ibunya, atau dengan ayahnya yang sudah tidak tinggal dalam
satu rumah), sebatas menceritakan tentang imajinasi Max yang liar, atau
permasalahan yang dialami oleh Carol sebagai salah satu Wild Things.
Permasalahan-permasalahan dalam rumah tangga, seperti yang dieksplorasi dalam
narasi seperti Challenger Deep atau Dear Evan Hansen, dapat memengaruhi sisi
psikologis anak sehingga apa-apa saja permasalahan yang terjadi sudah
sepantasnya dieskplorasi untuk menjelaskan mengapa si anak berperilaku seperti
yang ditampilkan. Eksplorasi semacam ini tidak ditemukan dalam Where the Wild
Things Are. Karena mencoba untuk membuat imajinasi Max seolah-olah kejadian
sungguhan (bukan imajinasi), film ini juga tidak bisa mengkesplorasi cerita sederhana
tentang betapa luar biasanya imajinasi anak kecil. Padahal, film ini diawali
dengan ibu Max yang meminta Max bercerita dan sang ibu terpukau dengan seberapa
mengalirnya imajinasi anak-anak. Where the Wild Things Are juga mencoba
mengeksplorasi kompleksitas hubungan antar monster Wild Things. Ada
permasalahan antara Carol dengan KW yang masih belum dieksplorasi dengan baik,
dan antara para monster dengan Alexander si monster kambing yang merasa
dikucilkan di kelompok monster. Apabila kehidupan monster dimaksudkan untuk
mereplikasi kehidupan Max, maka poin ini bukan hanya kurang konsisten karena
tidak dieksplorasi tetapi juga tidak logis karena tidak jelas siapa padanan
monster di dunia “nyata”. Dalam beberapa adegan, Max tampak diperlihatkan
sebagai versi manusia dari Carol. Namun di adegan lainnya, Max diprlihatkan
lebih mirip dengan Alexander.
03 Casting Choice and Acting
Pemilihan
aktor live-action dan pengisi suara dalam film ini, secara umum, sudah baik.
04 Music Match
Musik
yang diperdengarkan dalam film ini secara umum sudah baik karena sudah
diperdengarkan pada momen adegan yang sesuai.
“There were some buildings... There were
these really tall buildings, and they could walk. Then there were some
vampires. And one of the vampires bit the tallest building, and his fangs broke
off. Then all his other teeth fell out. Then he started crying. And then, all
the other vampires said, "Why are you crying? Weren't those just your baby
teeth?" And he said, "No. Those were my grown-up teeth." And the
vampires knew he couldn't be a vampire anymore, so they left him. The end.”—Max
05 Cinematography Match
Secara
umum, Where the Wild Things Are memiliki sinematografi yang baik.
06 Costume Design
Kostum
dalam film ini sudah baik. Kostum untuk karakter manusia di perkotaan sudah
baik, begitu pula kostum para Wild Things yang tidak hanya sesuai dengan desain
awal penulis ceritanya, tetapi berfungsi dengan baik secara teknis. Ketika
Where the Wild Things Are pertama kali dirilis, berbagai kalangan memuji
penggunaan kostum Wild Things dalam film ini.
07 Background/Set Match
Latar
belakang serta properti yang digunakan dalam film ini sudah baik. Meskipun
Where the Wild Things Are menerima tanggapan yang beragam dan cenderung negatif
dari kalangan penonton, tanggapan negatif itu sebetulnya ditujukan pada
pilihan-pilihan artistik film ini, bukan pada aspek teknisnya. Secara teknis,
teknik sinematografi, musik, kostum, serta latar belakang dan properti yang
digunakan dinilai sudah tidak bermasalah atau sudah baik. Rumah Max sudah
terlihat seperti rumah “biasa” (bukan rumah keluarga mewah, hal ini mendukung
jalannya cerita yang memperlihatkan bahwa ibu Max cukup kesulitan menghidupi
keluarganya), rumah dan benteng para Wild Things sudah terlihat baik dengan
efek nyata, latar belakang laut serta properti perahu yang digunakan oleh Max
pun sudah terlihat baik alias tidak tampak bermasalah.
08 Special and/or Practical Effects
Berkaitan
erat dengan poin kostum dan latar belakang, efek visual dalam film ini sudah
baik. Where the Wild Things Are telah menggunakan efek komputer dengan baik
untuk “menghidupkan” karakter Wild Things dengan menggerakkan bibir mereka
sementara tetap mempertahankan keseluruhan karakter menggunakan kostum nyata
non-CGI. Berbagai tambahan objek CGI pun terlihat sudah menyatu baik dengan
objek nyata. Pencahayaan film ini tidak bermasalah, berbagai adegan yang
terjadi di malam hari tetap dapat disaksikan dengan jelas oleh penonton.
