Mengapa Orang Suka Menonton Remake? [Why People Love Remakes?] Psychology Explained

Mengapa orang suka menonton film remake yang ceritanya hanya di ulang-ulang?

Oleh Rangga Adhyatama 

Pada tahun 1996, Disney merilis remake animasi 101 Dalmatians yang sukses di bioskop. Namun, kesuksesan itu tidak lantas membuat Disney terus menerus melakukan remake. Barulah pada tahun 2010 Disney merilis kembali sebuah film yang “dianggap remake” yakni Alice in Wonderland. Jika diamati lebih teliti, film tersebut sebetulnya bukanlah sebuah remake melainkan sebuah sekuel karena ceritanya melanjutkan film animasinya. Barulah di tahun 2014 Disney membuat “remake” yang populer dengan judul Maleficent. Remake ini tidak hanya menceritakan kembali film Sleeping Beauty, tetapi benar-benar menghancurkan narasi Sleeping Beauty dan menulis ulang ceritanya. Maka sebenarnya, Maleficent belum bisa dinyatakan sebagai sebuah remake. Lantas, apa sebenarnya maksud dari sebuah remake?

Ada banyak sekali orang yang mencoba menjelaskan pengertian remake, tetapi saya akan menawarkan deskripsi saya sendiri. Dari istilah remake sendiri, kata ini secara harfiah berarti “dibuat ulang [re: kembali, make: membuat]”. Maka, sebuah remake film adalah pembuatan kembali film yang sudah pernah rilis sebelumnya dengan mengikuti garis besar cerita yang sama. Dengan pengertian ini, maka sebenarnya remake major Disney setelah 101 Dalmatians adalah Cinderella yang dirilis pada tahun 2015. Film itu benar-benar mereka ulang animasi Cinderella dengan beberapa sentuhan kontemporer khas 2010-an seperti lebih beragamnya ras karakter dan adanya upaya untuk membuat narasinya lebih kompleks. Sentuhan semacam ini tidak ada dalam 101 Dalmatians karena diciptakan pada era yang berbeda. Setelah Cinderella sukses, Disney kemudian merilis remake The Jungle Book, Beauty and the Beast, Aladdin, dan The Lion King yang kesemuanya meraih kesuksesan secara finansial. Fenomena ini pun memunculkan pertanyaan, “Kenapa film-film remake sangat dan justru semakin disukai oleh penonton?” Beberpa penonton mungkin mengelak dan menyatakan bahwa mereka tidak menyukai remake semacam ini. Namun pada kenyataannya, film-film ini berhasil menjual tiket hingga milyaran Dollar. Itu artinya, mayoritas masyarakat atau penikmat film menyukai remake semacam ini. Mengapa?

Saya memiliki dua versi jawaban untuk pertanyaan ini: versi jawaban singkat dan jawaban lengkap.

Jawaban Singkat:

Penonton menyukai remake karena pada dasarnya otak penonton/konsumen memang diprogram secara alami/natural/tanpa paksaan untuk menyukai remake.

For companies, neuroscience—imaging the brain—adds another layer to understanding how consumers behave. Neuroscientists study the structure and function of the brain and its impact on a person’s thought processes and behaviour. Applying their methods to company-specific market research is known as “neuromarketing”. Large companies such as Google and Estee Lauder employ neuromarketing research companies, and many advertising agencies have neuromarketing divisions or partnerships.”

ID“Bagi perusahaan, neuroscience—pencitraan otak manusia—memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang perilaku konsumen. Pakar neuroscience mempelajari struktur dan fungsi otak serta dampaknya terhadap cara berpikir dan perilaku manusia. Menggunakan metode neuroscience untuk tujuan marketing perusahaan disebut dengan istilah “neuromarketing”. Perusahaan raksasa seperti Google dan Estee Lauder bekerja dengan perusahaan neuromarketing, dan banyak perusahaan iklan memiliki divisi neuromarketing atau bekerja sama dengan perusahaan neuromarketing.” [How Psychology Works, 2018:230]

Jawaban Lengkap:

Untuk menjelaskan fenomena ini, kita perlu menelusuri ilmu psikologi yang mempelajari hubungan antara konsumen, produsen, dan produk yang ditawarkan. Dalam psikologi, ada sebuah area yang disebut dengan Consumer Psychology. Area ini mempelajari alasan konsumen mengkonsumsi sebuah produk. Ada banyak faktor yang membuat konsumen mengkonsumsi sebuah produk, dan salah satu faktornya adalah:

