Warner Bros./2020/all rights reserved. |
Review Film Tenet
Oleh Nabil BakriSkywalker Hunter
Genre : Fiksi
Ilmiah—Aksi
Rilis : 26 Agustus 2020
Episode : -
Sinopsis
Tenet bercerita tentang seorang agen CIA yang menyebut dirinya The Protagonist [penegasan pada ‘the’ karena ‘the’ berarti protagonis utama, bukan ‘a’ protagonist yang berarti ‘hanya salah satu’ protagonis. Dalam sebuah misi, Protagonis mengalami kegagalan dan disiksa supaya memberikan informasi. Namun ia lebih memilih mati dan bunuh diri dengan menelan racun. Namun ia terbangun dan diberi tahu kalau racun itu sebenarnya hanya tes untuk menguji kesetiaan seorang agen, dan Protagonis lulus tes tersebut. Tidak semua agen rela bunuh diri demi menjaga misi yang diberikan kepadanya. Karena lulus, Protagonis direkrut oleh organisasi bernama Tenet.
Organisasi
ini melacak adanya anomali dalam garis waktu di mana masa lalu, masa kini, dan
masa depan bertemu. Seorang ilmuwan kemudian menunjukkan Protagonis keanehan
yang telah mereka kumpulkan. Mulanya, ia menunjukkan pistol dengan peluru yang
berjalan mundur. Artinya, peluru yang sudah ditembakkan menembus tembok akan
kembali masuk ke dalam pistol dan tembok yang berlubang akan kembali utuh. Ini
terjadi karena masa lalu, masa kini, dan masa depan bersinggungan. Pistol itu
digunakan di masa depan, jadi semestina belum terjadi di masa kini. Maka jika
pistol dan tembok itu masuk ke masa kini, peluru akan kembali masuk ke pistol
dan tembok akan kembali utuh.
Warner Bros./2020/all rights reserved. |
Menurut
Tenet, kejadian ini sangat berbahaya karena bisa mengancam keberlangsungan umat
manusia. Masalahnya, tidak hanya peluru dan pistol yang bisa menunjukkan
anomali aneh, tapi juga benda-benda lain, bahkan manusia bisa kembali ke waktu
yang berbeda. Protagonis harus menyelidiki dari mana datangnya peluru itu untuk
mengungkap seluruh bagian dari misteri. Protagonis pun harus ke India untuk
melacak jejak peluru tersebut dan mengetahui bahwa semua ada kaitannya dengan seorang
“mafia” kaya raya bernama Andrei Sator. Pencarian itu mengarahkan Protagonis
kepada Elizabeth, istri Sator yang tidak bahagia karena pernikahannya dengan
Sator bermasalah dan Sator melarangnya bertemu dengan putera mereka. Dari situ,
Protagonis bekerja sama dengan Elizabeth untuk mengungkap misteri anomali waktu
dan apa tujuan Sator yang sebenarnya.
01 Story Logic
Film
ini menyuguhkan konsep permainan waktu menggunakan kemajuan sains. Di dalam
cerita, dikisahkan bahwa teknologi “mesin waktu” ditemukan di masa depan.
Namun, karena penemunya merasa teknologi itu terlalu berbahaya, ia melakukan
tindakan pencegahan yang akan diungkap di dalam film. Tentu saja konsep mesin
waktu sejalan dengan logika fiksi ilmiah yang memang membicarakan hal-hal
fiktif yang memiliki keterkaitan dengan ilmu pengetahuan. Dalam sains,
perjalanan waktu sebenarnya memungkinkan, namun hanya bisa untuk pergi ke masa
depan. Hal itu dimungkinkan dengan cara seseorang meninggalkan bumi menuju
lokasi lain di angkasa yang perputaran waktunya lebih lambat dari bumi,
katakanlah seratus tahun di bumi setara dengan satu menit saja di zona X di
galaksi X. Maka jika manusia bisa pergi ke zona X di galaksi X itu dalam satu
menit saja, maka jika ia pergi di tahun 2021, ia akan kembali di tahun 2121.
Namun untuk masa lalu, dirasa mustahil. Maka, konsep semacam ini sesuai masuk
kategori fiksi ilmiah. Logika film ini sudah sejalan dengan logika fiksi
ilmiah. Selain mengusung tema Sci-Fi, film ini mengambil sub-genre aksi. Dan
benar saja, fiksi ilmiah dalam film ini dipadukan dengan aksi agen CIA dan
kepentingan militer.