09 Audience Approval
Where
the Wild Things Are mendapatkan tanggapan yang beragam—cenderung sangat
negatif. Ketika pertama kali dirilis, film ini memunculkan cukup banyak
perdebatan mengenai sasaran usia penontonnya. Meskipun pihak studio dan
pencipta film ini menyatakan bahwa Where the Wild Things Are adalah “film
anak-anak” yang bisa disaksikan oleh semua usia, ada banyak kalangan yang
merasa bahwa Where the Wild Things Are lebih cocok untuk penonton dewasa karena
berpotensi besar untuk menakut-nakuti anak kecil. Tidak sedikit penonton
kanak-kanak yang mengalami mimpi buruk atau ketakutan setelah menonton film
ini. Setelah media sosial menjadi semakin populer di 2010 ke atas, semakin
banyak penonton yang mengaku menyaksikan Where the Wild Things Are semasa kecil
dan mengalami trauma—banyak yang bahkan hingga dewasa tidak berani lagi
menonton film tersebut. Kritikus film Stephanie Zacharek menyatakan bahwa
“The movie is so loaded with adult ideas
about childhood—as opposed to things that might delight or engage an actual
child” (“Film ini dipenuhi dengan apa yang dipikir oleh orang dewasa
tentang masa kanak-kanak—bukan apa yang bisa menghibur atau menarik minat
anak-anak sungguhan”. Singkatnya, pencipta Where the Wild Things Are merasa
“memahami” penonton anak-anak, tetapi sebetulnya apa yang mereka pahami adalah
diri mereka sendiri, bukan anak-anak sungguhan (permasalahan ini akan lebih
dieksplorasi dalam poin Intentional Match).
Ketidakpopuleran
Where the Wild Things Are dapat dilihat dari angka penjualan tiket bioskopnya
yang tidak berhasil menutup biaya pembuatan filmnya. Bahkan setelah film ini
berusia lebih dari 10 tahun, tidak ada peningkatan dalam hal tanggapan positif
(akan dieksplorasi dalam poin Longevity). Bahkan sebelum filmnya dirilis,
studio Warner Bros. sebenarnya menganggap film ini kurang cocok untuk anak-anak
karena berbagai gambaran sosok mengerikan yang nyata tetapi sureal berpotensi
menakutkan bagi anak-anak (as opposed to/dibandingkan dengan gambar-gambar
sureal dalam animasi yang memang pada dasarnya tidak nyata). Sejalan dengan
permasalahan target usia penontonnya, tanggapan-tanggapan positif memang datang
dari para penonton dewasa. Selain itu, ada cukup banyak penonton dewasa yang
sewaktu kecil dahulu tidak memahami narasi Where the Wild Things Are atau
ketakutan menonton filmnya; barulah setelah beranjak dewasa dan menonton ulang,
mereka tidak lagi ketakutan dan memahami ceritanya. Karena film ini mendapatkan
tanggapan yang positif dari kalangan kritikus, Where the Wild Things Are
berpotensi menjadi sebuah film yang memunculkan berbagai kritikus generasi baru
yang pretentious—atau tidak mau dianggap “kurang sophisticated” jika tidak
menyukai Where the Wild Things Are. Dalam kolom opini yang disediakan oleh
Google, ada banyak komentar tidak wajar yang intinya berbunyi “saya tidak
memahami film ini dan takut menontonnya, tetapi saya menyukai film ini dan film
ini sangat indah”. Komentar semacam ini memiliki irama yang persis seperti
kisah The Emperor’s New Clothes,
“saya tidak bisa melihat baju baru sang raja, tapi baju baru itu sangat bagus
dan menawan”.
“I remember watching this movie when I was
much younger and I never really understand what was going on, even now I barely
understand it, but still a great movie.—[ID]Saya ingat menonton film ini saat masih jauh
lebih muda dan saya tidak benar-benar memahaminya, bahkan hingga sekarang saya
belum sepenuhnya mengerti, tetapi film ini tetaplah film yang luar biasa.” Film-film
dengan karakteristik seperti Where the Wild Things Are, entah mengapa,
seringkali menciptakan atmosfer ketakutan untuk menyampaikan pendapat yang
sebenar-benarnya di forum-forum yang membahas tentang film. Orang-orang takut
diri mereka dianggap “kurang pintar” atau “kurang sophisticated” sehingga tidak
memahami sebuah mahakarya. Pengguna ini menyatakan bahwa Where the Wild Things
Are adalah sebuah film yang luar biasa, tetapi tidak dapat memberikan alasan
yang membuat Where the Wild Things Are luar biasa. Padahal, pengguna bisa
setidaknya menyatakan bahwa efek visual kostum dalam film tersebut sangat baik
karena memang faktanya kostum yang digunakan dalam film ini, secara teknis,
sudah baik.
“Lmao don't even pay attention to the
reviews, this is one of those movies that did its own thing and of course, got
critiqued heavily for it.—[ID]Ha ha ha jangan perhatikan ulasannya, ini
adalah salah satu film yang punya ciri khas sendiri dan tentu saja, akibatnya
mendapat kritik yang tajam.” Komentar ini menyatakan “ulasan” dan
memberikan indikasi bahwa ulasan seputar Where the Wild Things Are sangatlah
negatif. Padahal, film ini mendapatkan ulasan yang, sebaliknya, sangat positif
dari kalangan kritikus. Bahkan, pengguna ini berkomentar di sebuah forum yang mayoritas memberikan tanggapan positif untuk Where the
Wild Things Are. Komentar ini memiliki salah satu indikator pretentiousness
yakni mengagung-agungkan “perbedaan”—pada intinya sesuatu yang berbeda selalu
bagus, hanya saja selalu salah dimengerti. Padahal, “berbeda” bisa jadi memang
benar-benar tidak bagus atau tidak istimewa sama sekali.
