[C]WarnerBros/Friends/all rights reserved. |
Apa saja film yang dinilai terlalu tinggi (overrated)
menurutmu?
Oleh Rangga
Adhyatama
Istilah "overrated" dan "underrated" sebenarnya tidak saya sukai karena sekarang sudah tidak ada artinya—dan ini sudah saya bahas di tulisan saya tentang film yang paling underrated. Seharusnya, istilah "overrated" digunakan untuk menyebutkan sebuah film yang secara kualitas tidak bagus [struktur internal film jelek], tetapi entah bagaimana [faktor eksternal] film itu bisa dipuji secara berlebihan. Istilah ini tidak saya sukai karena di zaman sekarang orang sering memakainya sekadar untuk "menyerang" film yang dia benci, padahal film itu secara struktur sudah bagus. Sebuah film yang terlalu terkenal sering sekali dianggap "overrated", padahal “populer” tidak sama dengan "overrated". Hal yang sama berlaku sebaliknya, banyak film yang secara struktur kualitasnya memang tidak bagus, tetapi para penggemarnya akan menyatakan bahwa film itu bagus dan "underrated".
Dengan
pemahaman seperti itu, saya akan memberikan contoh satu film yang benar-benar overrated,
dan bukan hasil opini saya pribadi melainkan hasil pengamatan yang panjang.
Film yang paling overrated dan bisa dijadikan sebagai contoh kasus overrated
yang ideal adalah:
Fantasia [Disney, 1940]
[C]1940/Disney/Fantasia/all rights reserved. |
Di
masa kini [saat jawaban ini saya tulis], Fantasia dikenal sebagai Masterpiece
karya Walt Disney [Walt Disney’s Masterpiece]. Film ini dipuji-puji sebaga
sebuah maha karya bernilai seni tinggi. Dari berbagai sumber, mayoritas orang akan
memuji film ini dan sedikit sekali yang terang-terangan menilai Fantasia secara
negatif.
Hal
yang sangat janggal adalah Fantasia, dulu ketika pertama kali dirilis, merupakan
sebuah kegagalan yang sangat disesali oleh Walt Disney. Film ini
dinilai negatif oleh kritikus dan penonton, serta membuat perusahaan Disney
rugi besar. Lalu, bagaimana bisa film yang tidak bagus ini berubah menjadi
sebuah "Masterpiece" atau Maha Karya?
Di
sinilah peran studio dan kecerdasan marketing mereka bekerja. Saya mencoba
mencari-cari informasi konkret tentang berapa jumlah kerugian film ini di tahun
1940, tetapi tidak ada sumber yang bisa saya verifikasi atau percayai sebagai
informasi yang benar. Semua sumber yang resmi tidak menyertakan angka yang
sebenarnya, tetapi yang disertakan adalah angka hasil Rilis Ulang. Menurut
angka penjualan tiket rilis ulang, Fantasia meraup keuntungan. Dengan kata
lain, Fantasia sukses secara finansial. Padahal, angka yang asli di tahun 1940
seharusnya menunjukkan kerugian besar-besaran.
Fantasia on LaserDisc advertised as "Masterpiece" [picture taken from https://auctions.milleabros.com/lots/view/1-1M6AQT/10-laser-discs-incl-ninja-turtles-disney-et] |
Disney
memiliki tim marketing yang lihai, media berita, percetakan buku, taman
hiburan, dan perusahaan DVD/Home Video serta Disney Channel [DVD dan Disney
Channel sekarang menjadi ekuivalen dengan atau digantikan oleh Disney+].
Setelah Walt Disney meninggal, perusahaan ini mulai lebih aktif
"memutarbalikkan sejarah" dan mengubah Fantasia yang merupakan
kegagalan menjadi sebuah keberhasilan.
Berita-berita
akan memberikan review yang positif, buku-buku cetak Disney [nama penerbitnya yang
terkenal adalah Hyperion] akan menyebut Fantasia sebagai Masterpiece, dan
perusahaan DVD akan menjual edisi DVD eksklusif "Masterpiece
Collection"—kumpulan koleksi film terbaik, tersukses Walt Disney. Bahkan
ada salah satu edisi ekslusif yang dirilis dengan sertifikat resmi bukti
keaslian yang ditandatangani oleh eksekutif perusahaan, Roy Disney.
