Review Animasi Ghibli Earwig and the Witch アーヤと魔女 (2020) Gagal Meniru Spirited Away

 

(C) Ghibli/NHK/2020/all rights reserved.

Review Animasi Ghibli Earwig and the Witch アーヤと魔女 (2020) Gagal Meniru Spirited Away

Oleh Nabil BakriSkywalker Hunter

Periksa index

Review berikut menggunakan gambar/foto milik pemegang hak cipta yang dilindungi doktrin fair use. The following review utilizes copyrighted pictures under the doctrine of fair use.

Genre             : Fantasi [Animasi 3D/Full CGI]

Rilis                 : 30 Desember 2020

Episode           : -

Sinopsis

Seorang penyihir wanita mengendarai motor dengan kecepatan tinggi karena dikejar oleh sebuah mobil kuning. Mobil itu dikemudikan oleh penyihir lain yang membuat grill mobil menganga layaknya mulut yang siap menerkam pengendara sepeda motor di depannya. Namun dengan menggunakan sihir, si penyihir pengendara motor meniupkan cacing sihir yang menyumpal “mulut” mobil itu. Tampaknya, penyihir itu tengah melindungi seorang bayi perempuan yang diberi nama Earwig. Penyihir itu kemudian menitipkan Earwig di sebuah panti asuhan supaya Earwig tetap aman sampai dirinya menyelesaikan masalah dengan penyihir lainnya. Sebelum pergi, ia meninggalkan catatan mengenai nama bayi itu dan sebuah kaset tape dengan label bertuliskan “Earwig”.

(C) Ghibli/NHK/2020/all rights reserved.

Karena merasa “Earwig” adalah nama yang aneh, kepala panti asuhan memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Erica Wigg. Erica tumbuh menjadi gadis kecil yang lincah dan penuh rasa ingin tahu. Meski demikian, Erica bersikeras tidak mau meninggalkan panti asuhan—ia sama sekali tidak mau diadopsi, bahkan berusaha berbuat onar supaya tidak ada yang mau mengadopsinya. Di panti asuhan, Erica adalah sosok yang “dipandang” di antara teman-temannya. Sehingga, Erica selalu bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Meski begitu, Erica hanya memiliki satu sahabat terbaik yakni seorang bocah lelaki penakut yang Erica panggil dengan sebutan Custard.

(C) Ghibli/NHK/2020/all rights reserved.

Suatu ketika, ada pasangan aneh dan misterius yang mendatangi panti asuhan. Mereka adalah Bella Yaga dan Mandrake. Bella memilih Erica untuk dijadikan anak angkat. Dengan tak acuh, Mandrake hanya mengiyakan pilihan Bella. Sesampainya di rumah mereka, Erica sadar bahwa ia menjadi seperti “tahanan” karena rumah Bella dimantrai dengan sihir. Gadis itu juga mengetahui bahwa Bella sebenarnya adalah penihir. Bella sendiri bersikap terang-terangan dan menyatakan bahwa Erica hanya dipungut untuk dijadikan “tangan tambahan”—pembantu di rumah itu. Erica harus membantu Bella melayani Mandrake dengan menyediakan makanan yang diminta oleh Mandrake, dan harus membantu Bella meracik ramuan untuk pesanan mantra sihir.

(C) Ghibli/NHK/2020/all rights reserved.

Karena kesal diperlakukan semena-mena dan tidak diperkenankan mempelajari sihir, Erica dibantu oleh kucing peliharaan Bella yang bernama Thomas, menyelinap masuk ke dalam ruang mantra dan menyiapkan mantra untuk mendapat kekebalan dari sihir dan untuk menumbuhkan “tangan tambahan” di tubuh Bella Yaga—persis seperti yang diinginkan Bella sendiri, yakni membutuhkan “tangan tambahan”. Perbuatan Erica membuat Bella Yaga marah besar dan mengirimkan cacing sihir kepada Erica. Namun karena gadis itu sudah membuat ramuan kebal sihir, cacing kiriman Bella meleset. Erica pun membuang cacing-cacing sihir itu melalui sebuah lubang kecil di dinding kamarnya. Ternyata, dinding itu mengarah ke dalam kamar gaib milik Mandrake dan membuatnya murka. Mandrake segera berubah menjadi monster mengerikan dan memarahi Erica beserta Bella Yaga. Di tengah percekcokan antara Mandrake dan Bella, Erica menyelinap masuk ke dalam kamar gaib Mandrake. Di dalamnya terdapat alat musik, album, serta foto-foto masa lalu Mandrake, Bella, dan seorang penyihir wanita lain yang sebenarnya adalah ibu Erica yang meninggalkannya di panti asuhan. Ternyata, mereka bertiga dulu membentuk sebuah grup musik yang cukup populer di era 90-an sebelum sebuah masalah yang dirahasiakan memecah grup itu dan membuat ibu Erica pergi meninggalkan grup.

