Review Film Cannibal Holocaust (1980) Kisah Mengerikan
Pembuat Film yang Dimangsa Suku Pedalaman
Oleh Nabil BakriSkywalker Hunter
Edisi Review Singkat+ULTRA
“Here we are at the edge of the world of
human history. Things like this happen all the time in the jungle; it's
survival of the fittest! In the jungle, it's the daily violence of the strong
overcoming the weak!”—Alan Yates
Review berikut menggunakan gambar/foto milik pemegang hak
cipta yang dilindungi doktrin fair use. The following review utilizes
copyrighted pictures under the doctrine of fair use.
images©1980/ F.D.
Cinematografica, United Artists/Cannibal
Holocaust/All Rights Reserved.
⸎Sangat mungkin mengandung Spoiler, Anda diharap bijak
menyikapinya.
Genre : [Found
Footage] Eksploitasi Kekerasan—Petualangan
Rilis : 7 Feruari 1980
Durasi : 95 menit
Sutradara : Ruggero Deodato
Pemeran : Robert
Kerman, Carl Gabriel Yorke, Francesca Ciardi, Luca Barbareschi, Perry Pirkanen
Episode : -
Sinopsis
Sekelompok
pembuat film asal Amerika yang beranggotakan 4 orang dikabarkan menghilang
dalam misi penjelajahan hutan Amazon. Mereka berempat adalah kru pembuat film
dokumenter yang berencana untuk mengeksplorasi dinamika kehidupan suku kanibal
di pedalaman hutan Amazon. Para kru itu adalah Alan Yates yang merupakan
sutradara sekaligus pemimpin kru, Faye Daniels yang merupakan kekasih Alan
sekaligus penulis naskah, dan dua rekan mereka yang senantiasa membawa kamera:
Mark Tomaso dan Jack Anders. Mereka berempat sudah dikenal sebagai para pembuat
dokumenter yang handal. Maka tidak mengherankan jika misi menegangkan mereka
menimbulkan sensasi dan dibicarakan di berbagai media. Tidak diragukan lagi
kalau hasil rekaman mereka pasti menarik minat masyarakat—sebuah produk
berharga yang diinginkan oleh media mana pun. Alan dan krunya berangkat ke
hutan hujan Amazon dan masuk ke dalam hutan dengan panduan dari penjelajah yang
handal, Felipe. Namun, mereka tidak kunjung kembali dan dinyatakan hilang.
Hilangnya
kru pembuat film asal Amerika di hutan Amazon menjadi sebuah berita besar.
Karena hutan itu dihuni oleh orang-orang pedalaman, diperlukan seorang ahli
untuk melakukan misi pencarian. Harold Monroe, seorang antropolog dari New York
University, bersedia untuk melakukan misi pencarian. Ia pun berangkat ke Brazil
dan masuk ke dalam hutan yang sama persis dengan hutan yang sebelumnya
dijelajahi oleh Alan dan krunya. Dalam misi tersebut, Harold dipandu oleh Chaco
dan asistennya, Miguel. Mereka memanfaatkan seorang warga suku Yacumo yang
ditangkap oleh para tentara sebagai tawanan. Tawanan Yacumo itu akan mereka
bawa sebagai alat untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan suku pedalaman.
Di sepanjang perjalanan menembus hutan, Harold dan Chaco menemukan berbagai
petunjuk yang membuktikan bahwa Alan dan krunya juga melintasi kawasan yang
sama dengan mereka. Chaco menemukan sisa-sisa kayu bakar dan tempurung
kura-kura; menandakan bahwa sebelumnya Alan berkemah di lokasi tersebut. Chaco makin
yakin dengan arah ekspedisi mereka ketika ia tanpa sengaja tersandung jasad
manusia yang sudah membusuk. Chaco mengenali jasad itu. Ternyata, itu adalah
jasad Felipe. Menurut Chaco, Felipe adalah penjelajah yang handal sama seperti
dirinya. Maka, Chaco bertanya-tanya kesalahan apa yang dilakukan Felipe
sampai-sampai dirinya tewas secara mengenaskan.
Setibanya
di wilayah suku Yacumo, Miguel melakukan negosiasi dan melepaskan tawanan
militer mereka. Negosiasi berhasil dan mereka pun diterima masuk ke desa Yacumo
dalam keadaan hidup. Chaco terkejut melihat sikap orang-orang Yacumo yang penuh
kebencian dan curiga kepada mereka. Meskipun suku Yacumo dikenal sebagai suku
kanibal, mereka bukanlah suku yang akan menyerang tanpa alasan. Harold, Chaco,
dan Miguel melihat keadaan desa Yacumo yang porak poranda dengan begitu
banyaknya kerangka orang-orang Yacumo yang tewas terbakar. Selain itu, mereka
juga menemukan benda-benda milik Alan dan krunya. Dari situlah Harold dan Chaco
menyimpulkan bahwa Alan beserta krunya pasti telah melakukan suatu kejahatan
sehingga membuat suku Yacumo murka. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan
Alan dan rekan-rekannya di pedesaan Yacumo. Harold pun menjelajah lebih dalam
ke hutan dan mencoba masuk ke wilayah Ya̧nomamö dengan cara membantu
orang-orang Ya̧nomamö melawan musuh mereka, suku Shamatari. Orang-orang Ya̧nomamö
pun akhirnya mengizinkan mereka masuk ke desa mereka—tetapi Harold masih
diperlakukan dengan dingin dan penuh curiga.
