10 Sekuel Disney Terbaik

Oleh Nabil Bakri

[All pictures utilised in this post are promotional materials belong to the film studios [unless indicated with *], utilised within the corridors of fair use. Please review our copyright policy for details]


Di era 90an hingga 2000an, industri perfilman memiliki satu pasar yang basisnya sangat kuat selain bioskop yakni pasar film dalam format Home Video. Seperti yang kita ketahui, tidak semua film diciptakan untuk ditayangkan di bioskop. Di era 2010an ke atas, film yang tidak dirilis di bioskop akan dirilis lewat streaming/cyber seperti film-film Netflix Original atau film dalam Disney+. Sebenarnya skema seperti ini sama saja dengan era 80-an sampai 2000an, namun hanya berbeda formatnya saja yakni melalui DVD karena internet di masa itu [meskipun sudah ada] belum mampu digunakan untuk streaming film secara stabil. Dulu, orang hanya bisa menonton film di bioskop dan TV, jadi kalau ingin nonton ulang harus menunggu filmnya diputar ulang di bioskop atau ditayangkan di TV. Tidak semua orang mampu membeli dan memasang perangkat proyeksi film di rumahnya. Jadi, di masa lalu, film yang diciptakan memang dikhususkan untuk ditayangkan ke publik lewat bioskop [bahkan ada banyak bioskop XXX khusus untuk penonton dewasa]. Namun semua itu berubah di era 80an ketika kaset VHS menjadi populer di masyarakat. Sejak saat itu, untuk pertama kalinya penonton bisa menonton film apa saja yang ia mau dan kapan saja dengan membeli kasetnya. Karena pasar kaset VHS ini sangat besar, semakin banyak perusahaan dan pembuat film yang membuat film tidak untuk dirilis di bioskop, tapi langsung dijual dalam bentuk kaset atau disewakan. Skema yang sama menjadi semakin populer semenjak kemunculan DVD di tahun 1996 dan baru meredup di 2010an. Meredupnya pasar kaset dan DVD [termasuk Blu-ray dan Blu-ray 4K] bukan berarti skema yang sama hilang, tapi berubah format menjadi cyber/online [saya menghindari menggunakan kata digital karena DVD itu juga digital—Digital Versatile Disc, berbeda dengan kaset VHS yang analog alias non-digital]. Meskipun kini DVD masih banyak digunakan, namun skemanya sudah bergeser total dan menyasar ke pasar kolektor dan Videophile ketimbang penonton umum.

* picture by Nabil Bakri

Nah, di masa kejayaan film DVD ini [yang disebut sebagai direct-to-DVD alias langsung-ke-DVD], Disney tidak mau ketinggalan meraup keuntungan. Di era ini, studio Disney gencar membuat sekuel atau kelanjutan dari film-film klasik mereka yang langsung dijual dengan skema direct-to-DVD. Karena skema ini tidak dipakai untuk bioskop, ciri khas filmnya pasti tidak memiliki kualitas teknis yang sebagus film bioskop. Dari segi cerita mungkin filmnya tidak kalah menarik, tapi pasti dari segi teknis ada kekurangan atau yang dipangkas. Misalnya, desain karakter yang kelihatan tidak konsisten atau tidak sebagus film pertamanya, warna yang kurang tajam, gerakan karakter yang kurang halus, layar yang bergetar, suara yang kurang menggelegar, dan berbagai macam kekurangan teknis. Ini bisa dimaklumi karena film direct-to-DVD pasti dibuat dengan dana yang jauh lebih rendah dari film bioskop dan seringkali bintang film aslinya enggan untuk kembali membintangi sekuel direct-to-DVD—sebut saja Eddie Murphy yang mengisi suara Mushu di film Mulan tapi tidak lagi mengisi suaranya di film Mulan II. Sekuel Disney ini sebagian besar dikritik negatif karena sering kelihatan tidak niat dibuat dan hanya digunakan untuk mencari keuntungan. Perusahaan Disney sendiri tidak mau mengurusi film sekuel ini dan proses pembuatannya dilimpahkan ke divisi yang bernama DisneyToon yang tersebar di beberapa negara. Jadi, sekuel ini sebenarnya terkesan dianaktirikan dan tidak masuk dalam katalog film resmi Disney yang dibuat secara profesional oleh The Walt Disney Animation Studios [daftar resmi filmnya bisa di baca di sini: Daftar lengkap animasi Disney]. Dari sekian banyak sekuel direct-to-DVD Disney, berikut penulis pilihkan 10 yang terbaik.

