Review Film Alpha (2018) Petualangan Bertahan Hidup Bocah Purba dan Serigala Liar
Oleh Nabil BakriSkywalker Hunter
Edisi Review Singkat+PLUS
“Life
is for the strong. It is earned, not given.”—Tau
Review berikut menggunakan gambar/foto milik pemegang hak
cipta yang dilindungi doktrin fair use. The following review utilizes
copyrighted pictures under the doctrine of fair use.
images©2018/Columbia Pictures/Alpha/All Rights Reserved.
Genre : Petualangan
Rilis :
Domestic Releases: |
August 17th, 2018
(Wide) by Sony Pictures |
International
Releases: |
August 15th, 2018
(Wide) (Trinidad) |
November 13th, 2018 by Sony Pictures Home
Entertainment |
|
MPAA Rating: |
PG-13 for some intense peril. |
Durasi : 96 menit
Sutradara : Albert Hughes
Pemeran : Kodi Smit-McPhee, Jóhannes Haukur
Jóhannesson, Natassia Malthe, Jens Hultén, Leonor Varela
Episode : -
Sinopsis
20.000
tahun yang lalu di Eropa, terdapat sebuah suku pemburu yang dipimpin oleh Tau.
Karena musim dingin akan segera tiba, suku itu harus segera melakukan perburuan
di daratan yang jauh untuk dikumpulkan dan menjadi persediaan makanan selama
musim dingin. Anak lelaki Tau, Keda, sudah cukup umur dan tengah menjalani
seleksi anggota perburuan. Anak-anak suku yang telah cukup umur diminta membuat
ujung tombak dari batu. Mereka yang berhasil membuat senjata yang tajam akan
diterima sebagai anggota perburuan. Senjata buatan Keda sangatlah tajam
sehingga dapat melukai jari Tau walau hanya menyentuhnya dengan perlahan. Maka,
Keda menjadi salah satu anak yang dipilih untuk ikut berburu. Keputusan itu
sejatinya ditentang oleh ibu Keda, Rho, yang merasa Keda belum siap.
Menurutnya, Keda adalah seorang anak yang lemah lembut dan tidak suka
kekerasan. Namun, Tau merasa anaknya sudah siap. Akhirnya, mereka semua memulai
perjalanan berburu bison bersama dengan kelompok dari suku lainnya. Tau dengan
bangga memperkenalkan Keda kepada kepala suku sahabatnya, Xi, tanpa mengetahui
bahwa sahabatnya telah kehilangan putera yang ia banggakan.
Ketika
berburu untuk makan malam, Tau menguji keberanian Keda dengan memintanya
menyembelih sekor babi liar. Keda enggan membunuh babi itu dan akhirnya menolak
untuk melaksanakan perintah ayahnya. Pada malam harinya, salah seorang sahabat
Keda dimangsa oleh seekor macan gigi pedang. Mengetahui Keda yang terpukul
menyaksikan kejadian buruk yang menimpa sahabatnya, Tau menjelaskan bahwa alam
liar tidak akan mengampuni siapapun. Mereka semua harus berburu untuk bertahan
hidup—Tau menjelaskan bahwa Keda tidaklah menjadi jahat atau kejam dengan
membunuh karena itu dilakukan atas dasar upaya bertahan hidup. Jika bukan Keda
yang membunuh, dia yang akan dibunuh. Tau juga menjelaskan kepada Keda bahwa
pemimpin yang hebat harus seperti serigala alfa. Menurutnya, serigala alfa
bukanlah serigala yang terkuat melainkan yang paling bijaksana. Selama
perjalanan, lengan para anggota baru dibubuhi tanda berbentuk rasi bintang.
Bintang-bintang itu adalah petunjuk jalan yang akan mengantarkan mereka pulang
setelah malam tiba atau jika tersesat. Karena itu adalah perburuan pertama bagi
Keda, ia juga mendapat tanda rasi bintang itu.