Setelah
mendapatkan kepercayaan suku Ya̧nomamö, Harold, Chaco, dan Miguel akhirnya
menemukan tulang-belulang yang merupakan jasad dari para kru pembuat
dokumenter. Di antara tulang belulang itu terdapat kamera dan rol film yang
menyimpan misteri hilangnya para kru. Suku Ya̧nomamö tidak mengizinkan Harold
mengambil kamera Alan, tetapi mereka akhirnya setuju setelah Harold menukar
kamera tersebut dengan tape recorder—suku Ya̧nomamö terpukau dengan musik yang
diputar oleh tape recorder dan yakin kalau Harold memiliki kekuatan untuk
mengusir roh jahat yang ada di dalam kamera Alan. Suku Ya̧nomamö tahu bahwa
Alan dan krunya sangat menyayangi “alat aneh” mereka sehingga yakin kalau
kamera itu memiliki kekuatan jahat yang luar biasa. Orang-orang Ya̧nomamö yakin
Harold mampu menghilangkan kekuatan jahat itu dengan membawanya pergi.
Setelah
kembali ke Amerika, pihak media penyiaran Pan American Broadcasting System
menawari Harold untuk menjadi pembawa acara siaran rekaman Alan. Sembari
rencana siaran itu dipersiapkan, pihak media tengah berupaya mendapatkan
informasi sebanyak-banyaknya dari rekaman Alan—yang dikhawatirkan tidak lengkap
karena sudah lama ditinggal di tengah hutan yang sangat lembab. Pada mulanya,
Harold cukup antusias untuk berpartisipasi dalam proyek siaran tersebut. Namun
setelah menyaksikan isi rekaman Alan dan krunya, Harold menegaskan bahwa
rekaman itu tidak pantas untuk disiarkan. Ternyata, kesuksesan Alan dan kru
filmnya selama ini dipenuhi dengan kontroversi. Mereka tidak segan melakukan
tindak kejahatan demi mendapatkan rekaman yang mereka inginkan. Bahkan, Alan
pernah membayar kelompok militer untuk membunuh orang-orang yang tidak bersalah
untuk menggiring opini dan membuat film dokumenternya sukses. Tampaknya, Alan
dan kru filmnya menggunakan taktik yang sama untuk mendapatkan rekaman yang “raw and “authetic”—mentah dan otentik” dari kekejaman
suku-suku kanibal di tengah Amazon. Pemutaran hasil rekaman Alan di hadapan
eksekutif Pan American Broadcasting System menunjukkan apa yang sebenarnya
terjadi, siapa yang bersalah atas tragedi itu, dan apakah publik perlu melihat hasil
rekamannya.
“We weren't able to get anything out of the
Yanomamo except for the wristwatch they gave us as a token of their gratitude
to an ally, an ally they continue to fear and mistrust, so I've decided to try
an experiment in psychology: to strip myself completely, clothes, weapons, dog
tags, rings, everything, to become like them, naked and unfettered as Adam.”—Harold
Monroe
01 Story Logic
Dalam
berbagai platform yang mendokumentasikan film, Cannibal Holocaust dinyatakan
sebagai sebuah film Horror yang dipadukan dengan Petualangan. Banyak situs
menyebutkan juga bahwa film ini adalah sebuah film Eksploitasi yang dimasukkan
dalam genre Kanibal (karena beberapa kalangan berpandangan bahwa “Kanibal”
haruslah membentuk genre tersendiri). Penilaian Skywalker menyatakan bahwa
Cannibal Holocaust, yang utama dan paling mendasar, adalah sebuah film
Eksploitasi Kekerasan. Tidak peduli apakah melibatkan kanibal, zombie, atau
monster hasil rekayasa genetika, sebuah film yang secara sengaja
mempertontonkan adegan-adegan kekerasan tingkat tinggi dan menjadikannya suatu
nilai jual utama adalah sebuah film Eksploitasi Kekerasan. Dalam film-film
semacam ini, penonton tidak bisa terlalu berharap banyak kepada logika cerita
yang sekuat film-film Drama atau kedalaman makna narasi (kompleksitas) seperti
dalam film-film Psychological. Adegan-adegan kekerasan dalam film Eksploitasi
seringkali dilebih-lebihkan dan cenderung tidak masuk akal. Terlepas dari tuntutan
genrenya yang tergolong “rendah” dalam hal menyajikan adegan yang logis,
Cannibal Holocaust justru meningkatkan tuntutan itu dengan membuat
adegan-adegan kekerasannya senyata mungkin. Bahkan, yang di masa setelahnya
dianggap sangat kontroversial, binatang-binatang yang dibunuh dalam film ini
adalah binatang sungguhan yang benar-benar dibunuh di depan kamera.
Adegan-adegan
kekerasan yang ditampilkan senyata mungkin itu sangat mendukung teknik
penyajian ceritanya yakni sebuah film found footage. Secara singkat, film found
footage adalah film yang dibuat seolah-olah merupakan hasil rekaman amatir yang
kemudian ditemukan oleh orang lain dan diperlihatkan kepada publik. Adegan-adegan
kekerasan dalam Cannibal Holocaust sudah tentu tergolong sadis dan nyaris
mustahil dijumpai di kehidupan sehari-hari, tetapi bukan berarti kekerasan
semacam itu tidak mungkin dilakukan. Kekerasan yang ditampilkan dalam Cannibal
Holocaust masih dalam tahap “sangat mungkin” sehingga menguatkan logika
ceritanya. Sudah bukan rahasia lagi kalau manusia bisa melakukan kekerasan
semacam itu. Para pembunuh berantai bakan tidak sedikit yang bersikap lebih
sadis daripada orang-orang pedalaman dalam Cannibal Holocaust—padahal mereka
tinggal di perkotaan atau di wilayah yang sudah mengenal teknologi maju.