10. Kronk's New Groove [2005]

Ini adalah kelanjutan film kocak The Emperor’s New Groove. Hanya saja, kali ini fokus ceritanya bukan lagi kepada Kuzco si raja tengil yang ingin membangun rumah liburan, tapi kepada Kronk si binaraga “dungu” mantan kaki tangan si jahat Yzma. Setelah Yzma dikalahkan di film pertama, Kronk mengevaluasi kehidupan pribadinya dan merasa telah mengecewakan ayahnya. Ketika mendapat kabar kalau ayahnya akan datang berkunjung, Kronk sangat panik dan berusaha membuat sandiwara seolah-olah dia telah menjadi pria yang sukses: punya rumah sendiri dan menjadi kepala keluarga yang baik. Padahal, kronk sudah me”wakaf”kan rumah mewah miliknya untuk yayasan panti jompo dan wanita yang dicintainya malah pergi meninggalkannya. Alhasil, Kronk kelabakan meminjam rumah dan meminta temannya untuk bersandiwara sebagai keluarganya. Film ini memang sama sekali tidak ada hubungannya dan rasanya agak aneh jika diberi judul The Emperor’s New Groove: Kronk’s New Groove karena ceritanya tidak lagi melanjutkan kisah sang Emperor di film pertamanya. Maka, film ini sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah spin-off ketimbang sebuah sekuel [sebagai contoh film Planes bukan lanjutan dari Cars, tapi ada di universe yang sama, jadi bisa saja ada banyak karakter yang sama tapi fokus ceritanya sudah berbeda]. Meskipun demikian, film ini tidak kalah kocak dengan pendahulunya dan tetap mempertahankan gaya penceritaan yang sama. Selain itu, kualitas teknik animasinya juga tergolong mumpuni.

9. Brother Bear 2 [2006]

Film Brother Bear yang ditayangkan di bioskop tahun 2003 adalah tanda “matinya” film animasi tradisional 2D [gambar tangan] yang di tahun 2004 dinyatakan benar-benar mati oleh film Home on the Range. Sejak pergantian millennium, film 2D semakin ditinggalkan penonton meskipun kualitasnya sangat bagus. Film sekelas Treasure Planet dan Brother Bear sampai merugi karena penonton millenial lebih tertarik menonton film Disney lainnya kerjasama PIXAR yakni Monsters, Inc dan Finding Nemo yang formatnya 3D [dibuat sepenuhnya dengan CGI komputer]. Kematian ini tidak hanya dirasakan oleh Disney tapi juga studio film lain pada umumnya. Rival terbesar Disney, DreamWorks, juga mengalami hal yang sama tatkala film berkualitas mereka yakni Spirit Stallion of the Cimarron, The Road to El Dorado, dan Sinbad Legend of the Seven Seas kalah saing dengan film DreamWorks lain yakni Shrek dan Madagascar. Akhirnya di tahun 2005 Disney ikut meninggalkan format 2D diawali dengan merilis Chicken Little. Meski demikian, pasar direct-to-DVD masih memiliki napas dan Disney memutuskan untuk merilis Brother Bear 2. Film ini merupakan lanjutan langsung dari Brother Bear di mana Kenai yang sudah berubah menjadi beruang secara permanen didatangi oleh seorang gadis bernama Nita. Gadis itu adalah teman istimewanya dulu semasa kecil dan saat masih menjadi manusia. Nita mendatangi Kenai karena leluhur tidak merestui pernikahannya dengan seorang pria adat karena masih ada hubungan masa lalu yang belum diselesaikan dengan Kenai. Ia dan Kenai harus sama-sama melakukan perjalanan untuk memutus ikatan masa lalu dan hidup di jalannya masing-masing. Namun seiring perjalanan, mereka menyadari bahwa perasaan masa lalu masih ada dan tidak bisa dimusnahkan. Film Brother Bear 2 ini bukanlah film yang fantastis dan tidak memalukan juga karena toh penyajian teknisnya tidak kalah dengan film aslinya. Namun, karena berada di situasi yang sulit [masa transisi ganda antara DVD ke streaming [sekaligus masa perang format antara HD DVD/XBOX dengan Blu-ray/PlayStation-3 yang kala itu membingungkan konsumen] dan 2D ke 3D—dan tidak menutup kemungkinan terdampak masa transisi CEO Disney dari Michael Eisner yang pro direct-to-DVD ke Bob Iger yang cenderung kontra atau tidak begitu berminat melanjutkan skema ini] film ini seperti menghilang dari radar dan tidak begitu diketahui masyarakat. Padahal, untuk ukuran sekuel Disney, film ini menjanjikan hiburan yang menarik.