Para
pemburu akhirnya sampai di lokasi perburuan. Sekawanan bison tengah merumput di
dataran tinggi. Rencana para pemburu adalah menggiring para bison agar mereka
berlari ke tebing dan jatuh ke jurang. Nantinya, mereka akan memungut daging
bison yang telah tergeletak di dasar jurang. Para pemburu berbaris dan menyerbu
kawanan bison. Binatang-binatang itu berlarian dan berhasil dihalau menuju
tebing. Banyak dari bison itu yang terjatuh ke jurang sementara sisanya
berhasil melarikan diri. Seekor bison yang mengamuk berbalik arah dan menerjang
Keda. Setelah berhasil menghantam Keda, bison itu kembali menyerangnya hingga
pakaian Keda tersangkut di tanduk bison. Tau melempar tombaknya hingga menancap
di tubuh bison itu. Sang bison kemudian berlari menuju tebing, menyeret Keda
yang terjebak di tanduknya. Akhirnya, bison itu jatuh dari tebing sementara
Keda jatuh ke sebuah batuan tebing yang menjorok. Kaki Keda terkilir dan ia
tidak sadarkan diri. Malihat luka-luka Keda, para pemburu menduga bahwa Keda
sudah meninggal. Mereka meminta kepala suku Tau untuk merelakan kematian
puteranya. Hingga hari berganti, Tau tidak juga meninggalkan tepi jurang dan
menunggu anaknya untuk bangun. Namun, Keda tidak juga bangun. Akhirnya, ia
merelakan kematian Keda dan kembali memimpin pasukannya pulang ke suku mereka sebelum
musim dingin tiba.
Melihat
jasad manusia tergeletak di batuan tebing, seekor burung pemakan bangkai
mematuk tubuh Keda. Patukan itu membangunkan Keda yang ternyata masih hidup. Ia
mengusir burung pemakan bangkai dan berusaha untuk turun dari tebing.
Masalahnya, tebing itu sangatlah tinggi dan tidak ada batuan yang bisa
dijadikan panjatan. Terlebih lagi, kaki Keda terkilir sehingga ia tidak bisa
menggunakan kakinya untuk menyelamatkan diri. Karena memaksakan diri untuk
memanjat, Keda terjebak dan harus bergelantungan di tebing. Jika lengannya
sudah tidak kuat, ia akan jatuh dan tewas. Beruntung, hujan lebat tiba dan
menyebabkan banjir besar, memungkinkan Keda untuk selamat dari tebing. Setelah
itu, Keda mulai mencari-cari ayahnya. Ia akhirnya melihat sebuah tumpukan batu
pemakaman yang ditinggalkan untuk dirinya—yang menandakan bahwa ayahnya mengira
ia sudah meninggal dan kini sudah pergi kembali ke suku mereka. Keda harus
berjuang seorang diri untuk kembali ke suku dengan bantuan tanda petunjuk bintang
yang ada di lengannya. Namun, ia harus bergegas karena bintang tidak akan
terlihat jika badai salju tiba. Keda harus berjuang melawan waktu. Selain itu,
Keda juga harus berhadapan dengan binatang-binatang liar yang siap memangsanya.
Salah satu binatang yang mengincarnya adalah sekawanan serigala yang dipimpin
oleh sekor alpha. Sanggupkah Keda menyelamatkan diri dari kejaran serigala? Akankah
ia kembali ke sukunya dengan selamat?
01 Story Logic
Narasi
dalam Alpha masih belum logis. Dari segi konsep, Alpha sudah sesuai dengan pola
dasar genre Petualangan: karakter utama harus menuntaskan sebuah petualangan
besar, dan petualangan itu haruslah meaningful atau memengaruhi karakter tokoh
utamanya secara signifikan. Keda sudah melalui sebuah petualangan dan petualangan
itu telah mengubah karakternya. Namun konsep dasar yang sudah baik ini tidak
dilengkapi dengan detil cerita dan fitur pendukug konsep lainnya yang ideal.
Bagaimana tokoh-tokoh dalam cerita ini bereaksi juga seringkali tidak logis
sesuai dengan genrenya. Alpha menceritakan tentang seorang anak zaman es
baernama Keda. Dari penggambaran fisik dan sifatnya di awal film, dirinya sudah
terlihat ambigu. Dari segi fisik, jika film ini benar-benar ingin menjadi
sebuah Petualangan yang serius, mustahil Keda bisa bertahan hidup melawan
ganasnya alam. Namun di balik fisiknya yang “terlihat” lemah, ia digambarkan
sebagai anak yang sangat pintar dan berhasil memahat ujung tombak dengan
sempurna—yang paling sempurna di antara teman-temannya. Masalahnya, ia kembali diperlihatkan
sebagai anak yang lemah baik secara fisik maupun secara mental. Keda menolak
untuk berburu binatang, gagal menyalakan api, dan tidak bisa melarikan diri
dari kejaran bison. Singkatnya, Keda berakhir sebagai “beban” bagi kelompoknya.
