Oleh Nabil Bakri
OVERTURE
(Karena Overture
ini panjang dan “ngomong ke sana-ke mari, untuk langsung melihat daftar film,
lewati Overture ini)
Setelah Apocalypse (kiamat/kehancuran), ada tiga
kemungkinan bagi umat manusia: Post-apocalyptic
Future di mana tatanan sosial manusia hancur dan kita hidup bak di hutan
belantara, Dystopian Future di mana
tatanan baru yang menindas muncul, dan Extinction
di mana umat manusia benar-benar musnah.
Kita tidak pernah bisa memprediksi masa depan. Bahkan
dengan teknologi canggih sekalipun, hal-hal yang bersifat alami seperti gempa
bumi, gungung meletus, hingga angin ribut tidak bisa diprediksi sampai 100%
akurat dan selalu meninggalkan celah untuk adanya kesalahan perhitungan. Hal
yang sama juga berlaku untuk bencana yang sifatnya politik-sosial misalnya
perang, kelaparan, genosida, hingga krisis ekonomi. Kita bisa belajar banyak
dari sejarah, melihat bagaimana tanda-tanda gunung akan meletus dan melihat
catatan sejarah perbankan untuk memprediksi krisis keuangan. Tapi pada
kenyataannya, kita tidak pernah tahu pasti. Yang kita ketahui adalah
bencana-bencana itu “suatu saat” pasti terjadi walau entah kapan. Sejak terjadi
krisis global di tahun 2008-2009, banyak pihak yang beranggapan bahwa krisis
itu sebetulnya tidak bisa dihilangkan dan malah “dipelihara”, dijaga supaya
tidak “meledak” (ekonomi yang lesu akibat banyak pengangguran dan menumpuknya
hutang menurunkan daya beli—maka pemerintah menurunkan suku bunga bank supaya
orang yang sudah kebanyakan hutang bisa hutang terus menerus, jika ekstrem bisa
sampai 0% bahkan minus atau negatif—uang di data komputer perbankan hanya angka
saja dan tidak ada barangnya di dunia nyata—bank kesulitan karena banyak yang
tidak mampu membayar hutang dan nasabah ketakutan lalu bersamaan mengambil uang
yang mana uang itu tidak ada, hanya angka saja di komputer—pemerintah membantu
bank dengan bail-out atau membeli
saham bank dengan Quantitative Easing
atau cetak uang dari angin kosong, uang yang “dipinjam” dari generasi yang
belum lahir dengan asumsi generasi mendatang akan mampu menjamin nilai tukar
uang “mainan” ini—sistim ekonomi global terutama Amerika adalah sebuah balon
yang diisi angin tiada henti sejak krisis 2008—apa yang terjadi kalau balon
terus menerus diisi? Kalau tidak berhenti sekarang, balon itu akan meledak,
makin besar balonnya, makin besar ledakannya). Layaknya gunung berapi, walau
seberapa banyak batu yang kita tuangkan ke dalam lubang magma, kalau sudah
waktunya meletus tetap akan meletus dan malah semakin kita tunda akan semakin
dahsyat hasilnya. Hal inilah yang terjadi di bidang perekonomian global.
Percaya tidak percaya, prediksi akan meletusnya Perang
Dunia III sudah muncul sejak Perang Dingin AS-Uni Soviet (maka kala itu dibuat Doomsday Clock, sebuah jam imajiner yang
jarumnya terus diganti mengikuti iklim politik—kalau jarum sudah di angka 12
semua, itu berarti Doomsday sudah
atau sedang terjadi), dan prediksi akan kehancuran ekonomi sudah muncul sejak
tahun 70-an ketika Presiden Richard Nixon memutuskan untuk tidak memakai emas (gold standard) sebagai standar mata uang
dollar melainkan cadangan minyak (petro-dollar)
(hal ini berpotensi memicu ketidakstabilan ekonomi dunia karena kurs standar
internasional adalah dollar yang dianggap paling stabil—padahal tidak). Semua
prediksi itu sampai sekarang belum terjadi, tapi rasanya sudah semakin dekat. Pemerintah
Amerika dihadapkan pada situasi sulit karena negaranya (dan seluruh dunia)
dibangun di atas hutang. Jumlah uang yang mencapai trilyunan dollar itu tidak
ada wujudnya dan hanya digit angka di sistim komputer saja. Kita berada pada
masa di mana uang mungkin tidak ada harganya.