“Many people didn’t understand the point of
the movie, they just cant capture the beauty of this film. This is one of the
best movie to capture what is it like to be a child. A lot of critics tend to
forget that childhood is not always a time of unwavering happiness.The movie
capturing the feeling of fun and carefree
moments and then scary and sad. Anyone who says the theme “is too dark
and mature” MISSED THE WHOLE POINT!!!—[ID]Banyak orang yang tidak memahami tujuan film
ini, mereka gagal menangkap keindahan film ini. Where the Wild Things Are
adalah salah satu film terbaik yang menangkap bagaimana rasanya menjadi seorang
anak. Banyak kritikus yang cenderung melupakan bahwa masa kanak-kanak bukanlah
masa yang selalu dipenuhi keceriaan. Film ini menangkap perasaan gembira dan
bebas, kemudian perasaan takut dan sedih. Siapa saja yang menyatakan tema film
ini “terlalu gelap dan dewasa” TIDAK MEMAHAMI MAKSUDNYA!!!” Fakta paling
utama yang harus diklarifikasi di sini adalah “kritikus yang mana?” Frasa “many
critics/banyak kritikus” ini sebetulnya mengacu kepada siapa? Pada
kenyataannya, mayoritas kritikus memberikan respons yang positif untuk film
ini. Para “kritikus” adalah orang dewasa yang sudah dewasa saat menonton Where
the Wild Things Are. Permasalahannya, film tersebut dipasarkan untuk anak-anak,
bahkan di beberapa negara mendapatkan rating usia G (General Audiences/Semua
Umur). Sebagian besar kalangan tidak menyatakan film ini “terlalu gelap gelap
dan dewasa” tetapi “terlalu gelap dan dewasa untuk anak-anak” karena pada kenyataannya, banyak sekali anak-anak
yang ketakutan menonton film ini.
Platform |
Score ⸙ |
IMDb |
6.7/10 |
Rotten Tomatoes |
57% |
Metacritic |
6.5/10 |
Cinemascore |
B+ |
Google User |
72% |
[|]Nilai pada tabel di atas mungkin
berbeda dengan nilai yang dikemukakan oleh masing-masing platform. Pada platform penilaian film yang
menampilkan penilaian kritikus, nilai yang ditampilkan pada tabel di atas
adalah nilai yang diberikan oleh penonton non-kritikus/user. Nilai yang
ditampilkan mengacu pada data termutakhir saat artikel ini dipublikasikan.
Maka, nilai yang ditampilkan pada masing-masing platform dapat berubah seiring
berjalannya waktu.
10 Intentional
Match
Where
the Wild Things Are belum berhasil memenuhi visi penciptanya baik dari segi
finansial maupun artistik. Ketika sutradara film The Amazing Bulk, Lewis Schoenbrun, menyatakan bahwa efek dalam The Amazing Bulk terlihat sangat buruk
karena dirinya sengaja membuat film tersebut bernuansa buku komik, sudah
menjadi tugas kritikus film dan penonton untuk menilai apakah pernyataan
sutradara (his intention) sudah sesuai dengan realita atau produk akhirnya
(does the director’s intention match the final product). Karena inilah sistem
penilaian Skywalker Hunter menyertakan poin Intentional Match ke dalam 10 poin
penilaian utama. Selama proses pembuatan dan pemasaran Where the Wild Things
Are, para penciptanya dengan tegas menyatakan bahwa film ini adalah film untuk
anak-anak yang bisa disaksikan oleh penonton dari segala usia. Bahkan ketika
pihak studio Warner Bros. meragukan pernyataan tersebut, para penciptanya tetap
bersikeras menyatakan film ini sebagai tontonan untuk anak-anak dan keluarga.