Mustahil
orang-orang seperti Keda, jika dipikir dengan logika standar, bisa bertahan
hidup seorang diri [dengan penuh luka] di akhir zaman es yang berbahaya. Keda
berbanding terbalik dengan karakter dari kisah yang serumpun, The Revenant. Dalam film bertajuk Petulangan
dan survival itu, aktor Leonardo DiCaprio sejak awal sudah digambarkan sebagai
karakter yang kuat, pemberani, dan merupakan seorang pemburu/pemandu alam liar
yang profesional. Maka, penonton merasa wajar jika DiCaprio berhasil selamat
dari ganasnya alam liar. Terlebih lagi, DiCaprio punya alasan yang sangat kuat
untuk tidak menyerah dan bertahan hidup: ia punya dendam yang harus dibalaskan.
Dalam kesengsaraan, “amarah” jauh lebih baik daripada “keputusasaan”. Tanpa
adanya motivasi untuk balas dendam, DiCaprio mungkin tidak akan berjuang
mati-matian untuk bertahan hidup. Motivasi yang kuat dan penggambaran karakter
yang sesuai dengan kapasitasnya semacam ini tidak ditemukan dalam film Alpha.
Kisahnya
bisa jadi lebih logis jika film ini memang fokus menjadikan petualagan Keda
sebagai sebuah momentum untuk membentuk karakternya yang kuat. Masalahnya,
penggambaran sosok Keda sangatlah ambigu: terkadang ia diperlihatkan lemah
secara fisik tetapi kuat secara mental, terkadang ia diperlihatkan lemah baik
secara fisik maupun secara mental. Apa-apa saja yang membuat Keda menjadi lebih
kuat juga tidak dieksplorasi dengan baik sehingga ia seolah-olah bisa melakukan
segalanya tanpa proses penjelasan yang logis. Bagaimana Keda bisa membunuh
binatang padahal ia tidak sanggup menyembelih seekor babi? Ketika pada akhirnya
ia membunuh binatang, toh Keda tidak terlihat menyesal. Hal ini sangat berbeda
dengan penggambaran tokoh Pi dalam Life of Pi. Membunuh binatang adalah sebuah pantangan bagi Pi, sehingga
ia membunuh jika benar-benar sudah terpaksa dan penonton diperlihatkan
bagaimana Pi sangat menyesal telah membunuh seekor ikan—padahal itu demi
kelangsungan hidupnya sendiri. Ketika menemukan sebuah pulau, Pi lantas
mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan. Keda tidak terjebak di tengah laut. Ia bisa saja
mencari makanan selain daging jika ia memang ahli bertahan hidup. Ia juga
tertinggal sebelum musim dingin tiba, jadi seharusnya ada lebih banyak tanaman
yang bisa dikonsumsi. Ketiadaan ekspresi penyesalan ketika Keda membunuh
binatang membuat sifatnya kembali dipertanyakan: apa yang meaningful dari
pendirian Keda yang lemah lembut kalau toh pada akhirnya ia akan bersikap
seperti pemburu pada umumnya? Apa yang meaningful dari pendirian Pi yang tidak
mau membunuh binatang? Visualisasi pendirian Pi sangat penting karena nanti
pendirian itu akan benar-benar diuji selama petualangannya. Hal-hal mendasar
yang menyertai pola genre Petualangan ideal semacam ini masih belum disajikan
dengan baik dalam Alpha.
Bagaimana
Keda terjebak di jurang masih kurang logis, bagaimana ia bisa sembuh dari
luka-lukanya masih kurang logis, bagaimana ia “menjinakkan” serigala Alpha juga
kurang logis. Dalam adegan serangan macan gigi pedang, kelompok Keda hanya
duduk mengitari perapian di ruang terbuka. Padahal, suku mereka sudah melakukan
perjalanan secara turun-temurun dan mewariskan ilmu penetahuan mereka kepada
generasi baru. Sudah sepantasnya kepala suku mengetahui lokasi-lokasi berbahaya
dan paham akan bahaya apa saja yang mengintai. Bukannya berlindung di dalam gua
atau membangun sebuah tempat berlindung, mereka justru duduk di lapangan sambil
menyalakan api. Tentu saja mereka berpotensi menarik minat binatang-binatang di
sekitar. Terlebih lagi, mereka terus berbicara dan menimbulkan kebisingan di
tengah heningnya malam. Ketika macan gigi pedang menyerang, mereka bukannya
menyelamatkan diri seperti berlindung di atas pohon atau menyiapkan pertahanan,
tetapi kembali duduk manis seolah-olah tidak ada yang terjadi. Para meerkat di
film Life of Pi tidak takut kepada
harimau Richard Parker karena mereka memang belum pernah bertemu dengan
karnivora. Maka, keberanian para meerkat dapat dimaklumi. Keberanian dalam Alpha
adalah bunuh diri. Hal-hal yang tampaknya trivial semacam ini sebetulnya sangat
mencederai logika ceritanya karena film ini bukanlah sebuah Fantasi apalagi
Komedi. Bagaimana para bison bereaksi terhadap serbuan manusia juga terlihat
tidak masuk akal, begitu pula bagaimana mereka berputar balik dan jatuh ke
jurang. Adegan perburuan bison dalam Alpha sangat tidak logis karena mengikuti
koreografi pertempuran dalam film The Chronicles of
Narnia: The Lion the Witch and the Wardrobe yang tidak logis digunakan dalam film Petualangan. Film ini,
pada akhirnya, fokus pada karakter Keda yang sayangnya memperlihatkan masalah
perihal fisik dan kemampuannya. Selain memengaruhi Logika, karakternya juga
memengaruhi nilai pemilihan aktor dalam film ini.