Logika
cerita Cannibal Holocaust makin diperkuat oleh narasinya yang menjelaskan
bagaimana suatu kejadian kanibalisme bisa terjadi. Film ini tidak seperti
film-film “murah” kelas B sejenis yang memperlihatkan aksi kanibalisme begitu
saja tanpa alasan yang jelas. Cannibal Holocaust mengeksplorasi alasan-alasan
mengapa aksi kanibalisme bisa dan harus terjadi. Alasan-alasannya pun tidaklah
terlalu mengada-ada dan semestinya dapat dicerna pikiran penonton menggunakan
logika sederhana. Tidak ada kekuatan gaib, tidak ada mantra-mantra, tidak ada
hal yang terlalu di luar logika dalam film ini—mungkin itulah alasannya banyak
orang terperdaya dan menyangka Cannibal Holocaust sungguh-sungguh terjadi.
Narasinya disajikan dengan hal-hal yang sebetulnya kita temui sehari-hari—hanya
saja dibuat jauh lebih ekstrem. Aksi dan reaksi para karakter dalam film ini
pun secara umum sudah logis sesuai dengan genrenya. Tentu saja, kita tidak bisa
menuntut sebuah film untuk sama logisnya dengan kehidupan nyata (bahkan
kehidupan nyata terkadang bisa menjadi tidak masuk akal)—tetapi untuk ukuran
sebuah film Eksploitasi Kekerasan, narasi Cannibal Holocaust sudah logis.
Selain
merupakan sebuah film Eksploitasi Kekerasan, Cannibal Holocaust juga merupakan
sebuah film Petualangan. Artinya, tokoh-tokoh utamanya harus melalui sebuah
perjalanan panjang dan perjalanan itu haruslah sangat meaningful sampai
mengubah karakter mereka. Secara umum, Cannibal Holocaust sudah menampilkan
cerita petualangan yang logis dan meaningful. Perjalanan karakter-karakternya
menembus hutan bahkan lebih logis daripada perjalanan Indiana Jones menembus
hutan (padahal standar Skywalker menggunakan Indiana Jones sebagai acuan genre Petualangan). Cannibal Holocaust
telah menampilkan sisi lain ekspedisi hutan belantara yang, walau tidak sering
diberitakan, masih sering terjadi. Pemimpin atau pemandu ekspedisi yang sudah
handal diperlihatkan tetap bisa melakukan kesalahan fatal dan/atau merasa takut
seperti yang diperlihatkan dalam film ini. Berbagai kasus yang mengherankan
telah dibukukan oleh David Paulides dengan judul Missing 411—dan kasus-kasus itu terjadi di Amerika Serikat. Tidak
mengherankan jika ada kemungkinan lebih banyak kasus mengherankan yang terjadi
di hutan belantara Amazon. Dalam kasus Missing
411, dilaporkan bahwa orang-orang atau para penjelajah yang sudah ahli dan
rutin melakukan penjelajahan, masih bisa melakukan kesalahan yang akhirnya
membuat mereka tewas di tengah hutan.
Dalam
kaitannya dengan cara penyajian found footage, Cannibal Holocaust juga berhasil
memperlihatkan rekaman mentah yang terlihat nyata dan logis. Banyak kalangan
yang mempertanyakan apa perlunya adegan seksual diperlihatkan dalam rekaman-rekaman
tersebut, tetapi tentu saja pertanyaan semacam itu harus dikembalikan kepada
genre film ini: Eksploitasi Kekerasan yang mencakup Eksploitasi Seksual.
Mengapa ada banyak sekali adegan telanjang dalam Cannibal Holocaust? Seharusnya
setiap penonton sudah memaklumi jika akan ada banyak adegan tidak senonoh dalam
film semacam ini karena toh masuk dalam genre Eksploitasi Kekerasan. Meski
demikian, cukup sulit untuk membuat gaya found footage tampak otentik, terutama
ketika karakter-karakternya dalam bahaya: kalau mereka dalam bahaya, kenapa
masih sempat merekam? Dalam kasus nyata aksi terorisme yang terjadi di
Indonesia (penulis sendiri pernah mengalami secara langsung di mana sekelompok
teroris melakukan adu tembak dengan polisi tepat di jalan raya di belakang
rumah penulis—ya, penulis bisa mendengar suara-suara tembakan dengan sangat
jelas waktu itu) terlihat jelas rekaman-rekaman masyarakat yang bukannya
menyelamatkan diri tetapi malah mengerumuni satuan tim khusus anti terorisme
dan anti bom. Jika menggunakan akal sehat, mereka seharusnya berlari sejauh
mungkin agar tidak terluka.
Katakanlah
kalau tindakan para kru film dalam Cannibal Holocaust memang tidak logis,
tindakan mereka sebenarnya logis berdasarkan kepribadian karakternya. (Spoiler)
Sejak awal, diperlihatkan bahwa para kru film adalah orang-orang yang
oportunis, sadis, dan kemungkinan besar memiliki jiwa psikopat. Mereka adalah
orang-orang yang tidak ragu mengorbankan orang lain—bahkan temannya sendiri
dalam mencapai apa yang mereka inginkan. Dalam hal ini, mereka ingin
“mengekspos” kebrutalan suku pedalaman Amazon dan memiliki tujuan jelas untuk
memberikan label “biadap” kepada orang-orang pedalaman. Karena Cannibal
Holocaust secara jelas memperlihatkan kondisi mental karakter-karakternya, maka
hasil rekaman Alan menjadi lebih logis lagi. Dari pengamatan-pengamatan
sederhana (dan dapat dilihat serta dibuktikan secara langsung di dalam filmnya)
yang cukup panjang ini, dapat disimpulkan bahwa Cannibal Holocaust sudah logis
sesuai dengan genrenya.
“The conquest of the moon for example: who
talks about it anymore? Today we are already on the threshold of conquering our
galaxy, and in a not too distant tomorrow, we'll be considering the conquest of
the universe, and yet man seems to ignore the fact that on this very planet
there are still people living in the stone age and practicing cannibalism.”—PABS
Reporter
02 Story Consistency
Narasi
dalam Cannibal Holocaust sudah konsisten. Permasalahan-permasalahan yang
diajukan di awal film sudah dieksplorasi dengan baik dan seperlunya. Tidak ada
percabangan-percabangan cerita yang terlampau mengalihkan fokus utama film ini.
