(C) Disney/Disney+/2021/all rights reserved. |
Review Raya and the Last Dragon (2021) Bertualang Menyelamatkan Dunia Bersama Seekor Naga
Oleh Nabil BakriSkywalker Hunter
Review berikut menggunakan gambar/foto milik pemegang hak
cipta yang dilindungi doktrin fair use. The following review utilizes
copyrighted pictures under the doctrine of fair use.
Genre : Fantasi—Petualangan
[Full CGI Animation]
Rilis : 3 Maret 2021
Episode : -
Sinopsis
Dahulu kala, bumi dilanda kejahatan besar bernama Druun yang merupakan roh jahat yang tercipta dari pertikaian antar manusia. Kemunculan Druun mengusik keberlangsungan hidup warga Kumandra, sebuah wilayah gabungan beberapa suku yang berbeda dan dipisahkan oleh sungai yang membentuk seekor naga. Druun senantiasa berbuat kerusakan dengan mengubah semua manusia dan para naga menjadi patung. Untuk menghentikan Druun, naga yang bernama Sisu datang membawa sebuah bola ajaib yang menangkal para Druun. Setelah keadaan Kumandra kembali aman, para manusia bukannya berdamai malah saling serang berebut mendapatkan bola ajaib tersebut. Pertikaian itu memecah masyarakat Kumandra menjadi suku yang saling bermusuhan yakni Fang, Spine, Talon, Tail, dan Heart. Bola ajaib itu akhirnya ada di tangan klan Heart. Pemimpin Heart, Kepala Suku Benja yang juga merupakan ayah Raya, berniat mengundang klan/suku lain untuk berdamai. Ia yakin bahwa Kumandra bisa disatukan lagi.
(C) Disney/Disney+/2021/all rights reserved. |
Ketika
klan lain datang ke Heart, Raya berteman dengan puteri klan Fang yang bernama
Namaari. Puteri itu bersikap baik dan mereka berdua bercengkerama layaknya
teman baik. Merasa mendapatkan sahabat, Raya begitu saja percaya kepada Namaari
dan menunjukkan lokasi batu ajaib kepadanya. Ternyata, kebaikan Namaari hanyalah
sandiwara supaya klan Fang bisa memiliki batu itu. Keributan pun terjadi dan
batu ajaib itu terpecah. Masing-masing klan mengabil satu bagian. Pecahnya batu
ajaib Sisu membuat keajaiban naga luntur sehingga para Druun dapat muncul
kembali dan mengubah orang-orang menjadi batu—termasuk ayah Raya. Kepala Suku
Benja tetap yakin warga Kumandra akan bersatu lagi dan Raya akan mewujudkannya.
Enam tahun berselang, Raya mencuri peta rahasia dan melakukan ritual yang
membangkitkan naga Sisu. Naga itu kemudian menjelaskan bahwa batu ajaib itu
sebenarnya bukan ciptaannya, melainkan ciptaan saudara-saudaranya.
Masing-masing pecahan batu ajaib menyimpan kekuatan sihir saudara Sisu. Untuk
menghentikan Druun, Raya dan Sisu harus mengumpulkan semua pecahan batu ajaib
itu. Namun perjalanan Raya tidak semudah yang diduga karena Namaari tidak akan
membiarkan Raya mendapatkan semua serpihan batu ajaib.
(C) Disney/Disney+/2021/all rights reserved. |
Dalam
perjalanannya, Raya bertemu dengan Boun, seorang bocah pemilik restoran
terapung yang ditinggal orangtuanya karena serangan Druun. Raya membayar Boun
untuk melayarkan kapalnya guna membantunya kabur dari kejaran Namaari. Hubungan
bisnis itu dengan cepat berubah menjadi hubungan kerja tim dalam misi yang sama
karena Boun juga ingin mengembalikan orangtuanya. Selain Boun, Raya juga
bertemu dengan seorang bayi yang pandai mencuri. Ia adalah Little Noi yang
terlantar bersama tiga ekor monyet yang senantiasa membantunya menipu dan
merampok orang. Raya menawarkan “pekerjaan yang halal” bagi Noi dengan membantu
Raya mengambil serpihan batu ajaib. Anggota terakhir tim Raya adalah Tong,
seorang ksatria klan Spine yang menjaga serpihan batu ajaib. Tong telah
kehilangan segalanya akibat serangan Druun, jadi ia memutuskan untuk turut
membantu Raya dan Sisu. Kini mereka harus berjuang melawan atau menghindari
Namaari dan mengambil serpihan terakhir dari tangan Virana, pemimpin klan Fang
yang merupakan ibu Namaari dan bersikukuh takkan membiarkan serpihan miliknya
jatuh ke tangan klan lain.