8. Peter Pan in Retun to Neverland [2002]

Sebelumnya sudah dijelaskan kalau sekuel Disney ini selalu berskema direct-to-DVD. Namun memasuki millennium baru, Disney mencoba untuk sekaligus memasarkan sequel ini lewat bioskop. Hanya saja, tentu ada yang berbeda, yakni filmnya hanya ditayangkan di bioskop tertentu dan tayang di negara lain sebagai direct-to-DVD. Meskipun ditayangkan di bioskop, sekuel ini tetap “tidak diakui” oleh Disney dan tidak masuk dalam daftar katalog animasi Disney dan tetap dibuat oleh DisneyToon, bukan oleh induk perusahaannya. Dari sekian banyak sekuel Disney, ada beberapa yang tayang di bioskop yakni Peter Pan in Return to Neverland, The Jungle Book 2, dan Bambi 2. Meski kesemuanya dibuat dengan dana yang lebih kecil dan promosi yang lebih kecil ketimbang film utamanya, sekuel yang masuk bioskop sudah tentu dibuat dengan standar kualitas di atas rata-rata terutama dari segi teknis dan musik. Beberapa animator kondang Disney bahkan ada yang ikut serta dalam membuat sekuel “besar” ini. Kelanjutan Peter Pan sendiri sudah bergeser karena ceritanya berfokus pada Jane, putri dari Wendy yang dulu semasa kecil ikut terbang ke Neverland. Jane tidak percaya dengan cerita Peter Pan dan menganggapnya sebagai isapan jempol. Namun suatu hari Kapten Hook muncul dan menculik Jane karena mengira ia adalah Wendy. Sesampainya di Neverland, Peter menyelamatkan Jane dan berusaha keras meyakinkan Jane bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang indah dan cerita-cerita khayalan bukan berarti tidak berguna. Sebagaimana sudah dibahas tentang kualitas sekuel bioskop, kualitas teknik animasi film ini tidak kalah dengan animasi bioskop dan terutama lagu-lagu yang disajikan dinilai sangat bagus dan sesuai untuk film Peter Pan.

7. Lilo and Stitch 2: Stitch has a Glitch [2005]

Dalam film lanjutan Lilo and Stitch ini, Stitch yang merupakan alien eksperimen 626 buatan ilmuwan Jumba mendadak berubah sifatnya. Stitch yang dulu “nakal” dan sudah belajar untuk menjadi baik, kini kembali menjadi alien nakal dan bahkan melebihi kenakalannya waktu pertama kali terdampar di bumi. Menurut Jumba, ini terjadi karena eksperimen Stitch dulu belum sepenuhnya rampung sehingga Stitch masih belum sempurna. Alien ini diciptakan untuk menjadi senjata, dan tanpa penanganan yang tepat ia akan senantiasa gagal mengendalikan instingnya dan menjadi liar bahkan sampai melukai Lilo. Jumba, Lilo, dan teman-teman mereka pun berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkan Stitch. Dari segi teknik animasi, pengisi suara, serta soundtrack, sekuel ini tidaklah mengecewakan dan dengan apik mampu meneruskan cerita Lilo and Stitch tanpa mengacak-acak cerita aslinya, meskipun alur cerita sekuel ini sebenarnya “tidak terlalu penting” karena tidak mendorong alur cerita seri Lilo and Stich secara signifikan.