Past Experience—Pengalaman Masa Lalu atau Pengalaman Sebelumnya. Buku How Psychology Works menyatakan secara singkat dan sederhana bahwa, “People are driven by positive past experiences so familiarity with a brand goes a long way [ID“Manusia didorong oleh pengalaman masa lalu yang positif, jadi keakraban seseorang dengan sebuah brand memiliki sejarah yang panjang”].” [2018:225]

Konsumen lebih menyukai sebuah produk yang familiar dan tidak ada rasa khawatir tentang apa dampak dari mengkonsumsinya. Manusia juga secara psikologis memiliki Attachment [ketergantungan, merasakan koneksi] yang kuat pada orang, kegiatan, atau bahkan benda tertentu yang membuat mereka merasa aman, nyaman, dan tenang. Jika demikian, apa hubungannya dengan menonton sebuah remake?

Menonton sebuah remake bisa jadi berarti menolak keluar dari zona nyaman. Penonton sudah familiar dengan ceritanya dan otaknya hanya akan mencocokkan pengalaman yang baru ini [menonton remake] dengan pengalaman yang familiar [menonton film yang sebelumnya]. Mereka butuh untuk diyakinkan kembali, butuh konfirmasi; apakah film yang mereka tonton benar-benar familiar atau tidak, dan apakah kesukaan mereka yang membuat mereka merasakan Attachment itu masih relevan atau tidak.

Perasaan Attachment ini menjelaskan mengapa sering sekali film adaptasi buku dikritik habis-habisan oleh penggemar bukunya, padahal film itu sudah baik sesuai standar film [karena buku dan film adalah dua medium yang sangat berbeda].

Studio besar Hollywood mengetahui hal ini. Penelitian di bidang psikologi sangat berguna bagi produsen untuk memahami perilaku konsumen sehingga produsen bisa memasarkan produknya dengan tepat sasaran. Inilah mengapa Facebook, Google, Microsoft, dan berbagai platform cyber menganggap Data pengguna sebagai sumber daya yang sangat penting. Area Consumer Psychology memberikan pencerahan bagi produsen, tidak terkecuali tim marketing Hollywood, karena area inilah yang menyatakan bahwa, “Knowing who your customers are is great, but knowing how they behave is even better [ID“Mengetahui siapa konsumen Anda itu bagus, tetapi mengetahui perilaku mereka itu baru lebih bagus lagi”].” [How Psychology Works, 2018:225]

Salah satu atribut alami kehidupan bermasyarakat manusia yang dimanfaatkan oleh perusahaan besar adalah adanya Shared Knowledge atau segala sesuatu yang diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Pernyataan “Film Home Alone adalah film yang sesuai ditonton saat liburan Natal” adalah sebuah Shared Knowledge. Film Home Alone benar-benar populer sampai masyarakat secara umum mengetahuinya dan memiliki konsensus tentang kapan waktu yang ideal untuk menontonnya.

Agar bersikap adil dan tidak serta merta menyalahkan Hollywood karena terlalu sering merilis remake dan memanfaatkan nature konsumen ini, studio-studio besar Hollywood [dan bahkan di seluruh dunia] sebenarnya sering merilis film yang "baru". Namun umumnya film-film dengan cerita baru tidak terlalu laku di pasaran. Film-film baru belum memiliki sejarah panjang dengan konsumen. Maka, studio akan kembali kepada Katalog yang sudah mereka miliki, film-film yang sudah populer, yang sudah dicintai, dan merilisnya kembali. Salah satu contoh fenomena ini adalah keputusan Disney untuk berhenti merilis [pulled the plug] sekuel film I am Number Four bukan karena film itu tidak menghasilkan profit, tetapi karena Disney tidak melihat adanya prospek ke depan dan justru melihat minat konsumen bergeser ke arah film-film superhero. I am Number Four belum memiliki basis penggemar yang sebesar Marvel Studios. Berapa banyak penonton yang kenal dengan nama planet Mogadorian dibandingkan dengan nama Asgard?

Sebagai produsen konten berupa film atau serial [produsen tentu saja ingin mencari keuntungan], studio akan mempertimbangkan hal-hal mendasar mengenai konsumsi produk seperti berikut:

●Brand Information: Konsumen ingin tahu apa yang akan mereka dapat dari mengkonsumsi sebuah produk. Film-film remake menjual kenyamanan—nostalgia. Dengan adanya overload informasi di era sekarang, orang semakin mudah merasakan nostalgia. Lima tahun saja sudah terasa seperti 15 tahun. Dunia bergerak semakin cepat dan orang butuh sesuatu untuk memperlambat, sesuatu yang familiar dan membuat mereka merasa nyaman [comforting].