(C) Disney/Disney+/2021/all rights reserved. |
01 Story Logic
Raya
and the Last Dragon merupakan sebuah film Fantasi—Petualangan. Dilihat dari
konsepnya, pokok cerita film ini sudah sangat pas dengan genrenya. Berbagai
unsur Fantasi dan Petualangan sudah ada dalam film ini. Hanya saja, unsur-unsur
yang sudah ada ini tidak disusun untuk membentuk alur cerita yang masuk akal
sesuai genrenya. Keberadaan naga, arwah jahat yang mengubah siapa saja menjadi
batu, dan kekuatan sihir pada umumnya adalah hal yang tidak masuk akal, tetapi
masuk akal dalam genre Fantasi. Meski demikian, hubungan sebab-akibat serta
respons karakter terhadap sebuah situasi/kejadian mestinya tetap masuk akal.
Bagian inilah yang hilang dari Raya and the Last Dragon. Bagaimana sebenarnya
Druun terbentuk? Dikisahkan bahwa Druun adalah akibat dari perbuatan jahat
manusia. Namun imbasnya bukan hanya mencelakai manusia, tetapi juga kaum naga.
Lantas, bagaimana hubungan antar naga dengan manusia sebelum Druun muncul?
Kenapa naga rela berkorban? Kenapa Druun juga menyerang naga dan bukannya fokus
menyerang manusia? Bukankah naga memiliki kekuatan sihir? Menurut cerita, Druun
takut kepada air, namun para naga bisa dengan mudah dikalahkan padahal ada naga
yang bisa mendatangkan hujan. Lantas, kenapa Druun takut dengan air? Hal
semacam ini perlu dijelaskan karena dunia Fantasi tetap memerlukan aturan.
Logika dalam Fantasi bisa berbeda dengan logika di dunia nyata dengan catatan
si penulis harus membuat aturan logika sendiri. Misalnya, kenapa Aslan bisa
bangkit lagi setelah Jadis membunuhnya? CS Lewis perlu menjelaskan
aturan-aturan Deep Magic di Narnia
untuk menjelaskan logika yang berlaku di negeri Narnia. Hal ini tidak dijumpai
dalam Raya and the Last Dragon.
(C) Disney/Disney+/2021/all rights reserved. |
Selain
logika yang mengikat susunan dunia Fantasi Raya, ada detil-detil lain yang juga
tidak masuk akal. Misalnya, bagaimana seorang bocah 10 tahun bisa menjalankan
bisnis restoran terapung dan bagaimana seorang bayi menjadi ketua perampok.
Jika dalam dunia Fantasi ini logikanya memang wajar ada anak kecil yang begitu
hebat, mestinya bocah dan bayi ini bukan satu-satunya. Gampangnya, kalau kedua
hal ini bisa dianggap wajar, ke mana bayi perampok lainnya? Bayi yang cerdas
bahkan bisa bicara adalah hal yang tidak logis. Namun dalam film Boss Baby, hal tersebut menjadi logis
karena filmnya menjelaskan bahwa dalam dunia film tersebut bayi dibagi menjadi
beberapa kelompok yang berbeda dan memang ada bayi yang bisa bicara dan bekerja
layaknya orang dewasa—bahkan ada susu formula khusus yang membuat mereka tetap
mampu beraktivitas seperti orang dewasa. Logika-logika yang tampaknya sederhana
ini sebetulnya sangat penting karena akan mengikat Logika ceritanya secara
keseluruhan. Cara para kepala suku bersikap juga tidak masuk akal, apalagi
sikap Virana menjelang akhir film.
(C) Disney/Disney+/2021/all rights reserved. |
02 Story Consistency
Berkali-kali
sudah disampaikan bahwa jika logika ceritanya tak sampai, alurnya seringkali
akan tidak konsisten. Raya and the Lost Dragon memiliki banyak konsep menarik
yang asal dijejalkan ke dalam satu film. Pertama, mengenai mitologi dunia Raya.