Ketika cuplikan film ini tersebar di internet pada tahun 2008 sebelum filmnya
resmi dirilis, banyak pengguna internet yang berkomentar negatif terhadap
desain karakternya. Tidak sedikit kalangan yang menyatakan bahwa Where the Wild
Things Are berpotensi menakuti anak-anak. Beredar sebuah rumor bahwa ketika
film ini diputar di hadapan anak-anak selama uji coba, film ini membuat mereka
ketakutan. Rumor tersebut membuat Warner Bros memutuskan untuk menunda
perilisan filmnya. Beberapa rumor tersebut di antaranya:
“Apparently the film is
too weird and ‘too scary,’ and the character of Max is being seen as not
likable—[ID]Tampaknya,
film ini terlalu aneh dan ‘terlalu menakutkan’, juga karakter Max dinilai tidak
disukai.” [Hunter Stephenson, “Spike Jonze’s Where the Wild Things Are to Be Entirely
Reshot?!”, 20 Februari 2008]
“Early audience reports
from test screenings late last year were prototypically alarming, calling the
film “dark,” “not suitable for small children,” complaining about “some desert
place” et al.—[ID]Laporan penonton dalam tahap uji coba akhir
tahun lalu memberikan gambaran yang mengkhawatirkan, mereka menyebut film itu
“gelap”, “tidak cocok untuk anak-anak”, mengeluhkan tentang “gurun pasir antah
berantah” dll.” [Hunter Stephenson, “Spike Jonze’s Where the Wild Things Are to Be Entirely
Reshot?!”, 20 Februari 2008]
Cuplikan
rumor tersebut bukan tanpa dasar. Terbukti bahwa memang ada banyak kalangan
yang menolak untuk menerima pernyataan pencipta filmnya bahwa Where the Wild
Things Are adalah film untuk anak-anak. Setelah rumor tentang seberapa
menakutkannya Where the Wild Things Are untuk anak-anak, ahli efek visual Howard
Berger yang sebelumnya berpartisipasi
dalam pembuatan Narnia, memberikan indikasi bahwa terlepas benar atau tidaknya
rumor tersebut, pendekatan artistik dalam film Where the Wild Things Are memang
berpotensi sejalan dengan rumornya. Meskipun Howard Berger adalah penggemar
buku cerita Where the Wild Things Are, dirinya mengaku telah menolak tawaran
sutradara Spike Jonze sebanyak 4 kali untuk mengerjakan efek visual kostum para
Wild Things. Pernyataan Howard Berger dimuat dalam Sci Fi Wire sebagai berikut:
"We were
approached four times, and we turned it down four times. [We turned it down]
because I'm in love with it so much. I respect it too much. What is happening
is what I thought would happen."—There were rumors earlier, reported on
C.H.U.D. and elsewhere, that Warner was not happy with Jonze's footage and that
it was even considering reshooting the entire film. The movie is expected to be
released in October 2009.—Whether those reports are true or not, Berger said:
"The direction that they were taking in the movie was certainly not the
direction that I would have taken. It was potentially a catastrophe. I had a
sinking feeling about it. I didn't want to get myself in it. It's a horrible
idea." [Mike Szymanski, “Berger On Why He Said No To Wild Things”, 25 November 2008]
[ID]“Empat kali kami diminta, dan empat kali kami
menolak. [Kami menolaknya] karena saya sangat menyukai (buku) Where the Wild
Things Are. Saya sangat menghormatinya. Apa yang sedang terjadi sekarang (rumor
tentang kostum monster yang terlalu menakutkan untuk anak-anak) sudah saya
perkirakan akan terjadi.”—Sebelumnya, beredar rumor yang dipublikasikan di
C.H.U.D. dan sumber lainnya, bahwa (studio) Warner tidak menyukai cuplikan film
Jonze hingga bahkan memberikan wacana untuk merekam ulang seluruh filmnya. Film
ini seharusnya dirilis pada bulan Oktober 2009.—Terlepas benar atau tidaknya
rumor tersebut, Berger menyatakan: “Arah (artistik) yang mereka pilih dalam
film itu jelas sekali bukan arah (artistik) yang mau saya pilih. Arah tersebut
berpotensi menjadi bencana. Saya memiliki perasaan tidak enak soal itu. Saya
tidak ingin terlibat di dalamnya. (Arah) itu adalah sebuah ide yang buruk.” [Mike
Szymanski, “Berger On Why He Said No To Wild Things”, 25 November 2008]
Pada
awal 1980-an, buku karya Maurice Sendak berjudul Where the Wild Things Are yang terbit
pada 1963 direncanakan untuk diangkat menjadi sebuah animasi. Tepatnya pada
tahun 1983, animator Glen Keane dan
(calon) sutradara Toy Story John Lasseter melakukan
uji coba animasi komputer (CGI) menggunakan cerita Where the Wild Things Are untuk memadukan animasi 2 dimensi dengan
3 dimensi. Meskipun film tersebut tidak terealisasikan, Where the Wild Things Are beberapa kali diproses untuk diangkat
menjadi sebuah film animasi. Proses ini, meski terus menerus gagal menjadi
kenyataan, menunjukkan bahwa mayoritas tim kreatif yang berniat memfilmkan Where the Wild Things Are merasa bahwa
kisah tersebut lebih cocok difilmkan dalam bentuk animasi ketimbang
live-action. Setelah Sendak bekerja sama dengan Universal, Where the Wild Things Are akhirnya diputuskan untuk menjadi sebuah
live-action. Karena Universal dan Sendak memiliki perbedaan pendapat, akhirnya
pengerjaan film ini berpindah tangan kepada Warner Bros. higga akhirnya
tewujudlah sebuah film live-action yang sejak awal kebocoran rekamannya sudah
menuai kontroversi di kalangan masyarakat—khususnya mengenai desain artistik
karakter-karakternya yang dinilai tidak cocok untuk anak-anak. Ketika berbagai
kalangan mencoba menerangkan kekhawatiran mereka (their concerns) tentang