(C) Ghibli/NHK/2020/all rights reserved.

01 Story Logic

Konsep film ini sudah sejalan dengan logika animasi fantasi. Mengingat film ini merupakan produk dari studio Ghibli, sudah lumrah jika ceritanya menyimpan banyak poin cerita yang tidak dijelaskan secara gamblang dan memaksa penonton untuk “sudah, terima saja alurnya” dan mengikuti jalannya cerita. Lubang cerita semacam ini selalu dijumpai di film animasi Ghibli. Dalam Spirited Away, misalnya, tidak dijelaskan bagaimana taman hiburan terbengkalai bisa dijadikan hotel setan dan bagaimana Haku yang perkasa bisa menjadi “budak” penyihir licik. Tiba-tiba saja diungkapkan bahwa Haku adalah penunggu sungai yang pernah menyelamatkan Chihiro waktu kecil. Pengungkapan ini terjadi secara mendadak dan tidak ada benang merah dengan keseluruhan cerita sehingga seperti ide tambahan yang dijejalkan ke dalam cerita. Hal serupa juga dijumpai di film lainnya seperti Princess Mononoke, The Wind Rises, dan film Ghibli lainnya. Pola yang seperti ini, karena secara konsisten muncul di produk Ghibli, telah menjadi ciri khas tersendiri film-film Ghibli. Meski demikian, film-film ini tetap membentuk cerita yang utuh karena menyelesaikan permasalahan yang dimunculkan di awal film. Dalam Earwig and the Witch, ketiadaan penjelasan yang memang merupakan ciri khas Ghibli ini “dieksploitasi” secara berlebihan sehingga bukannya meninggalkan “lubang cerita” yang unik dan membiarkan penonton mengisinya sendiri, tapi malah benar-benar menjadi kosong tanpa cerita sama sekali. Kekosongan cerita ini berkaitan erat dengan konsistensi cerita:

(C) Ghibli/Disney/2013/all rights reserved.

02 Story Consistency

Narasi dalam film Earwig and the Witch tidak konsisten. Film ini memberikan berbagai permasalahan yang tidak diselesaikan hingga film berakhir. Dengan demikian, masalah-masalah yang dimunculkan menjadi tidak penting dan, parahnya, tidak ada artinya. Misalnya, di awal jelas sekali dimunculkan adegan kejar-kejaran yang cukup menegangkan antara seorang penyihir dan penyihir lainnya. Adegan ini mengindikasikan masalah besar antar para penyihir. Namun, permasalahan apa dan bagaimana solusinya sama sekali tidak disinggung lagi sampai filmnya usai. Alasan kenapa Erica dimasukkan ke panti asuhan juga menjadi tidak jelas: di awal sudah jelas karena ada bahaya perseteruan antar penyihir, tapi di akhir ternyata tidak ada perseteruan yang terlalu membahayakan, sehingga tidak ada alasan bagi ibu Erica untuk meninggalkannya di panti asuhan. Dengan demikian, itu menjadikan ibu Erica sebagai ibu yang egois dan sengaja menelantarkan anaknya sendiri—pun jika benar dia adalah ibu Erica, karena sepanjang film juga hal itu tidak dipecahkan. Apa signifikansi kaset pita grup band Earwig yang ditinggalkan untuk Erica juga tidak dijelaskan. Film ini mulanya ingin menceritakan bahwa masa lalu para penyihir yang membuat band ini adalah misteri yang harus dipecahkan oleh Erica. Namun setelah Erica mengetahui tentang masa lalu Bella dan Mandrake, tidak ada yang terjadi—rahasia besar yang “dijanjikan” di awal ternyata tidak ada artinya. Narasi film ini lebih seperti bagian-bagian puzzle bola dunia atau Atlas, yang seharusnya terdiri dari ratusan keping puzzle, tapi ternyata hanya terdiri dari tiga keping puzzle besar sehingga sama sekali tidak ada tantangan dan tidak ada yang istimewa.