6. Lady and the Tramp 2: Scamp’s Adventure [2001]

Salah satu adegan paling romantis animasi klasik Disney justru bukan adegan dansa pangeran dan putri, melainkan adegan dua ekor anjing makan spaghetti dalam film Lady and the Tramp. Nuansa klasik dalam film ini telah dihilangkan dalam sekuelnya yakni Scamp’s Adventure. Bahkan, sekuelnya ini menjadikan adegan makan spaghetti yang romantis sebagai bahan lelucon. Meski demikian, perubahan karakter atau nuansa filmnya ini sebenarnya mengikuti perkembangan zaman dan disesuaikan dengan penonton era 2000an. Terlebih lagi, fokus filmnya sudah bukan Lady dan Tramp lagi melainkan putra mereka yang bernama Scamp. Alkisah, Scamp merasa tidak betah tinggal di rumah mewah dan ingin hidup bebas bersama para anjing gelandangan. Scamp kemudian melarikan diri dan bergabung dengan kelompok gelandangan yang dipimpin oleh Buster. Ternyata, Buster adalah mantan sahabat Tramp yang kini menjadi musuhnya. Scamp harus senantiasa menutupi kenyataan bahwa Tramp adalah ayahnya. Ketika hal ini diketahui oleh Buster, ia berencana menjebak Scamp. Jika dibandingkan dengan film pertamanya, tentu saja teknik animasi sekuelnya tidak bisa menandingi keindahan desain karakter dan lukisan latar belakang film klasik Lady and the Tramp. Apalagi, film itu dulunya merupakan sebuah gebrakan dunia animasi karena merupakan animasi Disney pertama yang dirilis dalam format layar lebar/widescreen CinemaScope [layar persegi panjang, sebelumnya animasi Disney dan film pada umumnya menggunakan layar format 4:3 yang bentuknya kotak, baru di kemudian hari semakin populer layar lebar 16:9 yang betunya persegi panjang]. Meski demikian, Lady and the Tramp 2 tetaplah menarik untuk disaksikan karena ceritanya dirangkai meneruskan film pertamanya dan lagu-lagu yang dihadirkan juga memiliki kualitas yang bagus.

5. The Jungle Book 2 [2003]

Selain Peter Pan in Return to Neverland, The Jungle Book 2 juga sempat ditayangkan di bioskop dan meraih sukses besar meskipun tidak disukai oleh kritikus. Dari segi teknik animasi, film ini memang kalah jauh dibandingkan film pertamanya jika dilihat dari anatomi karakter dan lukisan latar belakang plus pewarnaannya. Meski demikian, sekuel ini memiliki teknik yang jauh lebih konsisten ketimbang sekuel-sekuel Disney era 90an seperti Aladdin: The Retun of Jafar, Beauty and the Beast: The Enchanted Christmas, dan Beauty and the Beast: Belle’s Magical World yang kesemuanya memiliki teknik lukisan yang “berantakan” [misalnya anatomi yang tidak pas dan gerakan yang tidak halus/tidak smooth, juga warna yang kurang tajam dan kurang variatif]. Tidak hanya menjanjikan gaya animasi yang setia dengan film pertamanya, The Jungle Book 2 juga menjanjikan lagu-lagu baru dan lagu lawas yang “diupdate” serta yang paling penting: pengisi suara jempolan yang tidak bisa lagi diragukan kualitasnya. Ada John Goodman [pengisi suara Sully di Monsters, Inc] sebagai Balloo, John Rhys-Davies [akor pemeran Sallah dalam Indiana Jones dan Gimli dalam seri Lord of the Rings] sebagai Kepala Desa, Tony Jay [pengisi suara kondang dengan suara dalam yang khas, mengisi suara narator dalam Treasure Planet] sebagai Shere Khan, Mae Whitman [aktris pengisi suara Tinker Bell] sebagai Shanti, dan Haley Joel Osment [aktor cilik paling kondang di era awal 2000an yang sukses bermain dalam The Sixth Sense dan Artificial Intelligence] sebagai Mowgli. Ceritanya melanjutkan film pertamanya yang mengekplorasi perasaan kesepian Mowgli yang harus berpisah dari teman-temannya di hutan. Di sisi lain, Balloo juga rindu dengan Mowgli dan ternyata teman gajah kecil Mowgli juga rindu padanya. Ia pun membantu Balloo untuk menyelinap keluar hutan dari pengawasan Bagheera si Panther dan Hathi sang kolonel pasukan gajah untuk membawa Mowgli kembali ke hutan. Sayangnya, Balloo tidak tahu kalau Shere Khan sedang bersiap untuk membalaskan dendamnya.