Tidak ada cerita yang terlalu mendalam tentang latar belakang karakter-karakternya;
terutama yang tidak berpengaruh dalam jalannya cerita. Latar belakang yang coba
dijelaskan oleh film ini adalah latar belakang para kru pembuat film yang, pada
akhirnya, terbukti penting dalam menjaga logika narasi Cannibal Holocaust.
Perubahan perilaku karakternya pun konsisten dengan karakter masing-masing
sehingga tidak terlalu berlebihan. Keengganan Harold dalam memublikasikan
rekaman Alan dapat dimaklumi dan ditelusuri kembali: sejak awal dirinya memang bersedia
ikut serta dalam proyek media, tetapi tidak pernah diperlihatkan bahwa dirinya
terlalu antusias dan menggantungkan semua harapannya pada proyek tersebut—tidak
seperti Carl Denham dalam King Kong. Selain itu, film ini pun pada dasarnya menyajikan apa yang
dijanjikan sesuai dengan tuntunan genrenya: ekspedisi mencari kru yang hilang
dan mengungkap kebenaran di balik menghilangnya para kru—tidak ada cerita
sampingan yang terlalu mencuri fokus utama ceritanya. Cannibal Holocaust
terlihat sekali memiliki pesan (entah itu moral atau politik, tergantung cara
Anda memandangnya) yang ingin disampaikan—memberikan sindiran kepada media
melalui kisah latar belakang Alan dan krunya. Namun, eksplorasi itu pun hanya
ditampilkan seperlunya, tidak terlalu berlebihan sampai-sampai menjadi seperti
sebuah “ceramah atau khotbah” kepada penonton.
“I can't understand the reason for such
cruelty. It must have something to do with some obscure sexua lrite or with the
almost profound respect these primitives have for virginity.”—Alan Yates
03 Casting Choice and Acting
Pemilihan
aktor dan akting karakter-karakter inti—dan suku pedalaman—dalam film ini
secara umum sudah baik. Terdapat beberapa karakter tambahan yang masih
berakting dengan kaku sehingga terlihat dibuat-buat (menegasi format found
footage). Namun, permasalahan-permasalahn akting para aktor di film ini juga
dipengaruhi oleh proses sulih suara (dubbing) yang kurang rapih dalam banyak
bagian. Namun hal semacam itu tidak membuktikan bahwa aktornya tidak berakting
dengan baik, tetapi adanya masalah dalam bagian reproduksi suara dan/atau efek
khusus. Para aktor utama pemeran kru film dokumenter adalah aktor amatir yang
belum pernah membintangi film besar (major motion picture) sebelumnya, apalagi
menjadi tokoh utama. Hal tersebut tidak hanya menguatkan nuansa jiwa muda yang
liar dalam ambisi membuat film, menggebu-gebu seperti para pemuda yang
bercita-cita menjadi pembuat film, tetapi juga mendukung nuansa seram dan
realisme found footage dari Cannibal Holocaust. Jika para tokoh utama yang
“hilang di hutan Amazon” diperankan oleh aktor terkenal seperti Harrison Ford,
John Wayne, atau Al Pacino, penonton akan seketika tahu bahwa Cannibal
Holocaust hanyalah sebuah film Eksploitasi. Hal tersebut akan mengurangi
kekuatan pesona teknik found footage karena penonton akan senantiasa ingat
bahwa mereka sedang menonton sebuah film, bukan sebuah rekaman sungguhan yang
ditemukan di tengah hutan.
Pada
kenyataannya, tidak sedikit penonton yang menyangka bahwa “rekaman yang ditemukan”
dalam Cannibal Holocaust adalah rekaman sungguhan. Dengan kata lain, banyak
penonton yang menduga—atau setidaknya menyebarkan berita bohong—bahwa semua
“aktor” yang tewas benar-benar tewas. Jika mereka hanyalah “aktor”, mengapa
para penonton tidak mengenali mereka? Ketidaktahuan atau “keasingan”
(unfamiliarity) terhadap para aktor ini menguatkan teknik found footage dalam
Cannibal Holocaust dan turut menunjukkan bahwa para aktor telah berhasil
memerankan peran mereka dengan baik. Dari diskusi ini dapat disimpulkan bahwa
pemilihan aktor dalam Cannibal Holocaust telah dilakukan dengan baik dan
berhasil menguatkan nuansa realisme filmnya. Film ini bahkan berhasil membuat
sutradara Italia, Sergio Leone, terpukau dan menyanjung seberapa “tampak
nyata”-nya Cannibal Holocaust. Leone kemudian mengirimkan pesan kepada
sutradara Cannibal Holocaust, “Dear
Ruggero, what a movie! The second part is a masterpiece of cinematographic
realism, but everything seems so real that I think you will get in trouble with
all the world.—Kepad Ruggero, film karyamu sangatlah luar biasa! Bagian ke
duanya adalah mahakarya realisme dunia sinema, semuanya terlihat sungguhan
sehingga saya pikir Anda bisa mendapat tentangan dari khalayak.” (Slater, Jay
(2002). "Cannibal Holocaust: Review by Jay Slater". In Slater, Jay
(ed.). Eaten Alive!: Italian Cannibal and Zombie Movies. London: Plexus
Publishing. p. 108.—verified)
04 Music Match
Secara
umum, musik dalam film ini sudah baik. Musik-musik telah diperdengarkan sesuai
dengan adegan yang berlangsung. Selain itu, Cannibal Holocaust tidak
memperdengarkan musik yang terlalu ramai—karena akan menegasi bentuk found
footage-nya. Dari segi narasi, film ini sudah menjelaskan bahwa editor rekaman
Alan telah menambahkan beberapa track stock music ke dalam rekaman Alan setelah
ditemukan oleh Harold. Musik dalam Cannibal Holocaust pun mendapatkan tanggapan
positif dari masyarakat dan menjadi salah satu musik yang ikonik di dunia film
Eksploitasi Kekerasan—terutama karena musik utamanya (Main Theme) yang mengalun
“lembut” dan menciptakan kontras yang luar biasa karena kelembutan musik itu
berbanding terbalik dengan “kesadisan” Cannibal Holocaust secara keseluruhan.
