PENTING: Artikel ini merupakan Arsip, dan mungkin tidak lagi mencerminkan keadaan terkini situs ini, termasuk visi, misi, dan citra umumnya. Semua artikel Arsip akan diatur penerbitannya ke tanggal 20 November 2010. Waktu sebenarnya mungkin berbeda.
Jurnal Nabil Bakri Platinum
Berlangganan Disney+
Oleh Nabil Bakri
Jurnal
ke-01, 6 Juni 2022
Perhatian: Jurnal/Log ini
merupakan opini pribadi. Nabil Bakri Platinum menghargai pendapat
masing-masing individu tanpa memaksakan pembaca untuk mengamini seluruh opini
yang disampaikan. Pembaca bisa jadi memiliki komentar, pendapat, pengalaman,
atau pengetahuan (schemata) yang berbeda dan penulis menghargainya. Maka,
pembaca tidak perlu menanggapi jurnal ini secara berlebihan. |
Sudah 5 tahun saya tidak ganti smartphone karena
smartphone yang saya beli di tahun 2017 masih berfungsi dengan baik di tahun
2022. Meski demikian, masalah-masalah mulai muncul—bukan dari segi performa
yang menurun, tetapi dari kapasitas penyimpanan internal yang tidak lagi
mencukupi untuk menginstal berbagai aplikasi tambahan. Maka, saya tidak bisa
menginstal aplikasi hiburan seperti aneka games, Netflix, sampai Disney+.
Karena saya sebetulnya tidak suka main game dan lebih sering menonton film
menggunakan DVD atau streaming gratis melalui website di komputer, saya tidak
mempermasalahkan keterbatasan smartphone saya menampung lebih banyak aplikasi.
Namun, semua itu berubah di tahun 2022 setelah pekerjaan saya yang baru
mengharuskan saya selalu siap dengan smartphone yang lengkap aplikasinya. Mau
tidak mau, saya harus membeli smartphone baru dengan spesifikasi yang memadai
untuk menunjang pekerjaan saya. Akhirnya, saya sudah bisa menginstal berbagai
aplikasi hiburan termasuk games (yang pada akhirnya lebih sering dimainkan oleh
adik saya) dan Disney+—tidak, saya tetap tidak menginstal Disney+ maupun
layanan streaming apapun.
Keengganan
saya menginstal Disney+ adalah karena saya malas berurusan dengan proses
pembayaran yang saya asumsikan sangat rumit. Ketika rumah saya berlangganan
internet, provider saya tidak mendukung Netflix sehingga smartphone dan Blu-ray
player yang saya miliki tidak bisa mengakses Netflix (salah satu alasan Netflix
kurang laku di Indonesia—mereka akhirnya bekerja sama setelah Netflix mengalami
krisis). Saya pun berasumsi kalau prosesnya akan sama-sama menyusahkan jika
berlangganan Disney+. Dengan smartphone baru, saya bisa menginstal aplikasi
khusus dari provider internet saya: Telkomsel. Dari aplikasi tersebut saya baru
tahu kalau saya bisa membeli paket internet dengan sangat mudah, murah, cepat,
dan lengkap. Salah satu paket yang ditawarkan adalah pembelian internet yang
disertai akses Disney+. Karena prosesnya sangat mudah—dan jangan lupa,
murah—saya pun membeli paket tersebut dan menginstal Disney+. Langkah “kecil”
yang saya lakukan itu benar-benar berdampak besar: it put things to perspective—seberapa
besarnya media streaming, seberapa tertinggalnya saya. Jumlah katalog film
dalam Disney+ membuat saya merinding. Saya pun mencoba memikirkan apa saja
kelebihan dan kekurangan Disney+ menurut diri saya pribadi.
Sebelum
Disney+, saya sangat khawatir dengan layanan streaming seperti Netflix karena
film yang mereka tayangkan bersifat rotasi. Mereka “menyewa” film-film dari
studio pemiliknya dan menyediakan akses kepada penonton di platform mereka.