4. Cinderella 3: A Twist in Time [2007]

Berbeda dengan film-film lain dalam daftar ini, Cinderella 3 merupakan film yang melanjutkan animasi paling penting dalam sejarah perkembangan animasi Disney yakni Cinderella yang dirilis tahun 1950. Film Cinderella sangat penting karena film ini memegang kendali atas nasib perusahaan Disney yang kala itu mengalami krisis keuangan pasca Perang Dunia II—jika Cinderella sukses, perusahaan akan bertahan, tapi jika gagal, kemungkinan perusahaan Disney akan gulung tikar. Untungnya Cinderella berhasil meraup keuntungan luar biasa sehingga tidak hanya menyelamatkan keuangan perusahaan Disney, tapi juga memungkinkan Walt Disney untuk mendirikan Disneyland. Sudah tentu film yang sangat penting secara historis haruslah memiliki sekuel yang kualitasnya seimbang. Sayangnya, sekuel Cinderella yakni Cinderella II: Dreams Come True sangatlah mengecewakan karena seolah dibuat “asal-asalan”. Bukan hanya teknik animasinya yang tidak begitu bagus, namun dari segi cerita juga tidak signifikan dan tidak ada kejelasan alur cerita karena isinya hanya beberapa cerita pendek yang digabung secara paksa menjadi sebuah film. Untungnya, sekuel berikutnya yang berjudul Cinderella 3: A Twist in Time mampu memberikan tontonan yang spektakuler. Filmnya bercerita tentang ibu tiri Cinderella yang mengetahui keberadaan Ibu Peri dan mengambil tongkat ajaibnya untuk membalikkan waktu ke masa lalu dan mencegah Cinderella mencoba sepatu kaca. Ia menyihir kaki Anastasia supaya muat dengan sepatu kaca dan menyihir pangeran untuk jatuh cinta pada Anastasia. Cinderella pun berusaha keras mengembalikan ingatan pangeran meski tanpa bantuan Ibu Peri yang telah disihir menjadi patung.

3. 101 Dalmatians 2: Patch’s London Adventure [2003]

Setelah Cruella ditangkap polisi dan Roger sukses besar berkat lagunya yang menyindir Cruella di akhir film 101 Dalmatians, Roger dan Anita memutuskan untuk pindah rumah ke pedesaan yang tenang. Keputusan ini tentu sangat menggembirakan bagi Pongo dan Perdita karena mereka bisa hidup tenang tanpa khawatir diganggu oleh Cruella. Namun keluarga anjing yang berjumlah 101 ini memiliki masalah sendiri di mana Patch, salah satu anak kandung Pongo dan Perdita, merasa “tersingkirkan” dengan hadirnya anak-anak anjing lain. Patch ingin tahu apakah dirinya istimewa atau hanya satu bagian dari 101 ekor anjing dalmatian. Karena terbawa pikirannya sendiri, Patch tertinggal sendirian di London ketika Pongo salah hitung dan tidak sadar kalau Patch masih ketinggalan di dalam rumah. Namun Patch yang berambisi untuk menunjukkan kehebatannya, justru bertualang di London bersama anjing bintang film terkenal Thunderbolt. Mereka berdua kemudian mendapati bahwa Cruella telah bebas dan menyusun rencana baru untuk menghabisi semua anak anjing dalmatian yang dulu pernah dia culik. Sekuel 101 Dalmatians ini sangatlah menarik karena langsung meneruskan cerita di film pertamanya dan menggunakan teknik animasi yang sejalan dengan film pertamanya. Meskipun tergolong setia dengan film aslinya, 101 Dalmatians II dengan apik membawa nuansa humor yang kontemporer ke dalam ceritanya sehingga mampu menghibur generasi masa kini sekalipun. Selain cerita dan teknik animasi yang berstandar tinggi, pengisi suara film ini juga sangatlah luar biasa karena mampu menangkap esensi tokoh pendahulunya.