(C) Ghibli/NHK/2020/all rights reserved.

03 Casting Choice and Acting

Tidak ada keluhan dalam pemilihan pengisi suara. Meskipun demikian, performa pengisi suara yang baik bisa jadi terkikis kualitasnya jika ditampilkan dengan gaya animasi yang tidak mumpuni—poin ini akan berkaitan erat dengan poin Character Desain.

04 Music Match

Tidak ada keluhan di pemilihan musik. Melihat gaya animasi dan latar waktu kejadin di film ini, musik klasik atau lembut yang senantiasa mengiringi film-film Ghibli tidak akan cocok.

05 Cinematography Match

Tidak ada keluhan dalam poin sinematografi.

06 Costume Design [Character Design for Animation]

Ini adalah animasi CGI Ghibli yang pertama. Tampaknya, studio ini kesulitan “menerjemahkan” ciri khas karakter animasi 2D mereka yang ekspresif ke 3D. Alhasil, karakter dalam film ini tidak mampu menampilkan kekhasan karakter Ghibli dan justru tampak seperti karakter animasi 3D yang umum dijumpai pada akhir 2000-an dan awal 2010-an. Desain karakter ini seperti tidak memiliki jati diri dan bukannya seperti dibuat oleh Ghibli yang fenomenal, namun seperti sebuah seri lanjutan film A Monster in Paris, Igor, atau Astro Boy. Selain itu, antar karakter juga seperti memiliki gaya desain yang berbeda-beda sehingga tidak cocok tampil dalam satu film.

(C) Ghibli/Disney/2001/all rights reserved.

07 Background/Set Match

Meskipun desain karakternya gagal menampilkan kekhasan Ghibli yang begitu ekspresif [bahkan desain kendaraan di animasi Ghibli sebelumnya juga sangat ekspresif, misalnya mobil Audi milih orang tua Chihiro di Spirited Away dan kereta serta pesawat di The Wind Rises yang seperti memiliki “nyawa”], namun kesesuaian karakter dan background sudah tidak ada masalah yang terlalu berarti.

08 Special and/or Practical Effects

Kekurangan yang sangat besar ada pada hasil akhir animasi film ini. Grafis animasinya—entah disengaja atau tidak—terlihat seperti animasi 3D yang dirilis oleh studio kelas “lokal” sepuluh tahun sebelum filmnya dirilis. Dari segi gerakan dan detil karakter, film ini memiliki banyak sekali kekurangan. Gerakan karakternya kurang halus, padahal studio Ghibli terkenal dengan karakternya yang ekspresif. Penggunaan CGI di film ini membuat karakternya tampak kaku sehingga kurang ekspresif. Detil karakter seperti rambut juga menjadi masalah besar karena tampak seperti film animasi 3D berusia lebih dari 10 tahun. Maka film ini lebih cocok dimasukkan ke dalam kelas animasi non-Disney/PIXAR/DreamWorks/Blue Sky 2005-2010 bersama A Monster in Paris, Igor, Battle for Terra, dan lainnya—yang jelas tidak cocok disandingkan satu kelas dengan animasi Disney, PIXAR, atau DreamWorks. Padahal, Ghibli sudah dikenal sempat memiliki afiliasi yang kuat dengan Disney. Di sinilah salah satu letak kelemahan animasi 3D: bisa jadi penggunaan detil yang masih kasar itu adalah pilihan artistik yang disengaja, tapi karena film ini menggunakan teknologi komputer, bukannya kelihatan artistik tapi malah kelihatan “ketinggalan zaman” seperti dibuat dengan Windows 98. Setelah Disney-PIXAR merilis Monsters Inc di 2001 dan Brave di 2012, tidak ada lagi alasan pihak studio tidak mampu membuat detil rambut karakter yang lebih baik dan tampak halus. Namun justru rambut di Earwig tampak sangat kasar. Tentu saja persoalan detil jumlah helai rambut tidak akan dipermasalahkan di animasi 2D. Namun sekali lagi, ini adalah animasi 3D. Ada banyak hal yang tidak bisa “diterjemahkan” begitu saja dari 2D ke 3D. Terjemahan animasi 2D ke 3D secara “harfiah” hanya akan membuat filmnya seperti Stop-motion dalam hal detil dan gerakan, yakni seperti Fantastic Mr. Fox atau Paranorman. Malah lebih baik jika Earwig dibuat dengan Stop-motion jika memang tujuannya adalah meneruskan kekhasan animasi 2D-nya.