02 Story Consistency
Alur
cerita film ini masih kurang konsisten. Tidak begitu jelas apakah Alpha fokus
pada perjuangan Keda untuk menjadi sosok yang baru, dinamika hubungan antara
ayah dan anak (atau bisa juga dinamika kehidupan sosial manusia zaman es), atau
proses terjalinnya hubungan yang erat antara Keda dengan serigala Alpha. Pada
mulanya, film ini memperlihatkan adanya permasalahan dinamika keluarga dan
sosial yang dialami oleh Keda. Terjadi penjelasan yang ambigu antara 1) Keda
membuat ayahnya bangga atau 2) Keda membuat ayahnya kecewa di awal film. Maka,
Alpha memberikan kesan bahwa film ini bercerita tentang seorang anak yang
berusaha menunjukkan kemampuannya kepada sang ayah dan juga semua orang di
dalam sukunya. Seiring berjalannya waktu, perjuangan Keda semakin tidak
berkaitan dengan dinamika hubungan antara dirinya dengan orang-orang
terdekatnya dan semakin terlihat murni sebagai perjuangan untuk bertahan hidup
(bukan untuk membuktikan apapun kepada siapapun). Di sepanjang perjalanan,
ceritanya kembali berubah menjadi proses Keda menjinakkan serigala Alpha. Alur
ceritanya menjadi semakin ambigu ketika Alpha, setelah dengan mudahnya
dijinakkan, (Spoiler) dengan mudah pula pergi meninggalkan Keda untuk kembali ke
kawanannya. Tidak lama kemudian Alpha kembali melakukan perjalanan bersama Keda
yang artinya kembali meninggalkan kawanannya. Poin cerita ini bukan hanya
merusak konsistensi ceritanya, tetapi juga membuat narasinya kurang logis
sesuai dengan genre Petualangan yang serius.
Terdapat
permasalahan konsistensi yang ditimbulkan oleh masalah teknis. Dalam versi asli
yang ditayangkan di bioskop, adegan perburuan bison adalah adegan yang menjadi
pembuka film ini. Dengan kata lain, penceritaan Alpha versi bioskop tidaklan
runtut. Sebuah film yang membolak-balik alur ceritanya bukan berarti tidak
konsisten asalkan ceritanya membentuk satu kesatuan yang utuh (misalnya film Kill Bill Volume 1). Namun untuk kasus Alpha, penataan urutan cerita yang
mendahulukan adegan perburun bison membuat narasinya kurang konsisten karena
membuat deskripsi kepribadian Keda menjadi semakin ambigu (berkaitan juga
dengan poin Logika). Sebagai pembandingnya, kita bisa menyaksikan versi
Director’s Cut yang diceritakan secara runtut—adegan perburuan bison
ditampilkan pada waktu yang seharusnya, bukan di awal film. Dengan demikian,
proses perkembangan karakter Keda dapat ditampilkan dengan lebih baik dan
konsisten (meski itupun masih kurang baik dari segi Logika). Meskipun versi
Director’s Cut memberikan konsistensi yang lebih baik, sistem Skywalker akan
memberikan penilaian pada versi bioskop-nya. Versi Director’s Cut seharusnya
sejak awal dijadikan sebagai versi yang resmi karena memang lebih tertata
strukturnya.