●Past Experience: Berkaitan dengan Brand Information, konsumen memiliki ingatan tentang pengalaman sebelumnya, baik itu pengalaman positf ataupun negatif. Film-film yang populer memberikan indikasi bahwa film-film itu memberikan pengalaman yang positif bagi banyak konsumen. Maka tidak jarang ada orang yang suka menonton film yang dibintangi aktor tertentu seperti Leonardo DiCaprio, Brad Pitt, Emmy Rossum, atau aktor tertentu lainnya dengan pola pikir, "Film yang dibintangi dia selalu bagus, jadi saya mau menonton film baru ini karena ada dia [saya berasumsi film yang dia bintangi akan selalu bagus kualitasnya]."

●Trust: “Buyers need to be confident that a company will deliver on its promises…” Harus ada rasa percaya dari Konsumen terhadap Produsen [baik itu barang perabotan atau film pun sama saja] bahwa Produsen bisa memenuhi ekspektasi mereka. Ekspektasi ini bisa berubah-ubah seiring perkembangan zaman. Maka tidak heran masyarakat Amerika golongan Liberal merasa senang Disney melakukan remake Beauty and the Beast, tetapi karakter LeFou harus dijadikan gay. Atau karakter Hermionie dalam pementasan Harry Potter harus dijadikan kulit hitam. Ini semua adalah upaya studio dalam memahami keinginan pasar dan desakan politik yang membentuk paradigma kontemporer. Masalah isinya [apakah tepat menjadikan karakter gay atau berganti ras], bisa diperdebatkan sampai kiamat, tetapi konsepnya sederhana saja: apa yang sedang menjadi isu sekarang, dan bagaimana memodifikasi sesuatu yang lama dengan isu baru?

●Personal Recommendations: “Peple like to buy products that their friends and role models are using” Berkaitan dengan poin-poin sebelumnya, konsumen akan mengikuti rekomendasi yang positif sehingga Trust, Past Experience, dan Brand Information yang mereka miliki berasal dari orang atau sosok yang dipercaya. Di sinilah tim marketing bergerak dan terkuak skandal Rotten Tomatoes dan kritikus film yang "dipengaruhi" oleh studio agar memanipulasi skor/rating film mereka. Manipulasi semacam ini sudah terjadi sejak zaman dulu. Perusahaan Sony pernah dituntut karena menciptakan kritikus “fiktif” yang memberi review positif untuk film-film mereka. Dalam beberapa kemasan DVD Sony, mereka mencetak pujian dari seorang kritikus profesional bernama David Manning. Ia akan memberikan pujian sehingga konsumen membeli DVD film itu karena percaya pada penilaian David Manning. Namun pada kenyataannya, David Manning tidak pernah ada di dunia: dia adalah kritikus fiktif yang sengaja diciptakan untuk tujuan marketing.

Poin Personal Recommendations ini menjadi semakin tidak terkendali setelah intenet semakin menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Internet menciptakan adanya FOMO atau Fear of Missing Out [Takut Ketinggalan] sehingga mayoritas penonton hanya ikut-ikutan saja menonton karena viral, tanpa tahu alasan mendasar soal kualitas produk tersebut dan kenapa bisa viral. Imbasnya adalah orang selalu ingin semua serba cepat, serba baru [“baru” di sini bukan selalu berarti konten itu baru saja dibuat, tetapi konten yang “baru” populer, sehingga bisa jadi konten lama yang menjadi populer kembali]. Sesuatu yang viral sekarang, dalam hitungan hari akan menjadi kuno. Film yang di zaman dulu bisa tayang di bioskop sampai 1 tahun, sekarang dua sampai tiga bulan saja sudah anjlok angka box office-nya. Di zaman dulu, biasanya film ketika baru tayang di bioskop akan butuh waktu perlahan untuk sukses penjualan tiketnya [sepi dulu, pelan-pelan ramai], tetapi sekarang yang terjadi justru sebaliknya: film baru langsung menyedot perhatian penonton, tetapi baru sebentar saja sudah hilang dari perhatian masyarakat. Imbasnya, studio harus bisa mengikuti tuntutan serba cepat ini. Tidak ada waktu untuk memikirkan film-film baru. Cara mengatasinya adalah dengan merilis ulang film atau produk yang sudah ada.