betapa tidak cocoknya Where the Wild Things Are menjadi sebuah film anak-anak,
tik kreatif film ini justru menyerang balik dan tetap bersikeras bahwa mereka
tahu yang terbaik dan bahwa Where the Wild Things Are adalah film yang cocok
untuk anak-anak. Ketika para orangtua menyatakan bahwa film tersebut terlalu
menakutkan untuk anak-anak, Maurice Sendak justru membalas dengan mempersilakan
para orangtua untuk “pergi saja ke neraka”. Pernyataan tersebut telah
didokumentasikan oleh The Guardian
sebagai berikut:
Parents who think
the new film of Maurice Sendak's picture book Where the Wild Things Are is too
frightening for children can "go to hell", the author has
said.—"I would tell them to go to hell," Sendak said. And if children
can't handle the story, they should "go home," he added. "Or wet
your pants. Do whatever you like. But it's not a question that can be answered." [Alison Flood, “Maurice Sendak tells parents worried by Wild Things to 'go to
hell'”, 20 Oktober 2009]
Orangtua yang merasa film terbaru adaptasi buku bergambar Where the Wild Things Are karya Maurice
Sendak terlalu menakutkan untuk anak-anak silakan saja “pergi ke neraka”, kat
sang penulis.—“Saya akan mempersilakan mereka pergi saja ke neraka,” kata
Sendak. Dan jika anak-anak ketakutan akan ceritanya, mereka sebaiknya “pulang
ke rumah,” ia menambahkan. “Atau pipis di celana. Lakukan sesuka kalian. Tapi
itu merupakan sebuah pertanyaan yang tidak ada jawabannya.” [Alison Flood, “Maurice Sendak tells parents worried by Wild Things to 'go to
hell'”, 20 Oktober 2009]
Pada
akhirnya, adaptasi Where the Wild Things are tidak berhasil menangkap esensi
dari bukunya—meskipun proses pembuatan filmnya didampingi langsung oleh pembuat
ceritanya. Film ini gagal menjadi sebuah film yang cocok dan digemari oleh
anak-anak. Bukannya mendapatkan tanggapan positif dari anak-anak (sebagaimana
buku ceritanya), tanggapan positif justru datang dari kalangan kritkus film
dewasa. Daripada memaksakan untuk membuat sebuah film anak-anak yang tanggung
karena setengahnya memiliki bobot film kalangan dewasa, akan lebih baik jika
sedari awal film ini fokus saja menjadi sebuah film untuk orang dewasa dan
mengeksplorasi tentang pengalaman-pengalaman masa kecil yang tidak akan
dimengerti oleh anak-anak, tetapi akan dikenang oleh orang dewasa misalnya seperti
film December Boys (2007), The Tree of Life (2011), Finding Neverland (2004) atau yang
sejenisnya. Bukannya mengadaptasi tema imajinasi dari dalam bukunya seperti Winnie the Pooh, adaptasi Where the Wild
Things Are mencoba menguatkan kesan bahwa Max benar-benar mendarat di sebuah
pulau para monster Wild Things, mengubah kisah pertemanan imajinatif menjadi
realistis (bukan imajinasi) seperti The
Fox and the Hound atau BFG (Big Friendly Giant).
ADDITIONAL CONSIDERATIONS
[Lima poin tambahan ini bisa menambah dan/atau mengurangi
sepuluh poin sebelumnya. Jika poin kosong, maka tidak menambah maupun
mengurangi 10 poin sebelumnya. Bagian ini adalah pertimbangan tambahan
Skywalker, maka ditambah atau dikuranginya poin pada bagian ini adalah hak
prerogatif Skywalker, meskipun dengan pertimbangan yang sangat matang]
01 Skywalker’s Schemata
Where
the Wild Things Are adalah salah satu film paling buruk yang pernah saya
tonton. Everything about this movie is unsettling; the music, the
cinematography, the characters, the costumes, the aura, the world, every single
thing of this movie is stuff of nightmare. Jangankan anak-anak, orang dewasa
pun masih bisa merasa ketakutan jika menonton film ini. Where the Wild Things
Are adalah sebuah film yang begitu absurd, surealis, aneh, dan mungkin hanya
cocok dinikmati saat sedang teler ganja. Karakter-karater makhluk liar dalam
film ini adalah makhluk-makhluk yang muncul dari mimpi buruk selama demam
[fever dream]. Saya mengerti betul kalau film ini diangkat dari sebuah buku cerita
anak-anak yang hanya terdiri dari beberapa kalimat. Saya sudah membaca bukunya
dan mengerti kalau desain karakter di filmnya sudah sesuai dengan desain
karakter dalam bukunya. Namun saya dan banyak orang lainnya merasa tidak takut
membaca bukunya dan ketakutan atau setidaknya merasa tidak nyaman/terganggu (disturbed)
ketika melihat para monster dalam versi filmnya. Ada satu hal penting yang
membuat monster dalam bukunya tidak begitu menakutkan sedangkan monster dalam
filmnya berhasil membuat banyak anak di seluruh dunia ketakutan dan mengalami
trauma. Di sinilah tempat argumen saya mengenai film animasi bekerja: tidak
semua film cocok disajikan secara live action. Karakter-karakter dalam bukunya
tidak sebegitu menakutkan karena mereka, pada dasarnya, adalah karakter animasi
2 dimensi. Di sinilah letak keunggulan format animasi. Film animasi memiliki
batas toleransi ke-absurd-an (absurdity) ekspresi karakter yang jauh lebih
besar dibandingkan dengan live-action. Hal ini menjelaskan mengapa Alice in
Wonderland masih dapat dinikmati
banyak orang dan Spirited Away masih
bisa dinikmati oleh banyak orang. Bahkan, terdapat perbedaan keleluasaan
ekspresi antara animasi 2 dimensi dan animasi 3 dimensi: karakter 2 dimensi
dalam Spirited Away bisa tampil lebih
ekspresif dibandingkan karakter dalam film Earwig and the
Witch yang 3 dimensi.