(Picture belongs to Medium https://medium.com/datadriveninvestor/no-job-is-safe-from-automation-b72e4a56830b) |
Angka pengangguran terus meningkat karena lapangan
pekerjaan semakin sedikit akibat kemajuan teknologi. Contoh sederhana adalah
dalam industri film. Dulu, hasil ekonomi satu judul film akan dibagi ke
berbagai pihak. Misalnya film A dari studio Disney mendapat keuntungan total $1
milyar. Tapi tidak semua keuntungan itu masuk ke kantong Disney. Uang itu
dibagi untuk bisnis bioskop, lisensi distribusi DVD di berbagai negara (uang
masuk ke produsen DVD, juga kurir yang mengantar DVD ke toko-toko dan rental),
toko-toko DVD dan rental yang menyerap tenaga kerja, dan mungkin warga sekitar
yang menitipkan produk makanan di kios-kios DVD. Di tahun 2000an, munculnya
internet sangat membantu karena bukannya menggusur skema bisnis DVD yang sudah
ada, tapi meningkatkan peluang bisnis. Kini, dengan adanya streaming, uang yang
seharusnya mengalir ke berbagai pihak bisa langsung dimiliki oleh satu pihak
yakni studio itu langsung. Dengan adanya Netflix, uang $1 milyar yang dulu
mengalir sampai ke 6 sektor, cukup tiga sektor saja yakni
Bioskop-Studio-Netflix. Netflix sendiri juga membuat film (Netflix menjadi
studio) yang tidak dirilis di bioskop, jadi semua keuntungan akan langsung
masuk ke Netflix. Langkah yang sama dilakukan studo lain dimulai dari Disney
yang membuat jasa streaming sendiri yaitu Disney+.
Hal ini memungkinkan untuk memangkas lagi pembagian keuntungan, “dari Disney
(sebagai studio pencipta), oleh Disney (sebagai pengedar tunggal tanpa perlu
bioskop bahkan tidak perlu Netflix lagi), untuk Disney (semua keuntungan $1
milyar tadi semua diraup oleh Disney)”. Skema inilah yang gencar diterapkan
sejak pertengahan 2000-an sapai sekarang. Hasilnya adalah angka pengangguran
meningkat, tapi gaji CEO atau dirut perusahaan rata-rata naik. Dulu, gaji dirut
biasanya 10-20 kali lipat gaji karyawan. Sekarang, gajinya bisa 60-100 kali
lipat (bahkan mungkin lebih) dari gaji karyawan.