“Come on, Professor! Let's be realistic. Who
knows anything about the Yacumo civilization? Today, people want
sensationalism. The more you rape their senses, the happier they are.”—Studio
Executive
05 Cinematography Match
Cannibal
Holocaust memiliki sinematografi yang baik. Sinematografi dalam film ini tidak
hanya digunakan sebagai hiasan untuk mempercantik filmnya (seperti banyak
sekali film yang mengimplementasikan teknik sinematografi tertentu hanya karena
terlihat “indah”) tetapi menjadi bagian penting dari proses penyajian ceritanya
terkait dengan bentuk Cannibal Holocaust sebagai sebuah fim found footage. Ahli
sejarah sinema, David Kerekes, memuji sinematografi dalam film ini karena
teknik pengambilan gambarnya berhasil menciptakan kesan realisme. Dengan
demikian, rekaman yang “ditemukan” oleh Harold di tengah hutan Amazon tidak
terlihat seperti film yang dibuat-buat, melainkan memang seperti sebuah rekaman
mentah yang sungguh-sungguh direkam oleh para kru dan mereka sungguh-sungguh
dimangsa oleh para kanibal. Kerekes menyimpulkan bahwa sinematografi dalam
Cannibal Holocaust berhasil menjadikan realisme dalam film tersebut benar-benar
terasa otentik (Kerekes, David; Slater, David (January 1996). Killing for Culture: Death Film from Mondo
to Snuff. UK: Creation Books. ISBN 1-871592-20-8—verified).
Sutradara
film Lloyd Kaufman menyatakan, “In
Cannibal Holocaust, we see the actors kill and rip apart a giant sea turtle and
other animals. [...] The brain has been conditioned to accept that which it's
now seeing as real. This mixture of real and staged violence, combined with the
handheld camerawork and the rough, unedited quality of the second half of the
movie, is certainly enough to convince someone that what they are watching is
real—Dalam film Cannibal Holocaust, kita menyaksikan para aktornya membunuh
dan mencincang penyu berukuran besar dan beberapa binatang lainnya. […] (Dengan
demikian) Otak pemirsa diatur untuk meyakini bahwa apa yang mereka saksikan
setelahnya sungguh-sungguh terjadi. Perpaduan antara kekerasan sungguhan dan
kekerasan rekaan ini, dipadukan dengan pengambilan gambar teknik kamera genggam
beserta presentasi pada separuh bagian akhir film ini yang mentah dan berkesan
tanpa editing, tentunya cukup untuk meyakinkan orang kalau apa yang mereka
saksikan itu sungguhan.” (Kaufman, Lloyd (2002). "Cannibal Holocaust:
Review by Lloyd Kaufman". In Slater, Jay (ed.). Eaten Alive!: Italian
Cannibal and Zombie Movies. London: Plexus Publishing. pp. 104–106.—verified) Dari berbagai tanggapan
penonton mulai dari penonton awam hingga para pembuat film, juga dari visual
yang ditampilkan dalam Cannibal Holocaust, dapat disimpulkan bahwa sinemaografi
dalam film ini sudah baik.
06 Costume Design
Tidak
ada keluhan dalam poin pemilihan kostum. Cannibal Holocaust berlatar di era
1970-an akhir yang artinya film tersebut merupakan film kontemporer pada
masanya. Maka, kostum yang dikenakan oleh para karakternya adalah busana kasual
atau yang biasa dikenakan di era 1970-an akhir. Kostum orang-orang suku
pedalaman pun sudah baik dan mencerminkan busana orang-orang pedalaman sesuai
logika ceritanya.
07 Background/Set Match
Latar
belakang dalam film ini sudah baik. Berbeda dengan film-film kebanyakan yang
diciptakan setelah tahun 2010 (terlalu bergantung pada CGI), Cannibal Holocaust
benar-benar direkam di hutan belantara. Para aktor dan kru benar-benar harus
berangkat ke Amazon. Karena titik utama lokasi tidak dapat dijangkau
menggunakan pesawat, mereka harus melakukan perjalanan dengan menggunakan
perahu dan berjalan kaki. Hal semacam ini merupakan praktik yang lumrah
terutama di era sebelum tahun 2000. Salah satu contohnya yang lebih populer
adalah proses pengambilan gambar dalam film Congo (1995)—yang saya rasa menjadikan wajar kalau aktor film
mendapat bayaran tinggi, karena mereka memang benar-benar dituntut untuk
bekerja keras, tidak hanya harus pergi ke arena gym beberapa kali seminggu dan
melakukan pengambilan gambar adegan paling berbahaya sepenuhnya di dalam studio
lalu latar belakangnya ditambahkan sebagai kartun CGI. Kembali kepada Cannibal
Holocaust, film tersebut telah memberikan latar belakang yang sebaik-baiknya;
ceritanya berlatar di hutan Amazon, dan pengambilan gambar sudah dilakukan di hutan
Amazon sungguhan—what could you ask for
more?/masih kurang apa lagi coba?
08 Special and/or Practical Effects
Efek
visual dan presentasi film ini secara keseluruhan sudah baik. Dalam pembahasan
mengenai akting, disebutkan bahwa terdapat beberapa sulih suara (dubbing) yang
kurang presisi. Hal tersebut lebih berkaitan dengan efek dan presentasi film ini.
