Eksklusif oleh Nabil Bakri
(C)1997/Twentieth Century Fox/Paramount Pictures/Lightstorm/all rights reserved. |
"Mungkin Titanic bukanlah film terbaik yang pernah kamu saksikan sebagai seorang individu. Tidak ada yang bisa mengubah hal itu. Tapi, Titanic adalah film terbaik yang pernah disaksikan dunia ini sebagai satu kesatuan, dan tidak ada yang bisa mengubah itu."
Titanic
mendapat betubi-tubi makian akhir-akhir ini, dan tampaknya sudah menjadi
semacam ‘tren’ untuk menjelek-jelekkan sesuatu yang terlalu populer. Bahkan, majalah film populer, Empire, mencopot satu bintang dari Titanic. Aslinya film ini mendapat 5 bintang (nilai sempurna), tapi karena mulainya tren itu, mereka mengurangi jadi 4 bintang. Walau demikian, mereka sadar bahwa itu tidak benar dan tidak mau terbawa tren tidak profesional semacam itu dan mengembalikan Titanic menjadi 5 bintang dengan menyatakan bahwa semua tindakan menjelek-jelekkan ini hanya membuat Titanic makin terkenal dan membuktikan bahwa ini adalah film paling favorit. Walau
demikian, cibiran terhadap Titanic sebenarnya sudah dimulai sebelum filmnya
dirilis. Selama proses pengambilan gambar, semua orang tahu bahwa Titanic
sedang dibuat karena media massa tak henti-hentinya memberitakan perkembangan
Titanic. Ini tak lepas dari fakta bahwa Titanic, pada waktu itu, menelan biaya
yang belum pernah dihabiskan oleh film sebelumnya. Walaupun filmnya sukses,
belum tentu kesuksesan itu bisa menutupi total uang yang dikeluarkan untuk
membuatnya, apalagi semua orang sudah tahu jalan ceritanya. Buat apa menonton
film yang sudah diketahui jalan ceritanya?
Kritikus
film yang bahkan belum pernah membaca bagaimana naskah Titanic atau belum
pernah berkunjung ke lokasi pengambilan gambar, terus mencibir dan menghina
James Cameron. Hampir semua kritik berubah dari pandangan negatif menjadi
semacam ‘harapan’, yakni mereka berharap filmnya akan gagal. Bahkan, majalah
terkemuka, Variety, menampilkan kolom ‘Titanic Watch’, yang menghitung mundur
perilisan perdana Titanic, semacam olok-olok menantikan kegagalan yang sudah
pasti.
“Sejak awal, film tentang salah satu bencana terbesar
sepanjang masa, tampaknya menuju bencana juga.”
-George Lewis (NBC News/1997)
George
bukanlah satu-satunya yang menganggap Titanic akan gagal, tapi mayoritas
kritikus sepakat bahwa Titanic akan gagal. Parahnya, pendapat mereka dianggap
benar oleh masyarakat, sehingga tampak pada waktu itu bahwa James Cameron
menjadi salah seorang yang paling tidak disukai.
***
Titanic
adalah film yang bagus. Aku nonton pertama kali sekitar tahun 2007, kalau bukan
akhir SD, berarti awal SMP. Sebelumnya, aku sama seperti para kritikus di atas.
Aku lihat iklannya di TV, dan mencibir, “Buat apa nonton film kapal ‘nyungsep’.”
Mungkin karena waktu itu aku cuman tertarik pada Godzilla dan Disney. Tapi,
ketika akhirnya memutuskan untuk menonton karena film ini sering sekali
disebut-sebut, rasanya seperti ditampar oleh Cameron karena filmnya sangat bagus.
Pasti seperti inilah yang dirasakan para kritikus bertahun-tahun lalu, sepuluh
tahun sebelum aku menonton filmnya. Satu hal yang pasti, aku penggemar berat
Titanic. Kamu mungkin berpikir, “Tentu saja, seorang penggemar Titanic akan
membela martabat film ini habis-habisan.” Aku beri tahu satu hal, kalau Titanic
tidak layak mendapat pembelaanku, walau bagaimanapun aku suka dengan filmnya,
maka takkan kubela dan aku takkan menulis artikel ini. Tapi, pendapatmu ada
benarnya.
|
Dahulu
sastra dianggap ‘tidak akademis’ karena proses analisisnya terlalu subjektif.