(Photo belongs to BBC) |
Hal itu terjadi bukan cuma di bisnis film, tapi hampir
di semua skema bisnis. Awal 2000an adalah masa unik di mana teknologi modern
dan skema tradisional bisa hidup berdampingan dan saling menguntungkan. Saat
ini, itu semua tidak bisa dilakukan karena teknologi menggeser skema bisnis
tradisional (bisnis tradisional membutuhkan interaksi social, sedangkan
ternyata kita semakin suka interaksi virtual saja tidak perlu tatap muka). Berapa
banyak produk yang punah akibat smartphone
yang berisi macam-macam aplikasi? Tidak perlu munafik bahwa kita memang sangat
terbantu dengan kemajuan teknologi (termasuk artikel ini bisa terbit berkat
teknologi, kalau jaman dulu mau menerbitkan artikel saja harus lewat penerbit
resmi dan tidak ada jaminan bisa terbit), tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa
teknologi akan merampas sebagian besar pekerjaan manusia dan kita belum siap
untuk itu karena banyak hal: populasi manusia terlalu banyak, sistim pendidikan
sudah using dan tidak menjamin kesuksesan, kita cenderung semakin suka yang
instan dan tidak suka berusaha. Kita tidak yakin apa yang kita mau, kita tidak
yakin akan masa depan kita sendiri. Kita diberi kebebasan, tapi banyak dari
kita mulai bingung mau diapakan kebebasan itu dan ingin kembali ke era di mana
ada aturan dan pimpinan yang tegas dan tidak bisa diganggu-gugat. Di Indonesia,
muncul seruan “Penak jamanku!” yang mengacu pada era Presiden Soeharto yang
susah payah digulingkan karena otoriter dan korup. Di negara Barat pun muncul
seruan untuk mendukung Sosialis Komunis padahal kita semua tahu Amerika dulunya
sangat anti dengan komunis (bahkan ada Neo-Nazi dan KKK). Ada apa dengan dunia
kita ini?
(Neo-Nazi march in the US, photo belongs to The Daily Beast) |
Masa-masa ketidakjelasan, kejenuhan, dan ketidakpuasan seperti ini pernah terjadi berulang kali dan selalu terjadi di penghujung sebuah peradaban. Apakah peradaban kita akan hancur? Jawaban singkatnya adalah: iya. Hanya saja kita tidak bisa memastikan kapan—tapi tanda-tandanya sudah jelas sekali. Dalam kisah nyata kaisar Caligula digambarkan sebuah peradaban yang tidak lagi punya pegangan, tidak ada kejelasan tentang baik dan buruk, relasi laki-laki dan perempuan (Caligula sendiri menganggap dirinya bak Tuhan karena bisa memiliki istri dan suami sekaligus), kaya dan miskin, dan lain-lain. Akademisi dan aktivis Camille Pagglia menyatakan bahwa dalam semua peradaban Romawi kuno, ketika patung-patung mulai tidak jelas—patung laki-laki yang dulunya gagah seperti Hercules menjadi gemulai seperti laki-laki feminin, itu pertanda jelas peradaban tersebut akan musnah (bagaimana penampilan F4 di Meteor Garden 2001 berubah drastis di F4 Meteor Garden 2018, penampilan maskulin mulai digeser oleh penampilan femininn—dan pemerintah China yang cenderung Konservatif Confucian sempat menuding Barat (Western Culture) termasuk CIA telah mengubah ciri alami laki-laki yang kini populer disebut Beta-male (kebalikan dari Alpha-male), Soy-boy (bocah kedelai yang mencla-mencle tidak jelas seperti mi basah—kebanyakan adalah vegan yang tidak mau minum susu sapi dan hanya mau minum susu kedelai), dan Snowflakes (manusia lemah yang mudah terkena panas dan meleleh)). Amerika, misalnya, dibangun oleh kaum religius (Puritan) yang kabur dari Inggris untuk bisa melaksanakan ibadah dengan bebas. Amerika, pada dasarnya, dibangun atas nilai agama yang kental. Jika Amerika sampai pada titik menafikan moralitas (mengubah ajaran injil dimulai dari penciptaan manusia bukan lagi Adam dan Hawa (Adam and Eve) tetapi Adam dan Hilman (Adam and Steve), semua orang berhak menafsirkan injil sesukanya untuk menjustifikasi kepentingannya, bahkan kini masyarakat konservatif Amerika dianggap musuh besar masyarakat liberal Amerika yang menganggap agama adalah penindasan—dan sebagian besar media Barat adalah liberal), maka ia menafikan jati dirinya sendiri dan tinggal menunggu waktu untuk runtuh (di sisi lain China justru kembali ke akar budayanya—entah bagi kita baik atau buruk—dan justru semakin maju). (OVERTURE BERAKHIR DI SINI)
***
10 Film Dystopian
Paling Populer
Apa yang terjadi pasca runtuhnya peradaban ternyata
memiliki daya tariknya sendiri bagi pengamat dan sastrawan. Istilah Post-Apocalyptic dipakai untuk
menggambarkan situasi kacau sehabis kehancuran suatu peradaban. Tidak ada
aturan jelas dan semua serba kacau. Di sisi lain, ada Dystopian future yang menggambarkan peradaban baru pasca Apocalypse atau “kiamat” yang justru
mengecewakan atau menindas kaum tertentu—tatanan dunia baru yang bukannya Utopia tetapi kebalikannya (maka
dipakailah istilah Dystopian).