Ketika Disney+ diluncurkan, kekhawatiran saya itu sudah berkurang dan setelah
menggunakan Disney+ untuk pertama kalinya, kekhawatiran saya benar-benar nyaris
hilang karena Disney memiliki konten mereka sendiri. Adapun alasan Disney
“menghapus” konten secara umum dapat ditentukan dengan keadaan politik—misalnya
apakah film mereka masih dianggap rasis atau sudah diterima. But
the sheer scale—skalanya saja, seberapa banyak katalog film Disney yang
disediakan, as I said, put things into perspective. Saya yang sudah 20
tahun membeli DVD Disney dan menyimpannya, sampai menelan ludah dan akhirnya
berujar pada diri sendiri, “Shit, my collection is obsolete”—walaupun
sebenarnya tidak juga. Memang masih ada film-film yang tidak tersedia di
platform tersebut, tetapi secara umum film-film popuoler Disney sudah tersedia
di Disney+.
Keunggulan
Disney+ adalah platform ini menyediakan fitur bahasa Indonesia. Dari semua DVD
Disney yang pernah saya beli, hanya ada 2 judul yang menyediakan fitur bahasa
Indonesia. Sedangkan di Disney+, semua animaasi klasik sudah dilengkiapi dengan
fitur bahasa Indonesia. Satu-satunya kesedihan saya adalah ketika Disney
melakukan pengisian suara besar-besaran, saya sama sekali tidak terlibat
setidaknya untuk mengisi suara beberapa karakter. Tapi yang jelas, ketersediaan
bahasa Indonesia merupakan nilai plus tersendiri. Disney+ juga, saat artikel
ini ditulis, memiliki katalog film yang jauh lebih lengkap dari katalog DVD
karena 1) mereka tidak hanya
menayangkan film Disney tetapi juga banyak sekali serial Korea dan Indonesia,
dan 2) distributor resmi untuk DVD
Disney di Indonesia sudah menghentikan produksi dan penjualan DVD mereka.
Bahkan, online store distributor DVD resmi-nya saja sudah tidak lagi tersedia.
Disney+
merupakan sosok penakluk yang mengubah segalanya. Ketika Netflix merajai arena
home entertainment, platform tersebut masih belum mampu mematikan pasar DVD
karena alasan-alasan yang sudah saya singgung sebelumnya. Namun, Disney+ hadir
bukan hanya sebagai penakluk DVD, tetapi juga penakluk Netflix. Dengan katalog
film dari Disney dan berbagai studio yang sudah dibeli olehnya (Marvel,
Lucasfilm, 20th Century Fox, PIXAR, dan lain-lain), Netflix tidak
punya kesempatan bertarung. Disney+ akan “menghabisi” Netflix—meski mungkin
tidak secara harfiah dan/atau tidak sampai membuat Netflix hancur sebagaimana
Netflix menghancurkan Blockbuster.
Setelah
excitement saya perlahan reda setelah beberapa hari, Disney+ terlihat berbeda.
Semakin saya menghabiskan waktu browsing film di dalamnya, saya semakin takut.
Saya takut dengan kebesaran skala platform itu. Saking banyaknya pilihan film,
saya sampai kebingungan dan merasakan overload. Saya tidak bisa memilih
dan seringkali tidak jadi menonton film atau menjadi cepat bosan karena saya
bisa dengan mudah menggantinya dengan film lain. Disney+ membuat saya ingat
masa lalu: masa di mana film merupakan sebuah pengalaman yang harus diupayakan,
bukan makanan siap saji yang tidak mengesankan. Disney+ memahat ketakutan saya
terhadap dunia perfilman (The Realm of Cinema) di atas batu: movies
have become desposable instead of memorable.