03 Casting Choice and Acting
Berkaitan
erat dengan poin Logika dan Konsistensi, pemilihan aktor dalam film ini masih
kurang tepat. Kodi Smit-McPhee tidak cocok memerankan karakter Keda bukan
karena aktingnya buruk, tetapi secara fisik kurang mampu menyajikan logika
cerita yang kuat. Aktor lain dalam film ini umumnya berakting dengan baik,
hanya saja penampilan fisik mereka kurang berhasil memberikan gambaran yang
masuk akal tentang konsep ceritanya. Dalam film Apocalypto, penonton bisa memaklumi mengapa Jaguar Paw berhasil
bertahan hidup melawan musuh. Ia tidak hanya dideskripsikan sebagai seorang
pemuda yang perkasa, tetapi penampilan fisiknya juga menunjukkan seorang
manusia yang memiliki kekuatan fisik yang mumpuni. Hal serupa terjadi pada Hugh
Glass dalam film The Revenant. Ketika
narasi The Revenant menyatakan bahwa
Hugh Glass berhasil selamat dari luka-luka yang mematikan, penonton masih bisa
memaklumi hal tersebut karena deskripsi kemampuan Hugh yang baik dan keadaan
fisik Hugh. Bahkan aktor-aktor dalam film yang mendapatkan tanggapan lebih
negatif yakni 10,000 BC memiliki
tampilan fisik yang lebih logis ketika mereka ditempatkan di posisi-posisi yang
sulit. Pemilihan aktor Kodi sebagai Keda tidak hanya kurang logis, tetapi
membuat transformasi fisik seperti Pi dalam Life
of Pi menjadi mustahil. Dalam Life of
Pi, Pi adalah seorang pemuda yang sehat. Akibat dari petualangannya yang
mengenaskan, tubuhnya menjadi semakin kurus karena kekuragan nutrisi.
Transformasi yang meaningful semacam ini (untuk menegaskan seberapa serius
tantangan yang dihadapi oleh si karakter) menjadi mustahil diimplementasikan
dalam Alpha.
Kita
tidak tahu secara pasti bagaimana tampilan fisik manusia-manusia di zaman es.
Sangat mungkin ada orang-orang tertentu yang bertubuh sangat kurus tetapi
sangat ahli dalam bertahan hidup atau menangkap mammoh. Namun, film bukanlah sebuah
novel apalagi sebuah buku sejarah. Jika orang ingin mempelajari realita
sebaik-baiknya, mereka akan pergi ke perpustakaan, museum, atau universitas dan
membaca buku sains. Film sangat mengandalkan visual, sangat penting agar
penonton mengerti karakteristik tokoh yang mereka lihat hanya dari tampilan
fisiknya. Penonton akan langsung tahu kekuatan Hercules begitu melihat seorang
pemuda yang berotot—berlaku pula untuk karakter Diana alias Wonder Woman yang
berbadan tegap dan sekilas terlihat jauh lebih kuat dibandingkan wanita pada
umumnya. Banyak kalangan post-modern yang mempermasalahkan stereotype, tetapi
sebetulnya stereotype dalam film sangatlah penting dan bermanfaat jika
diimplementasikan dengan benar.
Stereotype
memangkas watu yang diperlukan oleh sebuah film untuk menjelaskan tentang detil
karakternya. Inilah mengapa Harrison Ford diminta untuk berolahraga ekstra
ketika memerankan Indiana Jones dalam The
Temple of Doom karena karakternya akan banyak beraksi tanpa baju
dibandingkan dengan Raider of the Lost
Ark. Dalam Alpha, ada beberapa karakter yang seharusnya sudah tewas ketika
berusaha bertahan hidup karena memang fisik mereka tidak meyakinkan. Dalam film
animasi Mulan, Shan Yu memiliki anak buah kepercayaan yang terdiri dari
beberapa orang: mayoritas berbadan kekar, tetapi ada satu orang yang bertubuh
kurus. Ketika mereka bertarung, tidak logis jika anak buah yang kurus mampu
berkelahi sekuat koleganya yang kekar. Maka, penulis naskah memberikan keahlian
tersendiri bagi anak buah yang kurus sebagai seorang pemanah yang sangat
ahli—meskipun ia tidak kuat secara fisik, ia sangat ahli menggunakan panah.
Pilihan-pilihan artistik yang memengaruhi Logika dan Konsistensi semacam ini
masih kurang diperhatikan dalam film Alpha.
04 Music Match
Tidak
ada keluhan di pemilihan musik.
05 Cinematography Match
Sinematografi
dalam film Alpha sudah baik, meski terdapat beberapa teknik pengambilan gambar
yang tidak perlu karena meaningless
terhadap keseluruhan cerita dan tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap gaya artistik film ini. Sebagai contoh, [Spoiler] dalam sebuah adegan
Keda tercebur ke sebuah danau yang membeku. Mengetahui hal itu, serigala Alpha
berusaha menolongnya dan melakukan sebuah aksi lompatan yang disajikan dalam
gerak lambat supaya menguatkan nuansa dramatis. Masalahnya, lompatan itu sama
sekali tidak ada dampaknya. Lompatan semacam itu dilakukan oleh rubah kutub
untuk membuat lubang mencari mangsa yang bersembunyi di balik lapisan salju.