Semenjak Perang Dunia II, penulis George Orwell sudah memikirkan kemungkinan
ini, apa jadinya kalau tatanan baru muncul dan menindas semua orang? CCP China,
saat ini, mulai mendominasi suara di PBB dan gencar menerapkan pengawasan
intensif pada setiap individu, sebuah gambaran yang seolah diambil langsung
dari cerita novel 1984. Jika kita terpaksa menjadi saksi meletusnya
Perang Dunia III karena kekuatan internasional berusaha saling menjatuhkan
untuk menjadi nomor satu, apa yang akan terjadi setelahnya? Bagaimana jika CCP
China memenangkan Perang dan menggeser posisi Amerika sebagaimana dulu Amerika
menggeser Inggris?
Studio Hollywood tentu suka sekali menggelitik
imajinasi kita soal kemungkinan-kemungkinan dunia Dystopia pasca kehancuran.
Berikut saya sampaikan 10 film bertema dystopian paling populer.
10. In Time (2011) [baca review selengkapnya DI SINI]
Film ini bercerita tentang dunia di mana waktu adalah
uang—secara harfiah. Dikisahkan bahwa di masa depan, manusia berhasil
menciptakan kemungkinan untuk bisa hidup abadi yakni dengan merekayasa genetik
manusia. Semua orang akan berhenti menua di usia 25 tahun dan sejak ulang tahun
ke-25, usianya tidak lagi ditentukan oleh alam melainkan oleh waktu. Semua itu
tergambar jelas di lengan semua orang, lengan mereka memiliki jam permanen
seperti tato yang terus berdetak. Kalau mau tetap hidup, jam itu tidak boleh
mati alias sampai 00:00. Untuk mendapatkan waktu, orang harus bekerja, maka
nilai tukar bukan lagi uang melainkan waktu. Tentu saja hal ini bukannya
memudahkan malah menyulitkan karena bagi pekerja biasa, buruh, atau
pengangguran, mereka mungkin tidak akan hidup sampai 30 tahun. Mengkritik
sisitim perekonomian kita, film ini menampilkan pembagian strata sosial menjadi
beberapa distrik di mana distrik satu adalah distrik paling kaya yang diisi
para bankir. Mereka menyediakan jasa pinjam (hutang) untuk para buruh yang
jelas-jelas tidak akan mampu membayar hutang dengan bunga. Hasilnya, banyak
orang mati sementara banyak bankir yang hidup ratusan, ribuan, bahkan jutaan
tahun. Film In Time mengangkat
situasi sosial kita ke bingkai yang lebih ekstrem. Menampilkan bintang musik sekaligus
aktor Justin Timberlake, aktris cantik Amanda Seyfried (Mamma Mia! The Movie), dan actor Cillian Murphy (28 Days Later), film ini menjanjikan
performa akting yang baik. Hanya saja, film ini tidak begitu disukai oleh
kritikus, mungkin karena isu yang diangkat. Apalagi, sejak 2018 mulai beredar
informasi adanya “permainan” di dunia kritik film di mana kritik bisa “dibeli”
oleh pihak yang berkepentingan. Contoh nyata adalah situs review Rotten Tomatoes yang “membungkam” opini
penonton dengan menghilangkan opsi suara penonton dan hanya menampilkan opsi
kritikus yang sudah “dipoles” oleh perusahaan film. Hal ini jelas sekali muncul
saat pertarungan antara Captain Marvel
dan Alita: Battle Angel naik ke
permukaan. Aktris Captain Marvel
yaitu Brie Larson yang merupakan seorang feminis tulen, terang-terangan
menghina kaum Adam di berbagai kesempatan. Pihak yang membalas Brie Larson
kemudian dibungkam dengan cara komentarnya dihapus, akunnya dinonaktifkan,
channel YouTubenya tidak bisa dimonetisasi, dan serangan-serangan lain baik
dari studio Disney maupun dari Brie Larson sendiri. Dekade 2010an menandakan
awal pembuat film bisa “membalas” kritik negatif dari penonton secara langsung.