Saya
dulu merasa cukup istimewa karena memiliki akses ke film-film Disney melalui
DVD yang saya beli. Sebelumnya, saya merasa teman saya yang memiliki parabola
sangatlah istimewa karena memiliki akses menonton Disney Channel. Tidak semua
orang bisa seenaknya menonton film Disney dan hal tersebut memberikan efek yang
pasti dirasakan semua orang: modulation. Meskipun semua film
Disney bisa dipinjam di rental, mustahil seseorang akan sekaligus menyewa
seluruh film di dalam rental. Mereka harus memilih dengan teliti, membawa pulang,
dan menontonnya dari awal sampai habis. Film memang bertujuan memberikan
hiburan, tetapi dahulu harus diupayakan. Dengan demikian, menonton film menjadi
sebuah “pengalaman” tersendiri. Orang-orang seperti saya yang memiliki koleksi
DVD dan teman saya yang berlangganan TV kabel merupakan orang-orang yang
“dibutuhkan” dalam hal kebutuhan hiburan teman-teman kami. Kalau saya ingin
bermain game, saya membutuhkan teman saya yang memiliki X-Box. Kalau saya mau
belajar menggunakan internet, saya membutuhkan teman saya yang komputernya
terkoneksi internet. Kalau teman-teman saya ingin menonton film, mereka akan
mendatangi saya. Disney+, dengan segala kelebihannya, semakin membuat diri saya
sebagai manusia selangkah lebih obsolete. Tahun-tahun yang saya
habiskan untuk membangun arsip film seolah tidak ada gunanya lagi. Ketika semua
orang memiliki keunikan yang sama, maka tidak ada lagi orang yang unik.
Saya
dulu sering mengatakan, “lihatlah koleksi saya—bukannya pamer, tetapi inilah
bukti keseriusan saya dalam mengamati film. Tidak semua orang mau melakukan hal
ini.” Tapi sekarang, semua orang punya akses yang sama. Mereka tidak perlu
menghabiskan waktu bertahun-tahun membangun arsip. Hanya dengan sekali usap di
layar smartphone, mereka bisa memiliki arsip film yang jauh lebih lengkap dari
saya. Satu lagi argumen saya dihancurkan.
Ocehan
saya ini terdengar seperti orang tua yang menggerutu. Tentu saja sebagai
generasi yang pernah merasakan hidup sebelum bangkitnya internet, saya tidak
bisa serta merta menerima semua bentuk perubahan. Jujur saja saya merasa
keistimewaan yang dulu saya miliki telah dicuri. Tetapi ini bukan berarti saya
membenci streaming, Disney+—toh saya juga akhirnya berlangganan Disney+. Dalam
banyak aspek, saya berterima kasih pada Disney+ karena memberikan saya akses
tak terbatas menggali arsip Disney. Andai saja Disney+ muncul sejak saya kecil
dan saya tidak perlu merasakan perjuangan mengoleksi DVD dan menjadi orang yang
“dibutuhkan” kemudian tidak dibutuhkan lagi. Hari ketika saya mendaftarkan diri
saya untuk berlangganan Disney+, bagi saya, adalah pukulan terakhir yang
menampar saya: masa lalu dunia sinema sudah pergi bersama angin dan tidak akan
pernah kembali lagi. Saya teringat dengan adegan dalam film Wild America yang menunjukkan kecintaan
manusia kepada sinema dan bagaimana sinema bisa menyartukan banyak orang dengan
menjadi sebuah “pengalaman”.
Disney+
is both exciting and depressing. I acknowledge my defeat, congratulations.
Saya
harap Disney+ bisa menjadi “pahlawan” bagi anak-anak masa kini yang seperti
saya dulu: cinta pada animasi Disney tetapi kesulitan mendapatkan akses untuk
menonton filmnya. Saya harap anak-anak generasi baru bisa menikmati keceriaan
dengan akses yang mereka miliki terhadap gudang “konten” yang disediakan oleh Disney.
Saya ingat betul sempat menangis karena tidak bisa menonton Brother Bear di TV. Kesedihan semacam
ini seharusnya tidak lagi dirasakan anak-anak generasi baru. Mereka tidak tahu
bagaimana rasanya hidup di era sebelum internet menjadi urat nadi—bahkan nyawa
peradaban manusia. Tentu saja semua perkembangan ini bukan salah mereka dan
sepatutnya disambut dengan gembira. Era orang-orang seperti saya telah
berakhir. Era film sebagai sebuah “pengalaman dan pencapaian” sudah berakhir.
Tidak ada gunanya menyangkal hal itu.
Cakram
Disney tertua yang saya miliki berasal dari tahun 1998. Saya tidak akan
menyingkirkan arsip film yang selama ini sudah saya bangun, meskipun semuanya
bisa diakses lewat Disney+. Tentu saja saya akan menonton film-film baru lewat
Disney+. Saya akan tetap menyimpan arsip saya sebagai sebuah pengingat tentang
sebuah masa yang, seperti kejayaan Selatan dan perkebunan Tara, sudah hilang
bersama angin.
***
fin.