(C) EuropaCorp/2011/all rights reserved.

09 Audience Approval

Mayoritas penonton memberikan tanggapan yang negatif untuk film ini.

10 Intentional Match

Sebenarnya wajar saja jika Ghibli ingin merambah dunia animasi 3D. Hal yang sama juga dilakukan oleh Disney di tahun 2005 dengan merilis Chicken Litte. Pergantian Millennium adalah hari akhir bagi animasi 2D. Film-film 2D kelas atas buatan Disney dan DreamWorks seperti Treasure Planet, Spirit: Stallion of the Cimarron, Atlantis The Lost Empire, The Road to El Dorado, hingga Brother Bear, mengalami kegagalan tingkat dewa di pasaran. “Generasi muda” lebih memilih animasi 3D seperti Shrek, Monsters Inc, Finding Nemo, Madagascar, daln lain sebagainya. Studio animasi Fox Animation Studio binaan Don Bluth [animator legendari pembuat The Land Before Time] akhirnya ditutup, DreamWorks akhirnya menghentikan produksi animasi 2D setelah Sinbad Legend of the Seven Seas gagal pada tahun 2003. Disney menjadi satu-satunya “Pejuang 2D” dan masih merilis Home on the Range di tahun 2004. Begitu film itu gagal, akhirnya sang pemimpin meletakkan pedangnya dan ikut beralih membuat animasi 3D. Awalnya memang tidak langsung sukses karena tidak disukai oleh kritikus, namu paling tidak Chicken Little disukai oleh mayoritas penonton dan memberikan keuntungan pada studio Disney. Hal yang unik adalah, meskipun mayoritas studio film akhirnya beralih ke 3D, studio Ghibli masih tetap konsisten mempresentasikan film dalam 2D dan justru menjadi nilai jual atau daya tarik tersendiri. Melihat hasil akhir Earwig and the Witch, tampaknya film ini belum bisa mewujudkan maksud penciptanya karena pada akhirnya tidak ada yang istimewa ataupun khas dari film ini.

(C) Ghibli/NHK/2020/all rights reserved.

ADDITIONAL CONSIDERATIONS

[Lima poin tambahan ini bisa menambah dan/atau mengurangi sepuluh poin sebelumnya. Jika poin kosong, maka tidak menambah maupun mengurangi 10 poin sebelumnya. Bagian ini adalah pertimbangan tambahan Skywalker, maka ditambah atau dikuranginya poin pada bagian ini adalah hak prerogatif Skywalker, meskipun dengan pertimbangan yang sangat matang]

01 Skywalker’s Schemata

Jujur saja, saya memiliki ekspektasi yang sangat tinggi begitu mengetahui bahwa film berjudul Earwig and the Witch adalah film Ghibli. Tapi begini, saya cerita yang urut saja bagaimana akhirnya saya menonton film ini. Setiap beberapa minggu sekali, saya akan browsing mencari film baru baik itu dalam streaming atau DVD. Sekali browsing, saya akan menyaring beberapa film dan serial yang tidak semuanya langsung saya tonton, tapi saya “simpan dulu” untuk ditonton ke depannya. Ketika saya melihat poster film Earwig and the Witch, saya sama sekali tidak tertarik dengan desain karakter yang ditampilkan karena mengingatkan saya pada film-film 3D buatan China atau 3D buatan EuropaCorp pada awal 2010-an. Lebih spesifik, gambar di poster mengingatkan saya pada film Igor, The Nutty Professor versi animasi, dan A Monster in Paris. Karena terlalu “biasa” dan desainnya seperti masih kasar, saya tidak menduga bahwa itu adalah buatan studio Ghibli. Meskipun saya adalah pengamat film, saya sudah jarang mengikuti berita tentang film baru dan lebih memilih langsung nonton sendiri sebelum mendengar pendapat orang lain supaya penilaian saya bisa lebih objektif. Tapi karena sudah tahunan mengamati film dengan serius, melihat desain karakter di posternya saja sudah bisa memberikan saya gambaran bahwa filmnya tidak akan istimewa. Alhasil, film itu saya simpan tanpa ditonton dan bahkan hampir lupa kalau filmnya sudah saya simpan di database.