Dalam adegan ini, Alpha diperlihatkan melakukan lompatan semata-mata untuk
terlihat dramatis, bukan untuk menyelamatkan Keda. Pada akhirnya, Keda berhasil
selamat dengan usahanya sendiri.
06 Costume Design
Kostum
dalam film ini masih bermasalah. Kita mungkin tidak tahu secara pasti tentang
desain busana yang dikenakan oleh masyarakat di zaman es. Namun, sebuah film
bukanlah buku sejarah. Karena kisah dalam film ini terjadi 20.000 tahun yang
lalu, kostum para pemain harus terlihat atau merepresentasikan nuansa 20.000
tahun yang lalu. Pakaian yang dikenakan oleh para karakter dalam film ini
terlihat terlalu “modern” dan “modis”. Pakaian mereka kurang terkesan
“prasejarah”. Jika mengamati pola, terdapat sebuah film berjudul 10,000 BC karya sutradara Roland
Emmerich. Pakaian yang digunakan oleh suku pemburu mammoth dalam film tersebut
terlihat lebih “kuno” dibandingkan dengan pakaian dalam Alpha. Bukannya menarik
orang-orang modern ke zaman es, film ini seperti menarik zaman es dan
mengisinya dengan orang-orang modern. Pakaian-pakaian dalam Alpha terlihat baik
desainnya, rapih jahitannya, sangat baik untuk sesi pemotretan model produk
sponsor, tetapi tida sesuai dengan nuansa prasejarah yang memang ingin
disajikan oleh film ini.
07 Background/Set Match
Latar
belakang dalam film ini sudah baik. Alpha tidak hanya menggunakan latar
belakang komputer, tetapi juga menggunakan latar belakang sungguhan yang sudah
dipilih dengan baik.
08 Special and/or Practical Effects
Nilai
jual film ini, kesannya, bertumpu pada efek visualnya. Maka tidak mengherankan
jika efek visual film ini secara umum sudah baik. Meski demikian, kita tidak
bisa menyamakan skala film ini dengan film-film berteknologi photo-realistic
CGI dari Disney (yang dirilis dalam rumpun waktu yang berdekatan) seperti The Jungle Book 2016 dan The Lion King 2019.
09 Audience Approval
Alpha
mendapatkan tanggapan yang beragam dari kalangan penonton. Sejak dirilis, film
ini tidak begitu populer. Penonton yang menyaksikannya memang tidak memberikan
hujatan yang berlebihan, tetapi mereka juga tidak memberikan pujian yang
berbunga-bunga. Kesimpulannya, penonton secara umum menganggap Alpha sebagai
film yang “biasa saja”—tidak jelek, tetapi juga tidak benar-benar spektakuler.
Terlebih lagi jika film ini fokus menjual efek visual, film ini tayang di saat
yang salah karena penonton 2010 ke atas sudah terbiasa dengan efek visual CGI
yang memukau.
Platform |
Score |
IMDb |
6.7/10 |
Rotten Tomatoes |
71% |
Metacritic |
6.6/10 |
Cinemascore |
- |
Google User |
81% |
10 Intentional
Match
Film
ini tidaklah gagal total dan mendapatkan respons yang positif dari kalangan
kritikus. Tentunya para pencipta sebuah karya ingin agar karya tersebut
diterima baik oleh masyarakat. Maka, Alpha tidak bisa dinilai sebagai sebuah
film yang sepenuhnya gagal memenuhi ekspektasi dan visi penciptanya. Namun,
film ini belum berhasil memenuhi visi penciptanya dari segi artistik.
Janji-janji konsep kisah petualangan dan survival zaman prasejarah yang ingin
ditekankan oleh film ini belum berhasil dipenuhi. Kegagalan ini dapat dilihat
dari permasalahan Logika, Konsistensi, Pemilihan Aktor, dan yang tidak kalah
pentingnya adalah Kostum. Empat poin yang sangat penting itu seharusnya lebih
diperhatikan sehingga Alpha benar-benar menarik penonton ke zaman prasejarah.
Terdapat perbedaan antara “zaman prasejarah” dan “bertema prasejarah”. Tugas
Alpha bukan sebatas menghadirkan sebuah atraksi bertema prasejarah, tetapi
harus mereka ulang zaman prasejarah sehingga penonton dapat yakin jika yang
mereka tonton dapat sungguh-sungguh terjadi 20.000 tahun yang lalu. Pemilihan
lokasi nyata sudah membantu menguatkan nuansa “real” dari film ini, tetapi
tetap saja berbagai latar belakang dan objek CGI yang ditampilkan justru
menekankan nuansa “canggih dan modern”, seperti rekaman-rekaman Ultra HD yang
ditangkap menggunakan drone dan umum diunggah ke YouTube.