2. Bambi II [2006]

Bambi II sebenarnya tidak tepat jika disebut sebagai sekuel karena film ini tidak melanjutkan cerita di film pertamanya melainkan menceritakan momen setelah ibu Bambi tewas dan sebelum beranjak dewasa. Dalam film Bambi pertama, begitu Bambi ditinggal oleh induknya, adegan dipotong langsung ketika Bambi sudah dewasa. Nah, Bambi II hadir untuk mengisi kekosongan waktu yang dipotong ini, menjadikannya film “di tengah-tengah”. Itulah sebabnya Bambi II lebih sering disebut sebagai Midquel ketimbang sekuel. Walau tidak melanjutkan cerita Bambi, film ini berhasil mengeksplorasi apa saja yang terjadi kepada Bambi selama ia diasuh oleh ayahnya. Film ini adalah jembatan yang sempurna dari masa ketika Bambi masih kecil hingga dewasa. Dalam Bambi II, setelah ibu Bambi ditembak pemburu, ia terpaksa diasuh oleh ayahnya The Great Prince of the Forest. Namun, Great Prince merasa kalau mengasuh anak bukanlah tugas pangeran melainkan tugas induk rusa. Maka ia minta bantuan temannya, Friend Owl, untuk mencarikan induk yang sesuai untuk Bambi. Sebelum Friend Owl menemukan induk baru, Great Prince tetap harus merawat Bambi. Ketika ikut melaksanakan tugas rutin, Bambi merasa dirinya telah mengecewakan ayahnya karena tidak bisa bersikap jantan. Film Bambi II adalah sebuah midquel menyentuh yang menitikberatkan kisah mengharukan hubungan ayah dan anak. Selain ceritanya benar-benar bisa melengkapi Bambi pertama, teknik animasinya juga tergolong luar biasa dan lebih halus dibandingkan kebanyakan sequel Disney lainnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan animator senior Disney yang ikut menggarap filmnya dan pengisi suara yang luar biasa: Sir Patrick Stewart [Profesor X dalam X-Men] sebagai Great Prince dan Alexander Gould [pengisi suara Nemo dalam Finding Nemo] sebagai Bambi. Soundtrack film ini pun sangat memukau ditambah performa penyanyi country Martina McBride membawakan lagu Through Your Eyes.

1. The Lion King 2: Simba's Pride [1998]



Inilah sekuel film Disney yang dibuat dengan konsep yang mengekor setia pada film aslinya, walau ada beberapa hal yang bisa dibilang “tidak nyambung” dengan The Lion King pertama. Meski demikian, The Lion King 2 tetaplah mampu menjadi sebuah follow up yang memuaskan penonton karena benar-benar meneruskan cerita di film pertamanya yakni menunjukkan ketika Simba sudah menjadi raja di Pride Rock. Dalam sekuel yang berjudul Simba’s Pride [sebetulnya diterjemahkan menjadi ‘Kawanan Simba’ alias kelompok singa yang dipimpin Simba, karena ‘pride’ adalah sebutan untuk kelompok singa—namun dalam DVD filmnya versi Indonesia diterjemahkan sebagai ‘Kebanggaan Simba’ karena ‘pride’ juga bisa berarti kebanggaan dan filmnya menceritakan Kiara, putri Simba, yang menjadi kebanggan buat Simba] ini, dikisahkan bahwa Simba memiliki putri bernama Kiara dan berusaha keras menjadi raja yang baik seperti Mufasa sekaligus ayah yang baik. Namun Simba menjadi terlalu protektif dan Kiara pun merasa dikekang. Ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke Outlands yang merupakan daerah kekuasaan Zira, singa jahat yang setia kepada Scar. Ternyata, Kiara bertemu dengan Kovu yang merupakan putera Zira. Sejak kecil mereka sudah diajari kalau kubu Prideland dan Outlands adalah musuh, namun ternyata mereka bisa bermain dengan akur. Masalahnya, keluarga mereka mengetahui hal ini dan memisahkan keduanya. Kedekatan Kovu dan Kiara memberi ide bagi Zira untuk merencanakan menghabisi nyawa Simba dengan membuat Kovu mendekati Kiara dan diterima di Prideland. Namun Kovu sadar bahwa cintanya kepada Kiara sangatlah besar dan akhirnya dihadapkan pada pilihan besar: Kiara atau Zira. Berbeda dari The Lion King yang mengambil cerita dari drama Hamlet karya Shakespeare, sekuelnya ini mengambil cerita Romeo and Juliet yang juga ditulis oleh Shakespeare. Meskipun ada beberapa pertanyaan krusial yang berseberangan dengan film pertamanya, misalnya dari mana Zira berasal dan siapa ayah Kovu, namun secara garis besar film ini mampu merajut sebuah cerita yang berkesinambungan dengan film pertamanya. Selain itu, lagu-lagu yang ditampilkan juga tidak kalah bagusnya. Film ini dibuka dengan lagu He Lives in You yang membangkitkan semangat dan kenangan Mufasa, kemudian ditutup dengan lagu Love will Find a Way yang memiliki esensi setara dengan Can You Feel the Love Tonight.

Nah, itu tadi 10 sekuel film Disney terbaik versi penulis berdasarkan pengamatan dan penilaian dari 15 poin Skywalker Hunter. Sekuel manakah yang menjadi favoritmu?

Baca Novel Terbit Tenggelam di Kwikku