Dulu biasanya pembuat film tidak terlalu peduli dengan ocehan penonton dan
memberikan kebebasan untuk memberikan kritik. Tapi, sekarang semua berubah
degan adanya social media.
9. Ender’s Game (2013)
Diangkat dari novel yang terbit tahun 1985, Ender’s Game bercerita tentang dunia
pasca serangan alien. Umat manusia merasa perlu membalas serangan dan
membinasakan para alien itu, sehingga dibentuklan akademi yang dipersiapkan
secara khusus untuk misi militer di luar angkasa. Akademi ini merekrut
anak-anak jenius dengan potensi luar biasa karena pertempuran melawan alien
akan melibatkan penggunaan teknologi canggih yang tidak mudah untuk
dioperasikan dan membutuhkan taktik jenius. Pemeran Han Solo dalam Star Wars dan Indy dalam Indoana Jones, Harrison Ford, berperan
merekrut aktor Asa Butterfield yang berperan sebagai Ender untuk menjadi
pemimpin tim untuk melaksanakan berbagai uji coba taktik menggunakan teknologi
canggih. Namun, ada sesuatu yang disembunyikan dari mereka semua. Karena film
ini diangkat dari novel, tentu banyak pembaca yang akan membandingkannya dengan
versi novel dan memang banyak sekali penggemar novel yang kecewa karena
adaptasinya tidak berhasil menangkap esensi novelnya. Walau demikian, dengan
performa pemain yang baik dan visual yang oke, film ini menarik untuk disimak.
8. Artificial Intelligence
(2001)
Sutradara kawakan Steven Spielberg (Empire of the Sun, Schindler’s List, Jurassic
Park, Indiana Jones), merilis
film berjudul Artificial Intelligence
menampilkan aktor cilik yang sedang naik daun kala itu, Haley Joel Osment
(saking naik daunnya, Spielberg berencana membuat flm Harry Potter dengan bintang Haley Joel OSment sebagai Harry, tapi
rencana itu batal dan produksi Harry
Potter dikerjakan oleh Chris Columbus dan Daniel Radcliff sebagai Harry).
Haley berperan sebagai sesosok robot dengan kecerdasan buatan. Dikisahkan bahwa
di masa depan, manusia dan kecerdasan buatan akan hidup berdampingan. Hanya
saja, para robot diciptakan untuk melakukan pekerjaan tertentu. Sebuah ide
muncul untuk menciptakan robot anak yang bisa dilatih untuk hidup layaknya anak
normal lengkap dengan perasaan dan kehendak layaknya seorang anak. Walau
bagaimanapun, walau apapun yang dilakukan olehnya, robot tetaplah robot dan
orang-orang terkasihnya tidak bisa menerimanya. Ia selalu “kurang”. Selain
mengeksplorasi sisi kemanusiaan dan probabilitas dalam penciptaan kecerdasan buatan,
film ini menampilkan masa depan suram bagi umat manusia dan dominasi kecerdasan
buatan. Meskipun memiliki konsep yang luar biasa menarik, eksekusi film ini
sebetulnya kurang mumpuni dengan cara penyampaian cerita yang tidak konsisten
(sebentar berkutat soal hubungan ibu dan anak, sebentar berkutat soal diskriminasi,
sebentar berkutat tentang sosio-politik, sebentar berkutat tentang akhir umat
manusia—terlalu banyak titik fokus yang dieksplorasi sehingga keseluruhan
cerita cenderung lemah). Tetapi, film ini merupakan film yang wajib ditonton
karena posisinya yang penting di sejarah industri perfilman Hollywood.