(C) Ghibli/NHK/2020/all rights reserved.

Akhirnya tanpa sengaja saya melihat thumbnail review film ini di YouTube dan menyebutkan nama Ghibli di judul videonya. Saya terkejut sekali mengetahui bahwa film baru yang sudah saya lupakan itu ternyata buatan Ghibli. Langsung saya cepat-cepat putar filmnya dan ekspektasi saya langsung mendidih. Ya karena selama ini Ghibli senantiasa menyajikan film yang, meskipun bukan sepenuhnya masterpiece, tetapi sangat unik dengan detik ekspresi yang saya sukai. Namun setelah menonton, saya merasa amat sangat kecewa. Pertama, dari segi animasi. Sudah saya duga dari gambar posternya bahwa kualitas animasinya akan “separah” ini karena gerakan karakternya kurang halus dan detilnya kurang diperhatikan. Alhasil ekspresi-ekspresi unik di animasi Ghibli sebelumnya menjadi hilang dan karakternya menjadi kaku seperti karakter Stop-motion. Tapi saya masih bisa “memaafkan” teknis animasinya. Hal yang tidak bisa saya maafkan dan membuat kecewa tingkat dewa adalah jalan ceritanya yang…tidak ada. Permasalahan, perjalanan, perkembangan karakter, semuanya menguap begitu saja di film ini. Logika cerita dan konsistensi cerita diobrak-abrik dalam film ini. Setelah film usai, saya cukup emosi dengan berkata, “Lho, sudah selesai? Begitu saja? Apa? Yang bener aja dong!?” tapi saya sadar emosi itu akan sia-sia karena tidak ada yang mendengar. Jadi saya hanya mendesah saja, “Hadeh…” sambil mematikan televisi, “…ini adalah salah satu film paling mengecewakan yang pernah saya tonton…” Saya akan kurangi dua poin.

(C) Ghibli/NHK/2020/all rights reserved.

02 Awards

Sampai artikel ini dirilis, belum ada penghargaan yang penting untuk disebutkan.

03 Financial

Sampai artikel ini dirilis, belum dapat dikonfirmasi secara pasti berapa jumlah biaya pembuatan filmnya. Namun karena film ini rencananya hanya akan tampil di TV, diduga biayanya lebih sedikit ketimbang film animasi 2D Ghibli yang masuk bioskop. Jika itu benar, maka keterbatasan animasi 3D-nya masih bisa dimaklumi [dan sudah saya bilang bahwa saya masih bisa memaklumi kekurangan teknis CGI film ini]. Film ini, sampai artikel ini dirilis, mendapatkan keuntungan sebesar $325 ribu. Sepertinya sulit jika film ini dibuat dengan dana di bawah $500 ribu, jadi diperkirakan jutaan. Dilihat dari hasilnya, film ini sepertinya mengalami kerugian. Bahkan jika ditayangkan di bioskop, film ini masih akan terdampak COVID dan kesulitan mengumpulkan keuntungan.

(C) Ghibli/NHK/2020/all rights reserved.

04 Critics

Mayoritas kritikus memberikan tanggapan yang negatif untuk film ini.

05 Longevity

[Pending—karya masih berusia di bawah 10 tahun]

Final Score

Skor Asli                     : 4

Skor Tambahan           : -2

Skor Akhir                  : 2/10

Untuk informasi lebih lanjut mengenai Spesifikasi DVD, kunjungi profil instagram @skywalkerhunter95

***

Edisi Review Singkat

Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Karena menggunakan standar yang baku, edisi review Skywalker akan jauh lebih pendek dari review Nabil Bakri yang lainnya dan akan lebih objektif.