Warner Bros./2020/all rights reserved. |
02 Story Consistency
Meskipun
konsep film ini sangat menarik dan logis masuk sebagai fiksi ilmiah, alur
cerita film ini tidak konsisten. Tidak ada bagian yang jelas untuk dieksplorasi.
Ada bagian mesin waktu, bagian aksi, bagian spionase, bagian intrik, namun
tidak ada satu pun yang didalami. Film ini menjadi kumpulan konsep yang tidak
punya alur cerita yang jelas, bahkan cenderung kosong. Hal serupa terjadi pada
film Nolan lainnya yakni Dunkirk.
Hanya ada kejadian-kejadian tanpa benang merah yang jelas. Ini tidak ada
kaitannya dengan struktur filmnya yang memang tidak runtut, namun meskipun
semua dijelaskan di akhir, film ini tetap gagal menunjukkan fokus utamanya.
Sisi mesin waktu yang menarik hanya dibahas alakadarnya dan klise. Di dalam ilmu psikologi, ada
istilah pop-psikologi. Pop-psikologi
adalah penjelasan-penjelasan masalah psikologis yang dipaparkan secara
terlampau ringan, sudah menyebar di kalangan umum [terlanjur menjadi sugesti],
tidak memecahkan masalah, dan digunakan sebatas untuk memudahkan saja. Nah,
konsep yang dijabarkan dalam Tenet
terkesan seperti Pop-psikologi. Contohnya adalah penggunaan paradoks seorang
kakek: jika seseorang kembali ke masa lalu dan membunuh kakeknya, maka apakah
dia akan lahir dan membunuh kakeknya itu? Bukannya digali lagi, tapi film ini
malah menyerah begitu saja dengan mengatakan, “itu tidak ada jawabannya karena
itu paradoks”. Kita tahu itu paradoks, tapi di film harus ada jawabannya,
posisi filmnya, ada di mana. Jadi, film itu bisa memberikan jawaban bahwa
paradoks itu ternyata membuat si cucu tidak dilahirkan dan mengubah susunan
waktu. Hal inilah yang dilakukan oleh Back
to the Future, sehingga konsekuensi setiap tindakan tokohnya menjadi jelas
dan penonton menjadi peduli karena mereka tahu apa konsekuensinya jika mengubah
susunan waktu. Sama halnya dalam film Terminator
1-3, segala bentuk pengubahan masa lalu akan berdampak di masa depan, jadi
para mesin SkyNet mengirimkan Terminator untuk menghabisi nyawa John Connor di
masa lalu. Peran sosok antagonis dalam Tenet
juga tidak dieksplorasi sehingga menjadi kulit kacang kosong. Padahal, film ini
berdurasi 2,5 jam. Itu sangat lama, tapi masih tidak bisa konsisten dan tidak
bisa mengeksplorasi konsep secara mendalam sehingga kemungkinan besar penonton
akan bingung.
Universal/Amblin/all rights reserved. |
03 Casting Choice and Acting
Tidak
ada keluhan pada pemilihan aktor. Namun potensi Kenneth Branagh yang merupakan
seorang pembuat film sekaligus aktor, Robert Pattinson yang berhasil
menunjukkan fleksibilitas karakter setelah selesai bermain di Twilight, hingga Aaron Taylor yang sebelumnya
sudah berperan sebagai anggota militer di Godzilla,
seperti dibuang sia-sia karena alur cerita yang tidak konsisten sehingga banyak
dialog mereka yang “kelihatannya [kedengarannya]” sarat akan makna yang dalam,
tapi sebetulnya tidak ada artinya alias kosong [bukan “deep” tapi “dumb”, bukan
“meaningful” tapi “meaningless”—akhirnya menjadi pretentious, “berlagak” atau
“mengaku-aku” deep tapi sebetulnya dumb].
04 Music Match
Pemilihan
musik dalam film ini salah tempat karena membuat adegan yang sudah berantakan
menjadi semakin belepotan. Adegan yang mencekam justru diiringi musik yang
konyol dan seringkali mengganggu. Misalnya, dalam adegan adu tembak, musik
dimainkan padahal ada bagian-bagian dari musik yang bisa mengecoh penonton
karena samar-samar mirip suara tembakan. Christopher Nolan yang, dengan berat
hati saya katakan sejujurnya, cenderung “sombong” dengan penggunaan musik dalam
film Dunkirk, ingin menonjolkan musik
karena ia bersikeras menampilkan film itu di bioskop. Lagi-lagi fokus film ini
bergeser, mau fokus ke cerita atau ke musik? Film ini tidak bisa menyatu dengan
musiknya secara baik atau dinamis, selalu terdengar “tidak pada tempatnya”.