Fantasia on LaserDisc advertised as "Masterpiece" [picture taken from https://auctions.milleabros.com/lots/view/1-1M6AQT/10-laser-discs-incl-ninja-turtles-disney- |
Dari
proses bertahun-tahun inilah persepsi masyarakat terhadap Fantasia mulai
berubah. Secara struktur, Fantasia bukanlah sebuah film yang baik[Sumber]. Film
ini adalah sebuah "eksperimen" yang gagal—bahkan Walt Disney sendiri
mengakuinya. Ia mengerti kenapa orang tidak menyukai Fantasia. Namun sekarang,
Fantasia dianggap sebagai sebuah film yang luar biasa. Saya pun sebelumnya
cukup "takut" mengakui bahwa sebenarnya Fantasia itu tidak baik
secara struktur, saya takut dianggap tidak Sophisticated atau "tidak paham
makna seni di dalam Fantasia"—padahal tidak ada makna yang mendalam sama
sekali. Barulah setelah saya mempelajari sejarah pembuatan film ini, saya
berani menyatakan bahwa Fantasia adalah film yang overrated. Film ini tidak
seharusnya dianggap sebagai sebuah Masterpiece. Fantasia adalah sebuah
kegagalan. Titik.
image taken from Geethanjali Kids YouTube/default image |
Meskipun
Fantasia memiliki konsep yang lebih jelas dan standar seni yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kebanyakan karya-karya Post-Modern, kasus ini mengingatkan
saya pada karya seni Post-Modern yang menampilkan lukisan asal-asalan,
bongkahan batu, dan kakus yang dipamerkan sebagai maha karya seni bernilai
tinggi. Masyarakat Post-Modern adalah masyarakat yang memberi panggung kepada
janda John Lennon, Yoko Ono, yang "bernyanyi" seperti binatang
sekarat karena hanya berteriak asal-asalan [serius, coba selidiki YouTube dengan
keywords Yoko Ono singing]. Tetapi
setiap kali dikitik, si kritikus justru akan diserang balik, "You don't
get it/ah, kamu enggak paham seni." Penulis dongeng Hans Christian
Andersen sudah pernah menyindir hal ini dalam dongengnya yang berjudul The Emperor’s New
Clothes atau Baju Baru Sang
Raja. Di dalam dongeng itu, dikisahkan raja memakai baju yang sangat
indah—saking indahnya sampai baju itu hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang
Spohisticated dan berhati mulia. Padahal pada kenyataannya, raja dalam keadaan
telanjang dan telah ditipu oleh dua penjahit [atau penjahat] yang licik.
Yoko Ono Bernyanyi dapat disaksikan Di Sini [saat menonton, jangan lupa aktifkan Subtitle/Captions] |
Menurut
saya, selera orang bisa berbeda-beda. Itulah yang menyebabkan ada karya yang
saya sukai tetapi dibenci oleh orang lain; begitu pula sebaliknya. Namun, itu
bukan berarti Seni tidak punya standar dan arbiter. Saya senang menggunakan
contoh makanan untuk menjelaskan maksud saya soal film. Kita ibaratkan film
adalah masakan Rendang. Masakan Rendang
bisa dibuat berbagai variasi sesuai selera, ada yang suka Rendang yang pedas,
ada yang manis, ada yang asin—tetapi tentu Rendang ini ada menu dasarnya—what
makes a good Rendang—masakan yang
seperti apa yang bisa disebut Rendang? Tentu saja satu bungkus Indomie tidak
bisa disebut sebagai Rendang, bahkan Indomie Rendang Flavor tetap tidak bisa
disebut sebagai Rendang. Film pun demikian. Saya bisa saja membenci drama Korea
The Penthouse. Namun sebagai penulis seputar film, saya harus tahu
menu dasar dari drama tersebut. Saya boleh menyatakan kalau drama itu jelek
menurut standar saya, tetapi saya harus mengakui kalau drama itu sudah baik
sesuai dengan menu format dan genrenya yakni sebuah
Makjang/Telenovela/Sinetron. Upaya menobatkan Fantasia sebagai Masterpiece sama
saja dengan upaya menyatakan bahwa Indomie Rendang Flavor adalah Rendang yang
sebenarnya.
Cheers…maaf aku membuat kamu ingin makan Rendang.