Padahal, untuk mendekati ilmu pasti, peneliti harus melepaskan pendapat
pribadinya dan melihat sesuatu apa adanya. Itulah yang akan aku lakukan dalam
artikel ini. Kamu sudah tahu aku suka filmnya, tapi aku akan memberikan
bukti-bukti yang jelas membuktikan bahwa Titanic adalah film terbaik yang
pernah disaksikan oleh dunia. Mungkin bukan film terbaik yang pernah kamu
lihat, tapi jelas film terbaik yang pernah dilihat dunia sebagai satu kesatuan.
***
Saat
itu semua jelas: orang menganggap Titanic akan gagal dan sebagian besar tidak
tertarik menontonnya. Tapi, Fox merilis sebuah trailer untuk ditampilkan di
Sho-West. Sesaat setelah trailer itu ditampilkan, tiba-tiba saja semua ulasan
negatif berubah arah mendukung Titanic. Semua terjadi terlalu tiba-tiba.
“Saat
aku di bioskop, aku melihat iklan Titanic saat Jack dan Rose ada di buritan
kapal saat tenggelam dan kamera ada di belakang Leo (Jack) yang
berteriak...suasana sangat hening, tapi sesaat kemudian penonton bersorak.”
-Bob Gazzale (President&CEO AFI)
Kapan
kamu pergi ke bioskop dan melihat efek trailer seperti itu? Kapan kamu pergi
menonton film, dan pusat perhatian justru trailer bukan film yang mau kamu
tonton? Saat di bioskop, ketika film selesai diputar, tidak selalu para
penonton bersorak dan bertepuk tangan. Aku hanya mengalami ini di film The
Avengers (2012). Jika sulit sekali untuk sebuah film mendapat tepuk tangan
meriah di bioskop, bukankah lebih sulit lagi bagi sebuah trailer? Jika trailer
Titanic memang semenggemparkan itu, bukankah filmnya akan jauh lebih
menggemparkan lagi? Hal seperti ini tidak terjadi lagi, di mana ada euforia
massa yang membuat kita ‘terlibat’ di dalamnya sebagai satu kesatuan.
|
Di penayangan perdana Titanic di Amerika, saat film berakhir semua orang di gedung bioskop berteriak-teriak, seolah gedung itu akan runtuh. Nah, kapan kamu mengalami ‘pengalaman menonton’ seperti ini? Bahkan, penonton sudah bertepuk tangan saat adegan bangkai kapal berubah menjadi kapal baru saat Rose tua mulai menceritakan pengalamannya. Aku pribadi sangat mendambakan bisa merasakan hal seperti ini saat menonton di bioskop, saat aku bisa ‘ikut serta’ dan berperan dalam sejarah sinema.
“Titanic
menjadi film yang harus kamu tonton sebab kamu ingin membicarakannya. Orang
tidak berhenti membicarakannya. Titanic telah memengaruhi kita. (Dalam dunia
sinema) itu jarang sekali terjadi. Tapi saat itu terjadi, akan menjadi momen
yang sangat istimewa.”
-Tom Sherak (President AMPAS 2009-2012)
Film ‘2012’
populer di Indonesia, tapi tidak begitu diminati di Amerika. ‘Hugo’ meraih pujian
besar-besaran di Amerika, tapi tidak begitu diminati di Indonesia. Hal ini
tidak terjadi pada Titanic. 1997 adalah tahun pertama dan sejauh ini
satu-satunya, di mana seluruh dunia sepakat untuk menjadikan Titanic sebagai
film favorit. Kala itu, Titanic memuncaki tangga box office Indonesia, sama
halnya dengan sebagian besar negara lain di dunia. Titanic sukses di Jepang,
Amerika, Cina, Indonesia, bahkan di Inggris di mana pangeran Charles hadir
dalam pemutaran perdana Titanic di London.