Dinamika kehidupan antara manusia dan makhluk ajaib dalam film ini tidak digali
dengan baik. Ke dua, persoalan perseteruan antar suku dalam wilayah Kumandra.
Raya and the Last Dragon seperti ingin menceritakan kisah kerajaan yang runtuh
karena masing-masing bersikap egois—seperti dalam film Brave, dan konsep ini perlu satu film Brave yang utuh untuk diceritakan. Selain itu, ada pula poin narasi
misi mencari sesuatu yang sangat penting—seperti dalam film Moana, dan konsep ini perlu satu film Moana yang utuh untuk diceritakan. Kalau
kita lihat, Brave tidak menceritakan
tentang misi pencarian seperti Moana
dan Moana tidak menceritakan tentang
perpecahan antar suku seperti dalam Brave.
Itu karena poin-poin sepenting dan serumit ini perlu digali secara mendalam dan
terfokus supaya masalah yang disajikan di awal bisa dijawab dengan proses yang
konsisten. Bahkan film yang dikritik negatif yakni Sinbad Legend of the Seven Seas, memiliki alur cerita yang lebih
konsisten ketimbang Raya and the Last Dragon. Dalam Sinbad, perjalanan menuju Tartarus adalah inti dari ceritanya,
sehingga perjalanan ini penuh dengan rintangan dan makan porsi paling lama
dalam film. Dalam Raya and the Last Dragon, misi pencarian serpihan batu ajaib
seperti tidak begitu penting karena dilakukan tergesa-gesa dan tanpa ada
rintangan yang berarti—lebih mirip Paddle
Pop Kombatei saat Paddle Pop mencari beragam es krim untuk mengalahkan
Shadow Master. Hal ini akhirnya merusak tatanan logika karena batu yang begitu
penting menyangkut nyawa umat manusia ternyata tidak disimpan dengan baik dan
terlalu mudah untuk dicuri. Poin tidak logis muncul lagi, kalau batu itu
terlalu mudah untuk dicuri, kenapa sebelum Raya tidak ada yang mencuri terlebih
dulu dan kenapa Namaari tidak lebih dulu melakukannya. Dalam Sinbad Legend of the Seven Seas, benda
pusaka utamanya adalah Buku Perdamaian [The Book of Peace]. Buku ini dijaga
ketat oleh pengawal kerajaan, bahkan oleh Pangeran sendiri. Jadi, tidak
sembarang orang bisa mencurinya. Bahkan dalam film itu, pencuri buku tersebut
adalah Eris yang merupakan Dewi Kekacauan yang bisa menghilang dan berubah
bentuk sesuka hati. Jika dibandingkan dengan film-film sekelasanya yang
memiliki unsur serupa [contoh yang disebutkan dalam poin ini], jelas sekali
Raya and the Last Dragon tidak konsisten alur ceritanya.
(C) Disney/Disney+/2021/all rights reserved. |
03 Casting Choice and Acting
Tidak ada
keluhan dalam pemilihan pengisi suara.
04 Music Match
Musik
yang diciptakan dan dipilih untuk Raya sebetulnya tidak jelek. Namun review ini
menimbang tidak hanya kecocokan musik dengan filmnya, tapi juga melihat skala
filmnya. Raya ini bukan sembarang animasi, melainkan animasi Disney yang
disandingkan dengan animasi klasik yang tradisinya sudah mendunia sejak 1937.
Musik adalah bagian yang lebih dari sekadar vital untuk animasi Disney yang
masuk jajaran daftar resmi animasi Disney [dibuat langsung oleh divisi animasi
Disney, bukan oleh anak perusahaan atau PIXAR]. Musik dalam Raya and the Last
Dragon tidak bermasalah, namun tidak ada yang istimewa atau stands-out. Ini
merupakan kesalahan fatal bagi sebuah animasi Disney dengan sejarah panjang dan
dana fantastis.
05 Cinematography Match
Tidak
ada keluhan dalam poin sinematografi.