Namun, sebuah film tidak dapat dinilai hanya dari beberapa puluh detik adegannya,
tetapi secara keseluruhan. Meski terdapat beberapa kendala dalam hal penyajian
suara, efek visual dalam film ini secara umum sudah baik, bahkan tergolong
berhasil memukau penonton. Terdapat banyak film yang menjual kekerasan tetapi
kekerasan itu sendiri terlihat palsu atau dibuat-buat. Dalam Cannibal
Holocaust, efek darah, tubuh manusia yang disayat-sayat, dan efek khusus lain
yang berkaitan dengan kekerasan sadis terhadap tubuh manusia sudah disajikan
dengan baik. Salah satu efek khusus yang terkenal dalam film ini adalah sesosok
wanita yang dari kelaminnya ditancap bambu (atau jenis kayu lainnya) hingga
tembus keluar dari mulutnya, kemudian ditancapkan ke tanah sehingga tampak
seorang wanita suku yang menancap di sebuah tiang kayu; menjadi tontonan yang
bisa dilihat semua orang yang melintas. Efek khusus yang digunakan dalam adegan
itu terlihat sangat nyata—setidaknya di masa itu—sampai-sampai sutradara
Ruggero Deodato harus mendemonstrasikan trik-trik khusus yang ia gunakan dalam
membuat adegan tersebut agar orang-orang percaya bahwa kematian manusia yang
ditampilkan dalam Cannibal Holocaust hanyalah rekayasa.
09 Audience Approval
Ketika
pertama kali dirilis, Cannibal Holocaust sebenarnya mendapatkan respons yang
positif sebagai sebuah film yang utuh. Dengan kata lain, unsur intrinsik (hanya
berfokus pada film, terlepas faktor di luar filmnya) Cannibal Holocaust
mendapatkan pujian dari berbagai kalangan. Namun, Cannibal Holocaust
mendapatkan tanggapan yang sangat negatif karena unsur ekstrinsiknya. Film ini
dinyatakan terlalu sadis, terlalu mengumbar seksualitas, dan membangkitkan
kecaman karena binatang-binatang yang dibunuh di dalam film itu benar-benar
dibunuh. Meski Cannibal Holocaust menjadi landasan kuat film-film found footage
di masa setelahnya, pada puncak popularitasnya film ini mendapatkan tanggapan
yang beragam dan cenderung negatif. Pada kenyataannya, ada banyak kalangan yang
fokus membicarakan kesadisan film ini dan menyatakan harus ada tindakan untuk
mencekalnya tanpa benar-benar membicarakan inti ceritanya sendiri. Maka, image
Cannibal Holocaust terlanjur terbentuk sebagai sebuah film murahan yang hanya
menjual kekerasan (mindless gore) tanpa memiliki narasi yang berbobot. Karena
kuatnya penolakan dari berbagai kalangan, ada banyak masyarakat yang memberikan
tanggapan negatif bahkan sebelum menyaksikan filmnya secara langsung.
Platform |
Score ⸙ |
IMDb |
5,8/10 |
Rotten Tomatoes |
61% |
Metacritic |
4,7/10 |
Google User |
72% |
⸙Nilai pada tabel di atas mungkin
berbeda dengan nilai yang dikemukakan oleh masing-masing platform. Pada platform penilaian film yang
menampilkan penilaian kritikus, nilai yang ditampilkan pada tabel di atas
adalah nilai yang diberikan oleh penonton non-kritikus/user. Nilai yang
ditampilkan mengacu pada data termutakhir saat artikel ini dipublikasikan.
Maka, nilai yang ditampilkan pada masing-masing platform dapat berubah seiring
berjalannya waktu.
10 Intentional
Match
Cannibal
Holocaust telah berhasil memenuhi visi penciptanya baik dari segi artistik
maupun dari segi finansial. Meskipun film ini membuat sutradara Ruggero Deodato
meghadapi beragam permasalahan baik dengan penonton umum maupun pihak yang
berwajib, film ini telah berhasil menyajikan apa saja yang memang ingin
disajikan oleh penciptanya. Ruggero Deodato ingin menyajikan kisah kekejaman
yang jauh lebih kejam dari apa yang sudah pernah ia sajikan, tetapi (menurut
beberapa sumber termasuk penjelasan dari aktor Robert Kerman) juga menyampaikan
sebuah pesan spesifik mengenai kecenderungan media dalam menciptakan sensasi.
Dikisahkan bahwa salah satu inspirasi Deodato adalah pemberitaan kekejaman Red
Brigades di Italia. Menurutnya, para jurnalis justru terlalu fokus memberitakan
seputar kekerasan dengan mengesampingkan integritas jurnalisme. Deodato
beranggapan bahwa para jurnalis senang memberitakan kekerasan untuk mengumbar
sensasi. Lebih jauh lagi Ruggero menduga kemungkinan adanya oknum yang sampai
merekayasa kejadian kekerasan—atau sengaja memancing kekerasan—demi mendapatkan
berita yang dipastikan laku keras di pasaran. Perilaku yang semacam ini menjadi
dasar perilaku para kru film dalam Cannibal Holocaust. Meskipun mayoritas
penonton mungkin tidak memerhatikan poin cerita tersebut karena fokus mengamati
kekerasan yang ditampilkan, poin kritik itu sebetulnya sudah disajikan dengan
sangat jelas dan sederhana. Kejelasan itu dapat dilihat dari kuatnya logika dan
konsistensi cerita dalam Cannibal Holocaust.