(C)2009/2012[Twenty Twelve][title]/Columbia Pictures/all rights reserved. |
Orang
yang sebelumnya tidak suka menonton film lebih dari 2 kali di bioskop, akhirnya
menonton sampai berkali-kali. Dan, sebagian besar dari mereka pergi ke bioskop
bersama orang yang berbeda. Misalnya, di hari Senin kamu pergi bersama teman
sekolahmu. Dua hari kemudian, kamu pergi bersama teman magangmu. Seminggu
kemudian, karena hari Valentine, kamu pergi bersama pacarmu. Nah, itu adalah
fenomena yang terjadi. Selain itu, Titanic juga melintasi batas usia. Bahkan,
ada penuturan menarik tentang saat pemutaran Titanic di Indonesia, di mana saat
kamu pergi ke bioskop, ternyata di sana juga ada orangtuamu. Malahan, bisa ada
kakek-nenekmu dan, katanya, tetangga, pak RT, pak lurah, serasa satu kampung
nonton bareng. Aku tidak mengalami hal ini, tapi mendengar ceritanya saja jadi
ingin merasakan, jadi berharap akan ada film yang sama kuatnya dengan Titanic
dan menyedot perhatian publik sedemikian besarnya. Ini memang cukup aneh dan
susah dijelaskan, mengapa semua tampak suka Titanic, karena pada dasarnya
manusia itu sama (coba dipikir, kalau manusia itu berbeda jauh, coba jelaskan bagaimana
budaya barat punya cerita Cinderella sedangkan kita punya Bawang Merah-Bawang
Putih, padahal belum ada kontak budaya dan jelas jaman dulu belum ada Android
atau I-phone untuk internetan sambil cek WA dan Line, jadi tidak bisa
jiplak-menjiplak karya. Selain itu, betapa banyaknya kemiripan antara mitologi
Yunani dengan cerita-cerita Ramayana, Mahabarata, dan lain-lain).
|
Singkatnya, Titanic sukses besar baik secara pendapatan maupun tanggapan kritikus. Film ini menang 11 Oscar dan selama 12 tahun menjadi film terlaris dunia (haha, tahu, nggak, ketika harga tiket disesuaikan, ternyata bukan Avatar yang menjadi film terlaris di Amerika, melainkan tetap Titanic!). Belum pernah ada kesuksesan sebesar Titanic dan euforia massa sebesar dan seluas efek Titanic. Tapi, pencapaian uang bukanlah tolok ukur kualitas suatu film. Jalan ceritanya juga penting. Tapi, kamu harus paham, ya, bahwa film itu bukan cuman karya seni, tapi ‘seni sekaligus bisnis’.
***
“Harus
punya hati sekeras batu untuk tidak merasa tersentuh oleh kisah cinta di
Titanic, atau setidaknya merasa tersentuh melihat orang-orang yang tewas. Ada
orang-orang yang tidak mau merasa seperti itu dan cenderung mengolok-olok dan
bersikap ironis sekaligus sombong.”
-Joseph McBride (Kritikus, Ahli sejarah sinema)
|
Banyak orang yang mencibir jalan cerita Titanic. Mereka seolah lupa bahwa Titanic diangkat dari kisah nyata, dan tidak banyak yang bisa dilakukan Cameron untuk mengubah gambaran umumnya, kecuali memutuskan siapa sentral cerita, dari sudut mana gambar harus diambil, siapa yang harus dimunculkan duluan, dan lain-lain. Mau tidak mau kapal itu akan tenggelam. 90% tokohnya adalah tokoh nyata. Hanya Jack, Rose, dan orang-orang terdekat mereka saja yang tidak nyata. Bahkan, Molly Brown berdasarkan tokoh asli.
Walau
Jack dan Rose tidak nyata, James Cameron tidak asal memasukkan mereka ke dalam
cerita. Tercatat dalam sejarah, JP Morgan yang sudah disediakan kamar eksklusifnya
oleh White Star Line, batal berangkat dengan Titanic. Maka, kamarnya kosong dan
kamar inilah yang dipakai Rose, agar tidak mengacak-acak sejarah dan menempati
kamar yang seharusnya ditempati orang lain.