Warner Bros./2020/all rights reserved. |
05 Cinematography Match
Dalam
film Inception, Interstellar, hingga Dunkirk,
Nolan selalu dipuji dalam menampilkan sinematografi. Namun dalam Tenet, tidak ada teknik yang istimewa
yang ditawarkan. Padahal, Nolan, sekali lagi dengan berat hati saya sampaikan,
sering sekali “menyombongkan” kualitas sinematografi di filmnya. Contohnya
dalam Dunkirk, ia bahkan lebih fokus
ke sinematografi ketimbang alur cerita. Alhasil filmnya tidak memiliki “jiwa”
dan kosong melompong. Tapi setidaknya dalam Dunkirk
ada banyak poin sinematografi yang benar-benar memanjakan mata. Tenet? Tidak ada. Adegan kejar-kejaran
mobil sudah lebih dulu digebrak oleh The
Matrix Reloaded dan banyak film aksi lainnya, sehingga tidak ada yang
istimewa. Konsepnya yang tidak jelas malah membuat adegan yang semestinya mengagumkan
menjadi membingungkan. Poin ini nanti berkaitan dengan poin special effects
yang termasuk rendering dan format
penyajian filmnya.
06 Costume Design
Tidak
ada keluhan dalam poin pemilihan kostum.
07 Background/Set Match
Tidak
ada keluhan dalam pemilihan latar belakang.
08 Special and/or Practical Effects
Tidak
ada keluhan dalam penggunaan efek komputer. NAMUN, ada keluhan dalam rendering
akhir dan format penyajian filmnya. Dari grafik hingga warna dari keseluruhan
film sudah sangat bagus sehingga patut dipuji. Hanya saja, film ini memiliki
format ukuran layar yang berbeda-beda tergantung adegannya. Hal seperti ini
sebetulnya bagus karena Tenet
dimaksudkan untuk dinikmati di layar IMAX. Misalnya, dalam film Transformers Revenge of the Fallen,
adegan dialog antar manusia disajikan dalam format standar gambar diapit dua
garis hitam [di layar LED disebut Wide Screen 16:9]. Namun dalam adegan aksi
pertarungan robot, kedua garis hitam itu hilang menampilkan layar penuh [Full
Screen]. Tentu saja penonton bisa merasakan sensai yang berbeda. Contoh lain
yang lebih menarik adalah dalam film Life
of Pi. Kuncinya adalah, film-film ini memilih adegan tertentu yang spesifik
untuk ditampilkan dengan format layar yang berbeda. Dalam Tenet, perubahan ukuran ini terjadi terlalu sering dan potongan
adegannya terlalu cepat sehingga bukannya menakjubkan, malah mengganggu mata
dan justru terkesan aneh. Saking seringnya terjadi perubahan, penonton sudah
tidak tertarik lagi dengan perubahan-perubahan itu karena tidak ada yang
istimewa atau bisa ditonjolkan. Dalam Transformers,
adegan pertarungan dibuat lebar karena layar yang lebih lebar akan menguatkan
kesan spektakuler filmnya, sedangkan dua garis hitam saat berdialog akan
menguatkan kesan keseriusan filmnya. Dalam Tenet?
Tidak begitu jelas.
Warner Bros./2020/all rights reserved. |
09 Audience Approval
Di
sinilah letak permasalahan dalam menilai film-film karya Nolan. Citra
sutradaraa ini sudah dibangun begitu kuat sehingga orang akan mengamini apa-apa
yang diklaim oleh Nolan karena mereka mau terlihat Sophisticated. Dalam berbagai kesempatan, saya menemukan pengakuan
orang yang takut “mengakui” kalau
mereka tidak suka Dunkirk karena
tidak mau dianggap “bodoh”. Ini berkaitan dengan poin Tujuan Sutradara di nomor
10. Dari luar, film ini mendapat tanggapan beragam cenderung positif dari
penonton. Namun dari dalam, diamati dari berbagai ulasan dan review YouTube,
banyak sekali penonton yang sebenarnya kecewa dan mulai menyadari seberapa “pretentious” Christopher Nolan. Saya
sendiri berat sekali mengakui ini, karena saya menyukai Interstellar dan trilogi The
Dark Knight, sehingga saya sebetulnya tidak punya masalah apapun dengan
Nolan, hanya menyampaikan apa adanya.