Bukti
lain bahwa Alpha belum berhasil memenuhi visi penciptanya dari segi artistik
adalah adanya dua versi film Alpha yang berbeda: Theatrical Cut dan Director’s
Cut. Versi Director’s tidaklah jauh berbeda dari versi Theatrical, tidak
seperti versi-versi Extended atau Director’s Cut film-film besar pada umumnya.
Versi Director’s Cut menyajikan alur cerita yang lebih konsisten. Namun,
Director’s Cut tidak dimulai dengan adegan yang spektakuler karena adegan
terjangan bison baru terjadi lebih dari 10 menit kemudian. Versi Theatrical
memajukan adegan bison menjadi adegan pembuka—asumsinya agar penonton terpikat
sejak awal. Hal ini memunculkan asumsi bahwa sutradara sebetulnya tidak benar-benar
menginginkan Theatrical Cut sebagai versi resminya karena memang versi
Director’s Cut lebih unggul.
ADDITIONAL CONSIDERATIONS
[Lima poin tambahan ini bisa menambah dan/atau mengurangi
sepuluh poin sebelumnya. Jika poin kosong, maka tidak menambah maupun
mengurangi 10 poin sebelumnya. Bagian ini adalah pertimbangan tambahan
Skywalker, maka ditambah atau dikuranginya poin pada bagian ini adalah hak
prerogatif Skywalker, meskipun dengan pertimbangan yang sangat matang]
01 Skywalker’s Schemata
Saya
harus menghela napas panjang ketika menulis bagian ini. Untuk membuat review
filmnya, saya menontong ulang Alpha sampai dua kali (Theatrical Cut dan
Director’s Cut), dan saya baru menuliskan poin Schemata ini sekitar 2 minggu
setelah menonton ulang filmnya. Bagian-bagian penting seperti Story Logic dan
Story Consistency saya usahakan sudah selesai segera setelah filmnya selesai
saya tonton atau setelah selesai mendapatkan semua informasi pendukung yang
penting—karena kalau ada jarak lebih dari dua hari saja, saya bisa lupa dan
terpaksa menonton ulang. Bagian lainnya, seperti Schemata, bisa menyusul. Alpha
adalah film pertama yang saya review setelah saya memutuskan untuk bekerja
penuh waktu. Karena semua kontrak kreatif saya sudah habis dan Google AdSense terlalu
pelit untuk menyuntik dana kepada Blog yang saya kelola, tentunya saya tidak
punya pilihan lain selain bekerja penuh waktu. Dampaknya, saya jadi tidak punya
banyak waktu untuk membuat review. Satu review yang saya buat benar-benar makan
waktu, tidak asal review jadi. Tidak jarang saya harus menonton ulang, menonton
versi yang berbeda, menonton ulang dengan komentar sutradara, menonton beberapa
dokumenter, wawancara, dan lain sebagainya “hanya” untuk membuat sebongkah
review yang sayangnya sangat minim apresiasi semacam ini.
Saya
menulis poin Schemata ini ketika saya sedang lelah dan gelisah. Untungnya
bagian Logic dan Consistency sudah selesai lebih dulu dan poin Schemata adalah
sebuah kolom tempat saya bicara semau saya—meski sebisa mungkin bermakna dan
tidak asal-asalan. Anyway, saya masih ingat ketika saya pertama kali menonton
Alpha. Saya benar-benar tidak menyukai film ini. Ketika saya menonton ulang,
meski di momen yang berat bagi saya, entah kenapa film Alpha terliat jauh lebih
baik. Ketika menggali informasi untuk menulis review-nya, barulah saya tahu
kalau versi yang terakhir saya tonton adalah Director’s Cut. Saya merasa heran
karena ubahan yang “kecil” dalam Director’s Cut bisa membawa dampak yang besar.
Alpha adalah sebuah film yang “kosong”. Film ini terlihat ingin memamerkan efek
visualnya tanpa memberikan narasi yang benar-benar kompleks—atau bahkan masuk
akal! Saya mendapat lebih banyak inspirasi dan saran kebijaksanaan dari animasi
Ice Age daripada Alpha. Namun versi Director’s Cut film ini
setidaknya memberikan narasi yang lebih jelas dalam hal struktur dan adegan
aksi terbesarnya diperlihatkan secara utuh. Anggaplah Alpha sebagai film
hiburan ringan di saat santai sambil minum kopi, jangan berharap lebih. Alpha is an okay movie, but I am talking
about the Director’s Cut, not the Theatrical Cut. If you really want to watch
this movie, go pick the Director’s Cut as it is clearer, more consistent, and
shorter.