ADDITIONAL CONSIDERATIONS
[Lima poin tambahan ini bisa menambah dan/atau mengurangi
sepuluh poin sebelumnya. Jika poin kosong, maka tidak menambah maupun
mengurangi 10 poin sebelumnya. Bagian ini adalah pertimbangan tambahan
Skywalker, maka ditambah atau dikuranginya poin pada bagian ini adalah hak
prerogatif Skywalker, meskipun dengan pertimbangan yang sangat matang]
01 Skywalker’s Schemata
Sebagian
pembaca mungkin terkejut jika mengetahui bahwa saya memberikan nilai yang
sangat tinggi untuk Cannibal Holocaust. Namun perlu saya tekankan kembali bahwa
nilai yang saya berikan sangat bergantung pada genre filmnya. Sebagai contoh,
nilai 10 yang saya berikan untuk sebuah film Fantasi major tidak setara dengan
nilai 10 yang saya berikan untuk sebuah film Horror Kelas B (film murah yang
tidak tayang di bioskop dan langsung dijual dalam bentuk DVD). Nilai yang saya
berikan kepada Cannibal Holocaust memang tinggi, tetapi nilai yang tinggi itu
berlaku untuk disejajarkan dengan film-film satu rumpun. Dibandingkan dengan
film-film Eksploitasi Kekerasan lainnya yang juga menyajikan cerita tentang
orang-orang kanibal, Cannibal Holocaust merupakan salah satu yang terbaik. Film
Deep Blue Sea sering sekali dinilai negatif karena narasinya dinilai tidak
logis—tentu saja jika dibandingkan dengan Sense
and Sensibility, narasi dalam Deep
Blue Sea lebih tidak logis. Namun di antara film-film yang menceritakan
tentang serangan ikan hius (selain Jaws),
Deep Blue Sea merupakan salah satu
yang terbaik. Jika film-film Kekerasan umumnya hanya menjual sisi kekerasannya,
Cannibal Holocaust terlihat lebih serius dan benar-benar memiliki sebuah pesan
penting yang ingin disampaikan.
Semasa
kecil, saya hanya beberapa kali melihat gambar mengerikan dari kemasan DVD
Cannibal Holocaust milik orang tua saya. Namun tentu saja saya tidak
menontonnya karena masih terlalu kecil, dan memang tidak berani. Ketika saya
mulai beranjak dewasa dan sudah cukup umur untuk menontonnya, saya merasa sama
sekali tidak tertarik karena saya menduga kalau Cannibal Holocaust hanyalah
sebuah film murahan yang menjual kekerasan tanpa cerita yang jelas atau
meaningful. Berbagai ulasan yang saya baca pun justru makin membuat saya enggan
untuk menontonnya. Barulah sekitar tahun 2020, saya sudah berusia 25 tahun,
saya menemukan film ini dirilis di salah satu platform streaming dan memutuskan
untuk menontonnya—sama sekali tanpa ekspektasi dan penuh dengan dugaan bahwa
filmnya pasti akan sangat konyol. Setelah selesai menontonnya, saya tahu betul
kalau prasangka saya selama ini salah. Cannibal Holocaust bukanlah sebuah film
bodoh yang hanya menampilkan kekerasan, tetapi sebuah kritik sosial yang kian
hari kian tampak korelasinya dengan dunia nyata.
Cannibal
Holocaust merupakan contoh sempurna dari sebuah prasangka. Dengan segala ulasan
dan materi promosinya, kita menduga bahwa film itu menceritakan tentang
orang-orang biadab yang suka memburu manusia dan memakan manusia. Sekilas, kita
akan menduga bahwa Cannibal Holocaust jauh lebih sadis dibandingkan dengan The Hills Have Eyes. Kita semua seolah
“digiring” untuk meyakini bahwa para orang pedalaman yang kanibal itu jahat dan
tidak beradab. Padahal jika kita bersabar dan melihat lebih jauh lagi, The Hills Have Eyes justru lebih sadis
dibandingkan dengan Cannibal Holocaust. (Spoiler) Orang-orang suku pedalaman
sama sekali tidak punya niat untuk membunuh para kru pembuat film. Mereka
tidaklah secara aktif memburu orang-orang kulit putih yang datang ke desa
mereka. Bahkan ketika kru film dokumenter masuk ke desa suku pedalaman tanpa
izin, orang-orang suku pedalaman sama sekali tidak menyakiti mereka. Alan Yates
dan krunya ingin menjual sensasi. Mereka ingin memperlihatkan kepada dunia
bahwa orang-orang yang tinggal di jantung hutan Amazon adalah manusia biadab
yang suka memakan manusia. Maka, Alan dan krunya dengan sengaja membunuh,
menghancurkan tempat tinggal, dan memperkosa warga suku pedalaman. Maka dapat
disimpulkan bahwa orang-orang pedalaman membunuh Alan dan krunya atas kejahatan
yang mereka lakukan sendiri tanpa adanya provokasi. Dalam The Hills Have Eyes, (Spoiler) jelas sekali bahwa para penghuni
padang terbengkalai itu dengan sengaja memancing orang yang melintas dan
menjebak orang-orang yang tidak bersalah untuk dibunuh, diperkosa, dan
dijadikan makan malam.
Film
karya Ruggero Deodato ini, menurut saya, bukan hanya sebuah film tetapi juga
sebuah sindiran. Memang bukan sindiran yang halus, melainkan sindiran yang
sangat kasar seperti sebuah pukulan tepat di kepala. Cannibal Holocaust memaksa
kita untuk berpikir kembali tentang siapa diri kita, bagaimana dunia bekerja,
siapa yang harus kita percaya, dan hal-hal mengerikan yang sebenarnya bisa dan
pernah terjadi di sekitar kita tetapi tidak kita lihat atau tidak mau kita
lihat. Kekejaman yang dilakukan terhadap hewan dalam film ini—meskipun tidak
bisa dibenarkan—tidak sebanding dengan kekejaman yang setiap hari terjadi di
dunia nyata. Penyu dan binatang lain yang dibunuh dalam Cannibal Holocaust
digambarkan sebagai tindakan bertahan hidup—binatang-binatang itu akan dimakan
untuk bertahan di tengah hutan. Di dunia nyata, praktik memotong sirip hiu
masih saja terjadi. Parahnya, setelah siripnya dipotong, hiu-hiu itu diceburkan
kembali ke laut dan dibiarkan mati tersiksa. Bagaimana dengan perburuan gajah
yang hanya diambil gadingnya? Orang-orang jahat nan oportunis di kehidupan
nyata tidak hanya membunuh binatang untuk bertahan hidup (sebagai sumber
makanan), tetapi juga menyiksa dan menyisakan bangkai binatang yang dibiarkan
sia-sia.