10 Intentional Match
Definisi
kata “pretentious” sulit sekali saya
temukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Seseorang yang pretentious akan bertingkah atau mengaku-aku
sophisticated, tapi sebetulnya tidak.
Hal ini banyak menjangkit kalangan seniman. Mereka mengiklankan karya mereka
sebagai sesuatu yang bernilai seni tinggi, tapi sebetulnya tidak—sangat
mencirikan seni post-modern yang ambigu dan semaunya sendiri. Saya mulai
mengkritik Nolan soal sikap pretentious-nya dalam film Dunkirk. Ia mengiklankan film ini sebagai sebuah film ambisius
dengan tingkat eksperimen tinggi yang jarang ditemui di perfilman Hollywood. Ia
ingin berfokus pada sisi sejarah dan tidak mau ada alur cerita yang terpusat.
Tujuan dia sudah salah kaprah sejak awal. Kalau mau membuat sesuatu yang fokus
pada sejarah, buat saja film dokumenter atau reka ulang bergaya dokumenter yang
khusus ditayangkan di teater IMAX [seperti reka ulang kehidupan dinosaurus
dalam Walking with the Dinosaur, itu
pun selalu ada alur cerita dinosaurus mana yang mau dieksplorasi]. Nolan merasa
sudah berhasil membuat sebuah genre baru dan seolah-olah genre itu spektakuler,
padahal justru eksperimen dia itu menghancurkan potensi cerita yang bisa digali
dari filmnya. Hal seperti ini sering sekali dijumpai di film-film festifal.
Orang awam yang bingung saat menonton akan dihina/dihujat “kurang pandai” atau
“tidak sophisiticated” karena “gagal paham” dengan konsepnya yang bernilai seni
tinggi—padahal jika ditelusuri lagi, sebenarnya klaim itu kosong dan filmnya
memang benar-benar tidak jelas. Saya tidak menyukai sikap seperti ini,
melebih-lebihkan kedalaman makna suatu karya yang sebenarnya dangkal atau tidak
sedalam yang diklaim.
Nolan/2008/TDK/Warner Bros./all rights reserved. |
ADDITIONAL CONSIDERATIONS
[Lima poin tambahan ini bisa menambah dan/atau mengurangi
sepuluh poin sebelumnya. Jika poin kosong, maka tidak menambah maupun
mengurangi 10 poin sebelumnya. Bagian ini adalah pertimbangan tambahan
Skywalker, maka ditambah atau dikuranginya poin pada bagian ini adalah hak
prerogatif Skywalker, meskipun dengan pertimbangan yang sangat matang]
01 Skywalker’s Schemata
Saya
menonton banyak sekali film bahkan yang di luar genre kesukaan saya. Saya
menonton drama Korea, film murah[an] yang hanya dijual dalam bentuk DVD,
dokumenter, film populer, festival, bahkan Barbie
the movie saya tonton karena saya membangun schemata yang lebih baik. Jadi
ketika saya menonton film, schemata otak saya akan otomatis mencocokkan film
tersebut dengan database film yang pernah saya tonton. Schemata saya
mengelompokkan mana drama, mana komedi romantis, mana thriller yang baik sesuai
koridornya. Jika ada cacat atau ketidaksesuaian, maka schemata saya akan bereaksi
membandingkan dengan film yang lebih unggul dan mencari tahu kenapa film
sebelumnya unggul dan film baru ini tidak. Dalam menonton Toy Story 4, misalnya, saya akan membandingkan dengan Toy Story 1-3 dan film PIXAR lainnya.
Saya akan melihat apa sih yang membuat Toy
Story 1-3 begitu bagus yang tidak dimiliki oleh Toy Story 4. Schemata saya mencocokkan Tenet dengan database film dan hasilnya negatif. Dengan berat hati
saya menggunakan hak saya untuk mengurangi dua poin dari keseluruhan poin film Tenet.