Tujuan
utama adegan-adegan sebelum kapal tenggelam adalah untuk ‘memperkenalkan’
Titanic pada penonton, supaya mereka merasa ‘ada’ di dalam Titanic dan
benar-benar menghayati tenggelamnya kapal. Tentu saja, pengenalan kapal bisa
mendapat tanggapan berbeda-beda. Ada yang merasa bosan dengan adegan-adegan
sebelum kapal tenggelam. Tentu saja, bahkan karakter Rose tidak suka naik
Titanic. Ada penumpang kapal yang bahagia naik Titanic, ada yang tidak.
Penonton pun demikian, tapi saat kapal tenggelam, baik orang yang terlibat di
Titanic maupun penonton, sama-sama terkesiap. Maka dari itu, ada video-video
yang merekam respon penonton terhadap Titanic. Walaupun di awal mereka terlihat
sedikit bosan (termasuk faktor sudah berkali-kali menonton Titanic) dan
sesekali menguap, mereka menjadi siaga saat kapal menabrak gunung es dan masih
ada yang menangis saat biola dimainkan atau saat Jack tewas.
Dari
segi cerita, Titanic membawa pesan yang universal dan masih berlaku sampai
sekarang, bahwa ‘kapal anti tenggelam bisa karam’, berarti ‘hal-hal tak terduga
bisa terjadi’.
***
“Titanic
hanya sukses karena cewek-cewek yang ngefans!”
Aku
tanya: “Benarkah?”
Jika
Leonardo DiCaprio adalah daya tarik utama film ini, mengapa film ‘Romeo+Juliet’
yang dirilis tahun 1996 tidak sesukses Titanic, padahal Leo masih lebih muda
dan lebih banyak adegan buka baju? Film ini sukses bukan karena Leo. Bahkan, sang
aktor sendiri pernah mengakui bahwa dirinya sadar dia tidak akan pernah
mendapat ketenaran seperti saat ia berperan di Titanic. Ternyata, hal ini juga
dirasakan hampir oleh semua pemeran di Titanic.
Sebelum
menulis bukunya yang berjudul ‘BFI Modern Classics: Titanic’, David Lubin
memutuskan untuk menonton lagi Titanic di bioskop. Kala itu, ia berjumpa dengan
sekelompok gadis remaja yang menangis tersedu-sedu. Padahal, itu sudah kali
ke-7 mereka menonton di bioskop? Benarkah mereka datang untuk melihat
ketampanan DiCaprio? Ternyata tidak. Adegan favorit mereka adalah adegan
terakhir di mana foto-foto Rose diperlihatkan satu per satu. Mereka merasa
mendapat pelajaran bahwa walau bagaimana pun kerasnya hidup, kehidupan harus
terus berjalan. Malah, mereka belajar dari tokoh Rose bahwa secinta apapun kamu
dengan seseorang, jika memang harus berpisah, maka jalanilah hidup dengan
positif. Banyak orang yang trauma dengan
karamnya Titanic, menjadi sakit-sakitan, lalu meninggal. Tapi, karakter Rose
menunjukkan sikap positif dengan meneruskan hidupnya dengan tidak tertekan
dengan fakta bahwa cinta sejatinya tewas dan ia jatuh miskin.
***
Jika
kita dengarkan sekarang, tentu saja lagu ‘My Heart will Go On’ tidak seindah
dulu lagi. Tapi, tidak adil mengadilinya seperti itu. Kita harus menilainya apa
adanya. Lagu ini memang sangat bagus dan enak didengar. Buktinya? Yah, paling
gampang, lagu ini takkan masuk kategori ‘overplayed’ alias ‘terlalu sering
diputar’ jika memang lagunya jelek. Seperti lagu ‘Baby’ Justin Bieber.