Cannibal
Holocaust memaksa penonton untuk berkaca. Film itu menyampaikan pesan yang
serupa dengan kisah Pocahontas tetapi
pada level yang amat sangat terlalu
ekstrem: siapakah yang biadab? Apakah eksploitasi kesedihan dari acara
reality show yang memperlihatkan orang-orang miskin yang diberi hadiah itu
pantas untuk disiarkan ke seluruh dunia? Apakah media selama ini memberitakan
kasus yang sejujur-jujurnya pada kita? Apakah media selama ini memang
menggiring opini? Apakah “bad news is good news” bagi media itu sungguh-sungguh
berlaku? Apakah orang-orang China sebegitu menderitanya seperti yang
diperlihatkan oleh media Amerika hanya karena China adalah negara Komunis? Apakah
orang-orang Amerika sebegitu bahagianya, sebegitu demokratisnya, sebegitu adil
sistemnya, seperti yang ditampilkan dalam berita dan banyak film-film
Hollywood?
Look
at the man in the mirror.
02 Awards
Cannibal
Holocaust tidak mendapatkan penghargaan yang penting untuk disebutkan.
03 Financial
Meskipun
penuh dengan kontroversi dan peredaran filmnya dibatasi atau bahkan ditarik
dari pasar, Cannibal Holocaust terbilang sukses secara finansial. Dari dana
sekitar $100 ribu, film ini berhasil menjual tiket sebesar $2 juta 10 hari
sebelum distribusi filmnya dihentikan karena tingginya kecaman publik. Di
Jepang, film ini sukses menjual tiket sebesar $21 juta. Meski tidak ada data
yang konkret dan dapat dipertanggungjawabkan seputar angka pasti penjualan tikenya
di tahun 1980, sutradara Ruggero menyatakan bahwa film tersebut sukses dan
berhasil meraup keuntungan mencapai $200 juta (meski kemungkinan bukan
sepenuhnya dari hasil penjualan tiket bioskop).
04 Critics
Cannibal Holocaust mendapatkan tanggapan yang beragam dari kalangan kritikus film. Sebagian kalangan kritikus menyatakan bahwa Cannibal Holocaust berhasil menyajikan sebuah cerita yang mengandung sebuah pesan sosial; kritik terhadap media. Kritikus yang memberikan pujian juga menyatakan bahwa efek visual yang disajikan terlihat sangat meyakinkan, dan yang paling utama memberikan pujian terhadap sinematografinya yang hingga kini menjadi acuan film-film found footage. Sebagian kritikus yang memberikan komentar negatif menyatakan bahwa film ini terlalu vulgar, terlalu mengumbar kekerasan, dan mereka tidak mau menoleransi adanya pembunuhan binatang sungguhan di dalam Cannibal Holocaust. Lebih lanjut lagi, mereka menuduh Cannibal Holocaust sebagai film yang munafik karena mempraktikkan semua hal yang ditentang oleh film ini sendiri. Bahkan hingga puluhan tahun setelah filmnya dirilis dan tanggapan masyarakat sudah semakin positif, kalangan kritikus “profesional” masih terbagi dua. Dalam cuplikan tanggapan kritikus dari situs Rotten Tomatoes berikut, terlihat jelas sentimen negatif para kritikus abad 21 terhadap Cannibal Holocaust.
05 Longevity
Cannibal
Holocaust berhasil bertahan melawan serangan pergantian zaman. Seiring
berjalannya waktu, jumlah penggemar setianya (cult following) semakin
bertambah. Meskipun tanggapan penonton tetap beragam dan masih banyak yang
memberikan respons negatif, mayoritas penonton makin dapat memaklumi segala
kontroversi di balik pembuatan Cannibal Holocaust dan setuju bahwa film
tersebut memiliki dampak yang besar dalam dunia sinema khususnya sinema dengan
format found footage. Cannibal Holocaust masih sering diperbincangkan dan
diperdebatkan dalam berbagai platform diskusi film, dan efek visualnya masih
dinilai baik bahkan setelah filmnya berusia lebih dari 40 tahun.
Final Score
Skor
Asli : 9
Skor
Tambahan : -
Skor
Akhir : 9/10
***
Edisi Review Singkat+ULTRA
Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar
penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa
untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Apabila terdapat tanda
Review Singkat+ULTRA
di bawah judul, maka berdasarkan keputusan per Mei 2022 menandakan artikel
tersebut berjumlah lebih dari 5.000 kata.
Skywalker Hunter adalah alias
dari Nabil Bakri
Keterangan Box Office dan penjualan DVD disediakan oleh The Numbers
©1980/ F.D. Cinematografica,
United Artists/Cannibal Holocaust/All
Rights Reserved.
©Nabil Bakri Platinum.
Teks ini dipublikasikan dalam Nabil Bakri Platinum [https://nabilbakri.blogspot.com/] yang diverifikasi Google dan dilindungi oleh DMCA.
Nabil Bakri Platinum tidak bertanggung jawab atas konten dari
link eksternal yang ada di dalam teks ini—termasuk ketersediaan konten video
atau film yang dapat berubah sewaktu-waktu di luar kendali Nabil Bakri
Platinum.