Warner Bros./2017/all rights reserved. |
02 Awards
Sampai
artikel ini dirilis, masih terlalu dini untuk menentukan.
03 Financial
Terganjal
pandemi. Meskipun perolehan uang Tenet
melebihi biaya produksinya, namun dilaporkan bahwa film itu tetap gagal karena
penghasilannya paling “mentok” hanya untuk tutup modal. Perlu diingat bahwa
dana pembuatan film besar membutuhkan dana marketing yang besar pula. Namun
karena film ini dirilis kala pandemi yang mengurangi potensi pemasukan dari
bioskop, maka hal ini sangat dimaklumi. Hal yang sama terjadi pada film-film
Disney semasa Perang Dunia II yang gagal bukan karenaa kualitasnya jelek, tapi
karena bioskop-bioskop terpaksa tutup dan nonton film bukan prioritas di kala
itu yang serba kesusahan.
04 Critics
Dengan
berat hati saya sampaikan bahwa poin ini berkaitan erat dengan poin penonton
dan Tujuan Sutradara. Sejak awal saya sudah menduga, melihat reaksi masyarakat
di film Dunkirk, saya menduga sejelek
apapun Tenet, orang termasuk kritikus
akan merasa “berkewajiban” memuji film ini. Seperti ada tekanan tersendiri
kalau sampai memberikan respon negatif.
05 Longevity
[Pending—drama
masih berusia di bawah 10 tahun]
Final Score
Skor
Asli : 5/10
Skor
Tambahan : -2
Skor
Akhir : 3/10
Film
ini dari segi teknis tidaklah jelek. Tenet
menyuguhkan visual yang memukau. Lantas kenapa Cuma dapat 3? Itu karena saya
melihat skala film ini. Ini adalah film berbiaya tinggi yang dibuat oleh
sutradara papan atas yang mengaku Sophisticated.
Maka, ekspektasi penonton terlanjur tinggi. Untuk ukuran film dengan dana biasa
oleh sutradara yang sikapnya biasa saja, film ini sudah bagus. Tapi untuk
ukuran Nolan, film ini jauh dari potensi terbesarnya. Mestinya Nolan tidak
“pamer” duluan sehingga kritikus tidak memposisikannya terlalu di atas. Jika
terlalu tinggi, saat jatuh rasanya akan lebih sakit. Nolan bersikeras menekan
studio supaya Tenet tetap ditayangkan
di bioskop meskipun terjadi pandemi. Memang film ini sempat tampil di bioskop,
tapi secara terbatas. Toh nyatanya dijual lewat streaming juga. Saya justru
lebih menyukai Quentin Tarantino—filmnya gila
ya gila saja, tidak perlu dibungkus sikap terlalu sophisticated memandang rendah penonton seolah-olah penonton itu
bodoh dan tidak akan paham [karyaku tidak jelek, kamu saja yang tidak paham!].
Alur cerita film ini memang membingungkan dan rumit, padahal bisa
disederhanakan. Pada akhirnya memang misteri di awal akan terungkap, namun
melihat durasi dan penyampaian yang kesannya dragged [dimelarkan, bisa diringkas tapi malah diperumit], penonton
harus ekstra sabar dalam menonton film ini. Saya bisa mengapresiasi The Tree of Life karya Terrence Malick
dan bisa bersabar menunggu alur cerita berjalan karena sutradara mau
mempertontonkan visual kepada penonton. Namun saya tidak bisa sabar menanti Tenet dan harus berkali-kali mumbling, “Please, movie, make sense!
Make sense now!”
***
Edisi
Review Singkat
Edisi
ini berisi penilaian film menggunakan pakem/standar penilaian Skywalker Hunter
Scoring System yang diformulasikan sedemikian rupa untuk menilai sebuah karya
film ataupun serial televisi. Karena menggunakan standar yang baku, edisi
review Skywalker akan jauh lebih pendek dari review Nabil Bakri yang lainnya
dan akan lebih objektif.
©Nabil Bakri Platinum.
Teks ini dipublikasikan dalam Nabil Bakri Platinum [https://nabilbakri.blogspot.com/] yang diverifikasi Google dan dilindungi oleh DMCA.
Nabil Bakri Platinum tidak bertanggung jawab atas konten dari
link eksternal yang ada di dalam teks ini—termasuk ketersediaan konten video
atau film yang dapat berubah sewaktu-waktu di luar kendali Nabil Bakri
Platinum.