(C) Disney/Disney+/2021/2013/all rights reserved. |
06 Costume Design [Character Design for Animation]
Raya
and the Last Dragon mengalami masalah dalam desain karakter. Sebagaimana
dipelajari dalam film Sleeping Beauty
[1959] desain karakter harus cocok satu sama lain, dengan nuansa cerita, dan
dengan background. Sleeping Beauty
yang mengambil nuansa Gothic meniru gaya lukisan abad pertengahan dalam hal
detil gambar. Kemudian, desain karakter disesuaikan dengan detil tersebut. Jadi
kalau dilihat, karakter dalam film Sleeping
Beauty sama bagusnya dengan karakter dalam Cinderella, namun jika keduanya disatukan akan tidak cocok. Karakter Cinderella
tidak cocok dimasukkan dalam background Sleeping
Beauty, begitu pula sebaliknya. Dalam Raya and the Last Dragon, terdapat
beberapa gaya animasi yang dicampur. Misalnya, Raya memiliki tampilan fisik
yang lebih nyata dan lebih serius, namun Sisu memiliki tampilan fisik yang
lebih “imut” dan akan lebih cocok menjadi karakter di film Frozen. Karakter Tong juga tidak cocok berada di film ini karenaa
desainnya mirip dengan karakter di film Tangled
padahal dari segi gaya animasi saja sudah berbeda. Dalam sejarah Disney,
terlalu banyak perbedaan konsep terbukti membawa hasil yang mengecewakan—misalnya
dalam kasus Alice in Wonderland yang
mana Walt Disney sendiri kecewa dengan hasil akhirnya. Masing-masing penaggung
jawab adegan dalam film itu “bersaing” menampilkan adegan paling konyol dan
stands-out sehingga semua berlomba untuk stands-out dan terlalu ramai.
Akibatnya, tiap segmen kurang mampu menyatu dengan baik.
(C) Disney/Disney+/2021/2010/all rights reserved. |
07 Background/Set Match
Meskipun
karakternya banyak mengalami permasalahan, namun desain background sudah lebih
konsisten sehingga tidak ada masalah yang perlu diributkan.
08 Special and/or Practical Effects
Tidak
ada keluhan dalam penggunaan efek komputer.
09 Audience Approval
Penonton
memberikan respons netral yang cenderung negatif. Mayoritas memuji hasil akhir
teknologi animasinya [hasil rendering, kehalusan gerakan, warna, dan lain-lain]
namun mengkritik negatif narasinya.
10 Intentional Match
Film
ini ingin menangkap nuansa budaya Asia Tenggara. Jika melihat beberapa bagian
desain animasi serta konsep-konsepnya secara terpisah, mungkin tujuan ini bisa
kelihatan. Namun pada hasil akhirnya, tujuan ini tidak tersampaikan [dengan
baik]. Jika filmnya sendiri “meniru” Brave
dan Moana, lantas apa kekhasan Asia
Tenggara yang bisa benar-benar disajikan oleh film ini?
(C) Disney/Disney+/2021/all rights reserved. |
ADDITIONAL CONSIDERATIONS
[Lima poin tambahan ini bisa menambah dan/atau mengurangi
sepuluh poin sebelumnya. Jika poin kosong, maka tidak menambah maupun
mengurangi 10 poin sebelumnya. Bagian ini adalah pertimbangan tambahan
Skywalker, maka ditambah atau dikuranginya poin pada bagian ini adalah hak
prerogatif Skywalker, meskipun dengan pertimbangan yang sangat matang]
01 Skywalker’s Schemata
Tajuk
berita di salah satu media Indonesia berbunyi: “Ada Suara Gamelan di Film
Animasi Raya and the Last Dragon”. Respons
saya: Ya terus kenapa kalau ada suara gamelan? Aduh, c’mon kita jangan nunjukin amat Inferiority
Complex seperti ini. Film The Year of
Living Dangerously malah dibintangi oleh aktor Mel Gibson dan Sigourney
Weaver—film ini bercerita tentang pemerintahan Ir. Soekarno dan dibuka dengan
sebuah pertunjukan wayang! Lantas, mana suaramu tentang film itu? Padahal
filmnya sudah dirilis tahun 1982 sejak era Soeharto! Jangan norak, lah! Biasa
saja!