Jika
kita amati, sebetulnya ada banyak kisah-kisah absurd untuk anak-anak dengan
karakter yang menyeramkan. Para monster dalam serial Sesame Street, misalnya, tampak absurd dan menakutkan. Namun mereka
tetaplah tidak nyata: mereka adalah boneka yang digerakkan oleh manusia. Where
the Wild Things Are juga menggunakan kostum boneka, tetapi film tersebut dengan
jelas berusaha menghilangkan kesan bahwa semua monster adalah boneka. Film ini
mencoba meyakinkan anak-anak bahwa para monster yang mereka saksikan adalah
monster sungguhan. Where the Wild Things Are menghapus batasan yang jelas
antara apa yang nyata dan apa yang tidak nyata. Parahnya, penghapusan tersebut
dilakukan dalam format live action. Film ini menjejalkan hal-hal yang abstrak
dan absurd ke dunia nyata, sementara di dunia nyata tidak ada hal yang abstrak
dan absurd seperti para monster Wild Things. Dalam bukunya, jelas sekali kalau
para monster Wild Things hanyalah hasil imajinasi Max. Dengan demikian, Max
memiliki kendali penuh atas imajinasinya. Di dalam buku, Max terlihat garang,
pemberani, sama sekali tidak takut dengan para monster. Ia membayangkan dirinya
menjadi seorang petualang yang berhasil menjadi pemimpin para monster. Dengan
kata lain, Max memiliki sebuah pilihan dan pilihan itu ada dalam genggaman
tangannya. Dalam versi film, Max sering diperlihatkan ketakutan menghadapi para
Wild Things. Selain itu, para Wild Things versi film bukanlah sekadar hasil
imajinasi Max—kalaupun iya, proses imajinasi tersebut sangat disamarkan hingga
tidak terlihat. Jika versi buku adalah sebuah imajinasi, versi film adalah
sebuah mimpi buruk. Ketika berimajinasi, kita bebas menentukan apa saja yang
ada di dalamnya. Namun dalam mimpi, kita sama sekali tidak bisa memilih. Kita
terjebak dan harus menghadapi kengerian yang tidak bisa kita hindari.
Kalau
kita amati kembali, sebenarnya kisah Alice
in Wonderland dan Spirited Away
sama-sama menceritakan tentang karakter yang “terjebak” di negeri asing atau
“alam lain”. Bahkan, kengerian dalam Spirited
Away bisa jadi lebih menakutkan daripada Where the Wild Things Are karena
terdapat berbagai kekerasan yang ditampilkan di dalamnya—termasuk (spoiler)
bagaimana kedua orang tua Chihiro diubah menjadi babi dan munculnya asumsi
bahwa semua babi yang dikandangkan di rumah pemandian penyihir adalah manusia
yang akan disembelih dan dimakan oleh para hantu. Namun, ada satu hal penting
yang membuat Spirited Away serta Alice in Wonderland menjadi bearable dan
justru bisa memikat anak-anak serta orang dewasa: keduanya adalah animasi 2
dimensi. Tidak bisa dipungkiri bahwa animasi 2 dimensi adalah medium yang
memberikan keleluasaan terbaik dalam menampilkan ekspresi karakternya. Bahkan,
animasi 2 dimensi masih lebih fleksibel dibandngkan dengan animasi 3
dimensi—dibuktikan dengan film Earwig and
the Witch. Karakter-karakter Where the Wild Things Are versi buku sangat
disukai oleh anak-anak karena mereka tidak nyata, mereka adalah animasi 2
dimensi yang dilukis oleh seorang penulis dengan penuh imajinasi, bukan oleh
seorang sutradara film horor yang menyajikan Insidious atau The Conjuring.
Film Where the Wild Things Are tidak hanya menarik karakter imajinasi ke dunia
nyata, tetapi juga mengubah nuansa bukunya secara total sehingga benar-benar
menakutkan. Berkaitan dengan film Insidious,
coba perhatikan karakter iblis merah di dalamnya dan bandingkan dengan Darth
Maul dalam Star Wars Episode I.
Keduanya memiliki desain dan warna yang mirip, tetapi Darth Maul tidak terlihat
semenakutkan iblis merah Insidious
karena nuansa Star Wars bukanlah
nuansa horor seperti Insidious. Aslan
dalam Narnia tidak terlihat
menakutkan seperti singa dalam film monster berjudul Prey yang tersnpirsi dari legenda singa Tsavo pemakan manusia.
Saya
tidak tahu apa yang dipikirkan oleh para pencipta film ini ketika mengubah nuansa
petualangan dan imajinatif dari bukunya menjadi sebuah kisah horor. Sosok Max
yang pemberani dan terlihat mampu mengintimidasi para monster dalam bukunya pun
berubah total menjadi karakter anak kecil yang rapuh. Di dalam bukunya, Max
bukanlah anak yang mudah menangis. Ia lebih menyerupai Kevin yang tengil dari
film Home Alone daripada Danny yang usil dalam film Zathura. Imajinasi anak-anak akan ikut menguat ketika mereka melihat
Max berimajinasi melakukan petualangan dan berhasil menguasai para monster.