7. I, Robot (2004)
Satu lagi film soal kecerdasan buatan. Walau di
pertengahan 2010an petinggi perusahaan Tesla,
Elon Musk, menyatakan kekhawatiran akan perkembangan kecerdasan buatan yang
tidak terkendali, sebetulanya kekhawatiran semacam itu sudah ada sejak revolusi
industri yang dimulai dari fakta bahwa munculnya mesin telah menggeser posisi
manusia atau pekerja di berbagai bidang. Ketakutan itu semakin kompleks dan
semakin kuat lantaran perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat dan
penciptaan kecerdasan buatan. Kecerdasan yang populer disebut A.I (Artificial
Intelligence) ini dimaksudkan untuk menjadi sistim komputer yang cerdas, sebuah
sistim yang mampu belajar sendiri dan tidak memerlukan lagi input atau masukan
data atau kode dari user atau manusia. Kecerdasan seperti inlah yang
ditampilkan dalam film I, Robot yang
dibintangi Will Smith. Dikisahkan bahwa di masa depan, segala sesuatu diatur
oleh kecerdasan buatan bernama VIKI. Ia memiliki akses ke seluruh benda yang
berhubungan langsung dengan internet dan bisa mengendalikannya “untuk
kemaslahatan umat manusia”. Tercapailah sebuah titik di mana VIKI memandang
manusia sebagai makhluk yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri dan benar
saja, sementara otak manusia terbatas ukuran tengkoraknya, otak VIKI sebesar
gedung sehingga bisa memproses berbagai macam masalah dengan lebih baik dan lebih
efektif. Selain itu, masalah muncul ketika robot terbaru dirilis dan ternyata
robot itu memiliki “kehendak bebas” dan hati nurani, bahkan bisa bermimpi
layaknya makhluk hidup. Will Smith berperan sebagai detektif Spooner yang
menyelidiki kematian seorang penemu di bidang robot yang dianggap sebagai kasus
bunuh diri. Tapi, Spooner merasa ada yang janggal dan melihat besar kemungkinan
sesosok robot membunuh sang penemu dengan sengaja.
6. Alita: Battle Angel (2019)
Bumi dahulu mengalami perang besar dengan penghuni
planet lain dan berhasil menang. Akan tetapi, bumi dibagi menjadi dua yakni Sky
City (sebuah kota yang melayang di langit) dan Scrapeyard yang merupakan “tempat
sampah” buangan sisa dari Sky City. Dokter Dyson Ido menemukan seonggok robot
perempuan dan memperbaikinya. Ia menamai robot itu Alita. Ternyata, Alita
adalah robot dari planet lain dan berusaha belajar cara hidup di bumi. Dibantu
oleh kekasihnya Hugo, ia belajar cara manusia berinteraksi dan bagaimana caranya
bisa pergi ke Sky City. Film kolaborasi sutradara Robert Rodriguez (Spy Kids) dan produser James Cameron (Terminator 1&2, Avatar) ini diangkat dari manga cyberpunk karya Yukito Kishiro.
Alita menceritakan sebuah dunia dystophia di mana dunia dikendalikan oleh Nova
dari Sky City. Ia memiliki mata di mana-mana dan selalu mengawasi gerak-gerik
siapa saja terutama mereka yang berpotansi membahayakan Sky City atau Nova.
5. 1984 (1984)
Tidak perlu diragukan lagi bahwa kisah 1984 karya George Orwell merupakan salah
satu karya sastra penting yang mengkritik pemerintahan otoriter di dunia dystophia.