The Year of Living Dangerously--masa-masa mencekam Jakarta era Presiden Soekarno (C) 1982 Warner Bros./PT Vision Interprima Pictures/all rights reserved. |
Saya
sudah kesal dengan tuntutan diversity,
representasi, dan lain sebagainya dalam dunia perfilman—sampai saya buat essay
panjang soal ini DI SINI. Tidak ada aturan yang
mewajibkan Hollywood atau Amerika untuk membuat film yang karakternya beragam
dan menggambarkan kebudayaan tertentu. Berhentilah bersikap atas nama Social
Justice dan menjadi Social Justice Warrior. Omong Kosong. Representasi itu tidak
penting selama ceritanya tidak bagus. Hollywood mestinya jangan memikirkan
representasi sebagai tolok ukur utama. Tolok ukur utama sebuah film seharusnya
narasinya, jalan ceritanya. Penonton seharusnya tidak usah peduli representasi,
pedulikan narasinya: bagus atau tidak ceritanya. Memang apa sih yang mau
dicapai dari representasi? Daripada menuntut negara lain membuatkan film
tentang kita, kenapa kita tidak buat sendiri saja? Berkali-kali terjadi,
mengedepankan representasi biasanya mengorbankan narasi. Hal serupa berlaku
untuk pengisi suara. Apa pentingnya sih keberagaman pengisi suaranya? Seorang
pengisi suara seharusnya dinilai dari kemampuan akting suaranya, bukan dari
rasnya. Usaha kita untuk menghapus rasisme malah menjadikan kita sendiri rasis:
orang dipekerjakan bukan karena kemampuannya, tapi karena rasnya. Contoh paling
terasa adalah film The Lion King.
Animasinya diisi orang-orang kulit putih, tapi bukan itu intinya. Intinya
adalah mereka ini pandai berakting suara. Mereka tidak dipilih berdasarkan
warna kulitnya. Terbukti, pengisi suara Mufasa pun orang kulit hitam. Dalam Lion King 2019, Disney secara sadar dan
sengaja memilih aktor kulit hitam untuk memeriahkan The Lion King versi live-action jadi-jadian yang tetap
kartun itu. Hasilnya mengecewakan. Para pengisi suara dalam Raya adalah
keturunan-keturunan Asia. Tidak ada masalah dalam pemilihannya, namun juga
tidak ada yang istimewa dari pengisi suaranya. Saya makin geram begitu membaca
artikel dari Lisa Respers di CNN, Cynthia Silva di NBC News, Jess Lee di
Digital Spy, serta Beatrice Loayza di The New York Times yang mengabarkan bahwa
pengisi suara “keturunan” Asia masih saja dianggap “kurang” karena bukan orang
Asia Tenggara asli. For Christ sake,
mereka ini para Social Justice Warrior yang tidak akan pernah puas dan selalu
mencari-cari kekurangan yang mengada-ada.
Persetan dengan asal usul pengisi suaranya, asalkan aktingnya bagus dan iconic,
maka ya sudah tidak usah dipermasalahkan lagi. Namun bukan karena itu saya
tidak menyukai Raya and the Last Dragon. Saya tidak suka film ini karena alur
ceritanya terlalu biasa saja dan cenderung menjiplak Brave dan Moana, musiknya
terlalu biasa, desain karakternya tidak mumpuni, dan ceritanya tidak konsisten,
untuk ukuran sebuah animasi Disney.
(C) Disney/Disney+/2021/all rights reserved. |
02 Awards
Sampai
artikel ini dirilis, belum ada penghargaan yang penting untuk disebutkan.
03 Financial
Sampai
artikel ini dirilis, angka box-office Raya masih dihitung karena selain belum dirilis
di semua wilayah, filmnya juga terdampak COVID-19.
04 Critics
Film
ini mendapat respons netral cenderung positf dari kritikus film.
05 Longevity
[Pending—karya
masih berusia di bawah 10 tahun]
Final Score
Skor
Asli : 4
Skor
Tambahan : -
Skor
Akhir : 4/10
Spesifikasi DVD
Untuk
informasi lebih lanjut mengenai Spesifikasi DVD, kunjungi profil instagram
@skywalkerhunter95
***
Edisi Review Singkat
Edisi ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar
penilaian Skywalker Hunter Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa
untuk menilai sebuah karya film ataupun serial televisi. Karena menggunakan
standar yang baku, edisi review Skywalker akan jauh lebih pendek dari review
Nabil Bakri yang lainnya dan akan lebih objektif.