Namun, anak-anak bisa jadi ikut merasakan kengerian yang luar biasa, rasa takut
yang luar biasa, ketika Max gemetar melihat para monster dalam film. Tidak
sekalipun Max dalam buku digambarkan ada dalam posisi terancam sementara Max
senantiasa terancam di dalam film. Sejak film dimulai, para Wild Things sudah
diperkenalkan melalui nuansa yang menakutkan. Ditambah, mereka telah membunuh
banyak manusia yang sebelumnya mereka jadikan raja. Bukannya menekankan
bagaimana monster yang mengerikan di dalam film sebenarnya juga memiliki
perasaan, film ini justru berkali-kali memperlihatkan seberapa mematikannya
para monster: cakar-cakar mereka diperlihatkan mampu menghancurkan benda
terkuat, taring-taring mereka diperlihatkan senantiasa siap menerkam Max, dan
berkali-kali diingatkan bahwa Max bisa menjadi santapan sewaktu-waktu. Bahkan
ketika Max bersenang-senang dengan para monster, bekali-kali penonton dapat
melihat ketakutan dalam ekspresi Max, ada kekhawatiran yang luar biasa dalam
ekspresinya—kekhawatiran yang hanya bisa disembunyikan jika film ini adalah
sebuah animasi. Ketika Max dan para monster tidur dalam sebuah tumpukan,
misalnya, seharusnya menjadi sebuah adegan yang menyenangkan. Namun, adegan
tersebut menampilkan bahwa Max bisa sewaktu-waktu tergilas tubuh monster dan
tewas dengan usus terburai. Coba bandingkan dengan sebuah adegan dalam film
animasi The Jungle Book 2: Bagheera
tertindih tumpukan gajah yang dipimpin oleh Kolonel Hathi, tetapi tidak ada
indikasi bahwa tubuh Bagheera akan remuk karena ditindih pantat gajah. Semua
itu terlihat “wajar” karena filmnya menggunakan medium atau format animasi 2
dimensi.
Sudah
lama sekali sejak saya pertama kali menonton film ini. Entah mengapa, para
kolektor film sangat merekomendsikan film ini (dulu saya bergabung dengan grup
kolektor film) dan majalah film paling populer di Indonesia kala itu, Cinemags,
memberikan ulasan yang positif. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli DVD-nya
dan menontonnya. Saya tidak menyukai film ini pada waktu itu. Saat saya
menonton ulang setelah sekian tahun untuk menulis review ini, saya tetap tidak
menyukainya. Saya mencoba mengesampingkan desain karakter yang mengerikan,
musik yang mencekam, sinematografi bergaya The
Blair Witch Project yang membuat pusing, dan berbagai elemen non-narasi
dalam film ini untuk fokus pada ceritanya. Hasilnya, saya tetap tidak menyukai
film ini karena saya pun menilai narasi dalam film ini juga tidak baik. Isu
mengenai masa kecil, persahabatan, konflik sesama teman, impian-impian masa
kecil, dan berbagai hal mengenai masa kanak-kanak lainnya juga ternyata tidak
dieksplorasi dengan baik. Film animasi Pooh’s
Heffalump the Movie justru menampilkan isu-isu tersebut dengan lebih
efektif dan tidak menakutkan. Tidak heran bahwa dulunya Where the Wild Things
Are memang diniatkan untuk menjadi sebuah film animasi, tetapi kalangan
tertentu memaksakannya untuk menjadi sebuah live-action. Apakah dengan
menjadikan kisahnya live-action akan lebih baik dari animasi? Mengapa harus
live-action? Apa yang ingin dicapai? Membuat anak-anak terhibur? Nyatanya
anak-anak justru ketakutan. Apabila ingin mengangkat cerita yang absurd ke
format live-action, narasinya harus dibuat sejelas mungkin. Itulah mengapa Alice in Wonderlan live action karya Tim
Burton memiliki alur cerita yang sangat jelas, bukan sekadar menggabungkan
berbagai keanehan menjadi sebuah film seperti dalam versi animasinya.
Where the Wild Things Are is an unsettling and pretentious film. Critics’ and supporters’ reactions remind me once again of the old story by Hans Christian Andersen: the King does not wear anything, he is naked. And yet, some people will not admit that they cannot see the clothes. They do not want to look less-sophisticated or they want to look “cool” by being “different” or have a “different/unique taste of cinema”—which is fine by me so long they never claim the film as being, objectively speaking, a true masterpiece.
02 Awards
Berdasarkan
laporan IMDb, Where the Wild
Things Are menerima 7 penghargaan dan 54 nominasi. Meski demikian, tidak ada penghargaan yang benar-benar
penting untuk disebutkan.