02 Awards
Alpha
tidak dinominasikan
ataupun memenangkan
penghargaan yang penting untuk disebutkan.
03 Financial
Dari dana
sebesar $51 juta, Alpha berhasil menjual tiket sebesar $99 juta dan menjual DVD
hingga lebih dari $6 juta. Dilihat dari skalanya, Alpha terbilang “lebih kecil”
(The Jungle Book (2016) dibuat dengan
dana sebesar $175+ juta, bahkan film 10,000
BC yang dirilis tahun 2008 menghabiskan dana sebesar $105 juta). Maka
dengan angka penjualan yang diraihnya, Alpha tidaklah sepenuhnya gagal, meski
tidak sepenuhnya sukses juga. Dengan berbagai penekanan pada aspek visual film
ini, Alpha seharusnya bisa mendapatkan lebih banyak keuntungan dari yang sudah
didapatkan. Permasalahan marketing juga memiliki potensi memengaruhi
penghasilan film ini. Alpha beberapa kali ditunda perilisannya (mulanya
September 2017) hingga akhirnya dirilis pada bulan Agustus 2018. Dalam industri
perfilman Hollywood, bulan Agustus adalah salah satu bulan yang dihindari dan masuk
dalam kategori Dump Months—bulan buangan, di mana sebelumnya terdapat bulan
dengan animo masyarakat yang besar (bulan Juli di Amerika dalah bulan
kemerdekaan).
Alpha (2018) Theatrical Performance |
||||||||||||||
Domestic Box Office |
$35,851,379 |
|||||||||||||
International Box Office |
$63,773,494 |
|||||||||||||
Worldwide Box Office |
$99,624,873 |
|||||||||||||
Home Market
Performance |
||||||||||||||
Est. Domestic DVD Sales |
$5,079,841 |
|||||||||||||
Est. Domestic Blu-ray Sales |
$1,625,965 |
|||||||||||||
Total Est. Domestic Video Sales |
$6,705,806 |
|||||||||||||
|
04 Critics
Mayoritas
kritikus film memberikan tanggapan yang positif untuk film ini.
05 Longevity
[Pending—karya
masih berusia di bawah 10 tahun]
Final Score
Skor
Asli : 6.5
Skor
Tambahan : -
Skor
Akhir : 6.5/10
***
Spesifikasi Optical Disc
[Cakram Film DVD/VCD/Blu-ray Disc]
Judul : Alpha
Rilis : November 2018
Format : Blu-ray Disc [||]
Kode
Warna : A
Upscaling : Support Player-HDMI Upscaling [YES||NO]
[1080/60/50/24p]
Fitur : Plus Director’s Cut, behind
the scenes
Support : Windows 98-10 [VLC Media Player],
DVD Player, HD DVD Player [termasuk X-Box 360], Blu-ray Player [termasuk PS 3 dan 4], 4K UHD Blu-ray Player [termasuk PS 5].
Keterangan Support:
[Support VCD, DVD, Kecuali Blu-ray dan 4K]
[Support VCD, DVD,
Termasuk Blu-ray, Kecuali 4K]
[Support Semua
Termasuk 4K]
STREAMING
Amazon VOD: |
|
Google Play: |
|
Vudu: |
***
Edisi Review Singkat
Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar
penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa
untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Karena menggunakan
standar yang baku, edisi review Skywalker akan jauh lebih pendek dari review
Nabil Bakri yang lainnya dan akan lebih objektif.
Edisi Review Singkat+PLUS
Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar
penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa
untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Apabila terdapat tanda
Review Singkat+PLUS di
bawah judul, maka berdasarkan keputusan per Juli 2021 menandakan artikel
tersebut berjumlah lebih dari 3.500 kata.
Skywalker Hunter adalah alias
dari Nabil Bakri
Keterangan Box Office dan penjualan DVD disediakan oleh The Numbers
©2018/Columbia Pictures/Alpha/All Rights Reserved.
©Nabil Bakri Platinum.
Teks ini dipublikasikan dalam Nabil Bakri Platinum [https://nabilbakri.blogspot.com/] yang diverifikasi Google dan dilindungi oleh DMCA.
Nabil Bakri Platinum tidak bertanggung jawab atas konten dari
link eksternal yang ada di dalam teks ini—termasuk ketersediaan konten video
atau film yang dapat berubah sewaktu-waktu di luar kendali Nabil Bakri
Platinum.