●Promotions: Poin “Promosi” ini sudah jelas, tidak perlu diperjelas lagi. Studio sering menggunakan slogan seperti, "From the director of [Dari sutradara pembuat…]…", "From the studio that brought you [Dari studio yang membuat…]…", "Based on the best-selling novel [Diangkat dari novel terlaris karya…]…", dan lain sebagainya dalam mempromosikan film-film baru mereka. Perhatikan bagaimana slogan-slogan tersebut “mengingatkan” kembali kepada penonton tentang apa yang sudah mereka ketahui sebelumnya.

Semakin seragamnya cara berpikir manusia [loh, bukannya orang bisa beda pendapat? Iya, tetapi cara mereka mempertahankan pendapat rata-rata sama/seragam: you are in or you are out, no more grey area, no more neutral—kalau kamu megkritik film Tenet Christopher Nolan, berarti kamu Haters. Kalau kamu menolak Feminisme, berarti kamu penindas perempuan, kalau kamu mendukung Mr. X menjadi pemimpin, berarti kamu radikal, kalau kamu suka mendengarkan lagu-lagu BTS berarti kamu anak ingusan BTS-Army, dan lain sebagainya] ternyata secara menarik dibahas oleh Yuval Noah Harari dalam buku Sapiens: A Brief History of Humankind—bahwa apa yang terjadi saat ini adalah imbas dari perjalanan panjang kemajuan teknologi:

The industrial revolution turned the timetable and the assembly line into a template for almost all human activities. Shortly after factories imposed their time frames on human behavior, schools too adopted precise timetables, followed by hospitals, government offices, and grocery stores. Even in places devoid of assembly lines and machines, the timetable became king.” [Harari, 2015:353]

ID“Revolusi Industri telah menjadikan jadwal/matriks kerja dan barisan kerja/perakitan sebagai acuan dasar untuk nyaris semua aktivitas manusia. Tidak lama setelah perusahaan mengimplementasikan sistim kerja mereka ke dalam perilaku manusia [pekerja], sekolah-sekolah pun mengimplementasikan sistem yang serupa, diikuti oleh rumah sakit, kantor pemerintahan, hingga toko serba ada. Bahkan di tempat-tempat yang tidak memiliki barisan perakitan atau mesin, jadwal kerja yang terstruktur tetap menjadi acuan.”

—inti dari paragraf itu adalah adanya "Keseragaman", "Tidak Ada yang Tidak Terduga", "Monoton". Maka dari kutipan di atas saya sering menyertakan ilustrasi berikut untuk menggambarkan dunia perfilman post-2010 [2010 ke atas]:

Ada juga faktor lain yakni penelitian yang mengungkapkan bahwa durasi perhatian manusia terus mengalami penurunan. Orang tidak akan sabar untuk invest waktu mengeksplorasi narasi yang benar-benar baru. Jangankan invest waktu berjam-jam, menonton film dengan durasi 2 jam saja sekarang banyak yang tidak tahan dan lebih memilih menonton "Video Sinopsis" di YouTube. Film-film Drama yang sukses besar di masa lalu seperti Gone with the Wind, Casablanca, Forrest Gump, Ben Hur, dan sebagainya kemungkinan besar tidak akan laku kalau baru dirilis tahun 2010 ke atas. Internet saja kini didesain untuk menyenangkan konsumen agar tidak keluar dari zona nyaman, dengan adanya Internet Filter Bubble yang senantiasa memberi rekomendasi berdasarkan kesukaan si pengguna. Jadi kalaupun opini si pengguna itu salah, dia akan selalu merasa benar karena setiap informasi yang ia akses sudah diprogram untuk mengkonfirmasi opini dia.


Semua informasi ini saya simpulkan dan proses sendiri dari dua buku sederhana The Psychology Book dan How Psychology Works. Teorinya tidak spesifik membicarakan film, tetapi perilaku Konsumen pada umumnya—kemudian saya menggunakan pemahaman dan pengamatan saya tentang dunia perfilman untuk menuliskan artikel ini. Menurut saya pribadi, menikmati remake itu tidak apa-apa dan sangat wajar—manusiawi. Namun, harus dalam porsi yang pas [perlu modulation], tidak berlebihan seperti di era 2010 ke atas. Kalau seperti ini terus, saya khawatir Critical Thinking di masa yang akan datang menjadi semakin tumpul karena tidak ada konten yang Challenging, semuanya Comforting.

***

 Rangga Adhyatama adalah Alias dari Nabil Bakri