1984 bercerita tentang dunia setelah
perang besar, dunia di mana setiap individu punya perannya masing-masing dan
selalu diawasi selama 24 jam oleh Big Brother. Setiap sudut dipasang kamera
pengawas dan tiap individu benar-benar tidak bisa berbuat semaunya—kebebasan telah
mati. Bahkan saat orang merasa tidak diawasi dan berbuat hal yang tidak
diizinkan pemerintah, pemerintah sebetulnya tau hanya saja tidak langsung ambil
tindakan kalau belum benar-benar diperlukan. Tapi, siapa berani ambil risiko?
Salah sedikit bisa kena hukuman dan dipaksa bicara dengan tikus got yang
ditempel di atas perut supaya menggerogoti perut terdakwa kejahatan. 1984 mengikuti kisah Winston yang
hidupnya kosong dan ingin mengisinya dengan kehendak bebas—yang tentu saja
mustahil. Kalaupun bisa sekali-dua kali mengelabuhi pengawasan untuk bermain
cinta di tempat terpencil, suatu saat pasti akan ketahuan dan mendapat hukuman.
Film ini tidak begitu menarik minat penonton karena sama halnya dengan bukunya,
cerita 1984 sebetulnya cukup berat
dan membuthkan tenaga dan pikiran ekstra untuk mencernanya. Walau demikian,
tahun demi tahun kisah 1984 yang dulu hanya “fiksi”, kini perlahan-lahan tampak
menjadi nyata. Di CCP China, misalnya, setiap warga memiliki akun yang
dimonitor terus menerus oleh pemerintah. Hidup mereka dinilai dengan skor, jika
skor sangat rendah, mereka akan dicap rakyat tidak teladan dan fotonya akan
dipasang di jumbotron atau platform lain. Ini merupakan bukti nyata kegiatan “public
shaming” yang tidak ada bedanya dengan mengikat seorang terduga di tengah
lapangan untuk dilempari tomat busuk seperti masa abad pertengahan. Mereka yang
dinilai buruk oleh pemerintah akan mendapat sanksi sosial dan dijauhi orang
lain. Inilah mengapa banyak orang khawatir jika China menjatuhkan Amerika (yang
walau sama-sama memiliki catatan gelap soal kemanusiaan, Amerika lebih
fleksibel soal kebebasan karena dijanin konstitusi sedangkan CCP China pada
dasarnya adalah kominis), China akan menggenjot perkembangan jaringan 5G dari
Huawei ke seluruh dunia dan dengan begitu praktis China mengawasi gerak-gerik
setiap individu tidak hanya di negerinya sendiri tapi juga di Negara lain—dan tulisan
seperti ini bisa dihapus otomatis atau saya ditangkap.
4. Total Recall (1990)
Setelah berperan menjadi sosok militer di Predator dan sosok robot masa depan di Terminator, actor laga Arnold
Schwarzenegger berperan dalam film fiksi ilmiah dystopian Total Recall. Film ini mengisahkan rencana-rencana bengis perusahaan
besar dalam upaya melindung asetnya. Kalau semua bisa membayar, kenapa harus
digratiskan? Kalau perusahaan punya kendali atas semua orang, kenapa kendali
harus diberikan pada masyarakat? Seorang pekerja menyadari bahwa hidupnya
janggal, ia mulai menyadari bahwa pasangannya dan teman-temannya adalah palsu—orang
asing yang menyamar. Sejak itu, ia terus terlibat dalam aksi kejar-kejaran
mengungkap kebenaran.
3. Blade Runner (1982)
Pembuat film Alien,
Ridley Scott, menggandeng Harrison Ford (Han Solo, Indiana Jones) untuk berperan sebagai Rick Deckard yang harus
memburu manusia sintetis yang disebut Replicants yang bekerja di luar angkasa
dan kabur ke bumi. Berlatar di Los Angeles tahun 2019, digambarkan situasi
dunia yang berada di dalam dystopian world. Film ini bisa dibilang gagal
menarik minat penonton dan tidak mendapat keuntungan dari penayangan di
bioskop. Hanya saja, kini film ini memiliki basis penggemarnya sendiri dan
merupakan salah satu film dystopian yang paling berpengaruh.