03 Financial
Dari
dana pembuatan sebesar $100 juta, Where the Wild Things Are hanya mempu menjual
tiket bioskop sebesar $99,1 juta (beberapa sumber menyebutkan $100,1 juta). Hal
ini berkaitan erat dengan poin Audience Approval yang memperlihatkan rendahnya
minat penonton untuk menyaksikan film ini di bioskop dan menunjukkan bahwa film
ini gagal secara finansial. Setelah DVD-nya dipasarkan, barulah film ini
memperoleh keuntungan yang lebih besar. DVD serta Blu-ray film ini terjual
dengan nilai lebih dari $36,5 juta di Amerika Serikat saja. Namun tetap saja,
Where the Wild Things Are tidak dapat dinyatakan sebagai sebuah film yang
sukses secara finansial. Untuk menyesuaikan perspektif secara menyeluruh,
penjualan DVD+Blu-ray film Avatar
(2009) adalah sebesar (lebih dari) $362 juta—penjualan DVD terlaris selama
2010—dan Where the Wild Things Are bahkan tidak masuk dalam 30 besar penjualan
DVD terlaris sepanjang 2010. [lebih lanjut: total penjualan DVD 2010, total penjualan Blu-ray 2010]
Where the Wild Things Are
(2009) Theatrical Performance |
||||||||||||||
Domestic Box Office |
$77,233,467 |
|||||||||||||
International Box Office |
$21,890,189 |
|||||||||||||
Worldwide Box Office |
$99,123,656 |
|||||||||||||
Home Market Performance |
||||||||||||||
Est. Domestic DVD Sales |
$30,260,417 |
|||||||||||||
Est. Domestic Blu-ray Sales |
$6,284,322 |
|||||||||||||
Total Est. Domestic Video Sales |
$36,544,739 |
|||||||||||||
|
04 Critics
Sebagian
besar kalangan kritikus film memberikan tanggapan yang positif untuk film ini.
05 Longevity
Where
the Wild Things Are, sejak awal kemunculannya, memang tidak terlalu populer.
Seperti yang telah dibahas pada poin Audience Approval dan Financial, film ini
mendapatkan tanggapan yang cenderung negatif dari kalangan penonton dan gagal
mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan tiket bioskop. Seiring berjalannya
waktu, popularitas film ini tidak mengalami peningkatan. Bahkan, film ini pun
tidak membantuk basis penggemar tersendiri yang kuat dan menjadi sebuah cult
movie. Target usia penonton film ini, setelah lebih dari 10 tahun, masih
menjadi masalah tersendiri. Ada banyak penonton yang mengaku akhirnya bisa
memahami film ini setelah pertama kali menontonnya sewaktu kecil, tetapi ada
banyak juga penonton yang menyatakan tetap merasa ketakutan karena mengalami trauma,
dan tetap tidak menyukai film ini setelah beranjak dewasa. Tidak banyak
penonton generasi baru yang begitu tertarik menonton film ini. Dengan kata
lain, Where the Wild Things Are tidak berhasil bertahan melawan perubahan
zaman.
Final Score
Skor
Asli : 6
Skor
Tambahan : -2
Skor
Akhir : 4/10
***
Spesifikasi Optical Disc
[Cakram Film DVD/VCD/Blu-ray Disc]
Judul : Where the Wild Things Are
Rilis : 28 Februari 2011
Format : DVD [|||]
Kode
Warna : 3/NTSC
Upscaling : Support Player-HDMI Upscaling [YES||NO]
[1080/60/50/24p]
Fitur : Shorts by Lance Bangs
Support : Windows 98-10 [VLC Media Player],
DVD Player, HD DVD Player [termasuk X-Box 360], Blu-ray Player [termasuk PS 3 dan 4], 4K UHD Blu-ray Player [termasuk PS 5].
Keterangan Support:
[Support VCD, DVD, Kecuali Blu-ray dan 4K]
[Support VCD, DVD,
Termasuk Blu-ray, Kecuali 4K]
[Support Semua
Termasuk 4K]
STREAMING
Amazon VOD: |
|
iTunes: |
|
Google Play: |
|
Vudu: |
***
Spesifikasi Buku
Baca e-book Where the
Wild Things Are [Free]
***
Edisi Review Singkat
Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar
penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa
untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Karena menggunakan
standar yang baku, edisi review Skywalker akan jauh lebih pendek dari review
Nabil Bakri yang lainnya dan akan lebih objektif.
Edisi Review Singkat+PLUS
Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar
penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa
untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Apabila terdapat tanda
Review Singkat+PLUS di
bawah judul, maka berdasarkan keputusan per Juli 2021 menandakan artikel
tersebut berjumlah lebih dari 3.500 kata.
Edisi Review Singkat+ULTRA
Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar penilaian Skywalker Hunter Scoring System dengan jumlah 5.000-10.000 total kata.
Skywalker Hunter adalah alias
dari Nabil Bakri
Keterangan Box Office dan penjualan DVD disediakan oleh The Numbers
©2009/Warner Bros./Where the Wild Things Are/All Rights
Reserved.
©Nabil Bakri Platinum.
Teks ini dipublikasikan dalam Nabil Bakri Platinum [https://nabilbakri.blogspot.com/] yang diverifikasi Google dan dilindungi oleh DMCA.
Nabil Bakri Platinum tidak bertanggung jawab atas konten dari
link eksternal yang ada di dalam teks ini—termasuk ketersediaan konten video
atau film yang dapat berubah sewaktu-waktu di luar kendali Nabil Bakri
Platinum.