Jelekkah? Tidak juga, hanya saja ‘cukup untuk hari ini’, seperti saat kamu suka
sekali makan sate, tapi suatu ketika kamu sudah kenyang dan berkata, ‘cukup’.
Apakah itu berarti kamu benci sate? Tidak, kan?
“Biasanya aku tidak suka lagu di akhir film karena biasanya
berkesan norak. Ternyata aku salah. Lagu ini indah dan menambah makna pada
filmnya, seolah dinyanyikan oleh Rose.”
-Joseph McBride
Jangan
salah, lagu ini dipuji oleh David Foster sebagai ‘perpaduan antara film dengan
lagu yang paling ‘pas’. Dulu, sebelum mobil-mobil dilengkapi USB port dan
sebagian besar orang masih mendengarkan radio, My Heart will Go On hampir
selalu diputar. Bahkan, sang produser mengaku sering mendengar lagu ini di
radio, bahkan saat ia sedang makan di restoran seusai pembuatan Titanic, lagu
ini sedang diputar di radio. Pengaruh lagu ini sangat besar karena film ini
punya ‘theme song’ yang populer padahal filmnya bukanlah sebuah film musikal.
Indonesia sendiri terserang ‘demam’ Titanic dan mengubah lagunya menjadi
dangdut, versi resmi, bukan cover.
Ingat-ingat
saja kepopuleran lagu ‘Let it Go’ belum lama ini, dan kalikan tiga kali lipat,
itu mendekati kepopuleran My Heart will Go On saat masa jaya Titanic, tahun
1997/1998 silam.
***
“Jalan
cerita Titanic dangkal dan dialognya datar.”-pernyataan ini sering dipakai
untuk menjatuhkan Titanic, tapi seseorang sudah menyatakan pendapat yang aku
setujui.
“Memang akan bagus jika Titanic menyajikan jalan cerita yang
lebih kompleks. Tapi, kalau mau cari kompleks aku tidak nonton film melainkan
baca buku.”
That’s it!
Kita
harus selalu ingat bahwa film bukanlah buku. Dan, coba saja kamu ingat lagi ‘The
Hobbit’, di mana satu buku tipis dipecah menjadi tiga film. Bukan itu gunanya
film. Kalau mau mendapat kedetilan seperti itu, satu-satunya cara adalah
membaca bukunya langsung. Nah, untuk Titanic, film ini diusahakan seakurat
mungkin dengan sejarah, jadi tidak mungkin ada twist yang melenceng dari
sejarah.
***
“Film
Cameron menjiplak film A Night to Remember”
Buku
karya Walter Lord yang kemudian difilmkan, A Night to Remember, ternyata mengandung
banyak sekali ketidakakuratan sejarah. Misalnya, kapal digambarkan tenggelam
begitu saja dan tidak patah, padahal diketahui bahwa kapal patah. Selain itu,
digambarkan perwira kapal yang heroik. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.
Para perwira kapal malah hanya mengisi sekoci dengan penumpang yang sedikit dan
hampir semua golongan kelas satu. Orang-orang miskin kelas 3 dikunci rapat di
dalam kapal karena yang diutamakan adalah golongan kaya kelas satu. Ini adalah
fakta yang terkuak. Tapi, dahulu para perwira kapal dan penumpang kelas satu
bersikeras bahwa kapal tidak patah dan tidak ada pemisahan golongan kekayaan.
Walaupun banyak korban selamat dari golongan miskin menyatakan bahwa mereka
yakin Titanic patah dan ada diskriminasi, kesaksian mereka tidak diakui dan
ditolak. Kesalahan inilah yang ditampilkan di A Night to Remember. Film Titanic
karya Cameron jelas lebih baik dalam menyampaikan detil sejarah ketimbang film
tentang Titanic lainnya, bahkan ada dua ahli Titanic yang ikut membantu Cameron
dalam membuat Titanic, hingga salah satunya berkata pada James Cameron, yang
sekaligus aku jadikan penutup artikel ini (untuk sementara, haha):
“Kamu
akan membuat semuanya dengan sangat benar sampai-sampai orang akan mencari-cari
salahnya.”
|