2. Dredd (2012)
Lena Headey (pemeran Cersei di The Game of Thrones) berperan sebagai ratu ganja di dunia dystopia yang
kacau balau. Walau demikian, kejahatan tidak bisa dibiarkan begitu saja dan ada
hakim Dredd yang siap bertarung menumpas kejahatan—walau dengan cara yang bisa
dibilang kontroversial. Dredd sebenarnya diangkat dari komik strip dan sudah
pernah difilmkan sebelumnya. Dalam film tahun 2012 ini, jalan ceritanya mirip
sekali dengan The Raid dari
Indonesia. Lena Headey digambarkan menguasai sebuah apartemen kumuh. Karena
menjadi ratu pengedar obat-obatan terlarang, Hakim Dredd memburunya didampingi
juniornya yakni Hakim Anderson. Walau hanya berdua, mereka tidak bisa dianggap
remeh. Mereka pun tidak bisa menganggap remeh grup pengedar ganja itu karena
mereka menguasai seisi gedung. Ketika gedung itu akhirnya ditutup rapat dengan
perisai besi, baik Dredd dan pengedar ganja sama-sama terjebak dan harus saling
mengalahkan untuk bisa menjadi pemenang dalam pertempuran baik dan buruk. Cara
Hakim Dredd menghakimi para pengedar dan cara para pengedar melawan hakim,
menunjukkan ciri khas kisah dystopian di mana hukum yang ada tidak teratur dan
terus menerus menimbulkan konflik. Apabila pemerintah tidak bisa menguasai
warganya secara mutlak seperti 1984,
gesekan-gesekan kepentingan akan terus terjadi dan selama dunia masih kacau,
akan sulit mendapatkan perdamaian.
1. The Hunger
Games-Divergent-The Giver-Ready Player One-City of Ember-Maze Runner
Begitu sulit bagi saya untuk memilih salah satu dari 5
judul cerita di atas karena kesemuanya memiliki esensi cerita yang sama dan
sama-sama populer (dengan pengecualian City
of Amber). Kelima cerita ini menggambarkan dengan baik situasi dunia
dystopian. The Hunger Games
mengisahkan negeri pasca perang yang berakibat pada dipecahnya negeri menjadi
12 distrik yang harus melayani kota Capitol dan wajib mengikuti ajang sadis
Hunger Games tahunan di mana masing-masing distrik harus menyerahkan sepasang
peserta laki-laki dan perempuan untuk saling bunuh di arena dan hanya satu yang
akan hidup sebagai pemenang. Seri Divergent
memiliki konsep serupa di mana negeri dibagi menjadi beberapa faksi sesuai
keahliannya (sayangnya seri ini tidak dilanjutkan sampai selesai). The Giver merupakan “pendahulu” dari The Hunger Games dan Divergent, mengambil cerita yang
menyerupai 1984 tetapi dengan alur
yang lebih mudah untuk dipahami. Ready
Player One menggambarkan situasi di mana manusia sudah menganggap dunia
virtual sebagai dunia yang bahkan lebih penting dan nyata ketimbang dunia
nyata. City of Ember mengisahkan
dunia yang hancur memaksa umat manusia mengungsi ke bawah tanah. The Maze Runner menempatkan manusia di
posisi yang membingungkan di dalam sebuah labirin dan harus berusaha mencari
jalan keluar.
CODA
Tidak ada Coda, ya, sudah terlalu panjang. Tapi, saya
berencana membuat daftar 10 Film Apocalyptic
dan Post-Apocalyptic untuk melengkapi
saga artikel setelah 10 Film Wabah dan 10 Film Dystopian ini. Terima kasih.
All poster galleries belong to the film studios