10 Film Dystopian Paling Populer



Oleh Nabil Bakri


OVERTURE

(Karena Overture ini panjang dan “ngomong ke sana-ke mari, untuk langsung melihat daftar film, lewati Overture ini)

Setelah Apocalypse (kiamat/kehancuran), ada tiga kemungkinan bagi umat manusia: Post-apocalyptic Future di mana tatanan sosial manusia hancur dan kita hidup bak di hutan belantara, Dystopian Future di mana tatanan baru yang menindas muncul, dan Extinction di mana umat manusia benar-benar musnah.



Kita tidak pernah bisa memprediksi masa depan. Bahkan dengan teknologi canggih sekalipun, hal-hal yang bersifat alami seperti gempa bumi, gungung meletus, hingga angin ribut tidak bisa diprediksi sampai 100% akurat dan selalu meninggalkan celah untuk adanya kesalahan perhitungan. Hal yang sama juga berlaku untuk bencana yang sifatnya politik-sosial misalnya perang, kelaparan, genosida, hingga krisis ekonomi. Kita bisa belajar banyak dari sejarah, melihat bagaimana tanda-tanda gunung akan meletus dan melihat catatan sejarah perbankan untuk memprediksi krisis keuangan. Tapi pada kenyataannya, kita tidak pernah tahu pasti. Yang kita ketahui adalah bencana-bencana itu “suatu saat” pasti terjadi walau entah kapan. Sejak terjadi krisis global di tahun 2008-2009, banyak pihak yang beranggapan bahwa krisis itu sebetulnya tidak bisa dihilangkan dan malah “dipelihara”, dijaga supaya tidak “meledak” (ekonomi yang lesu akibat banyak pengangguran dan menumpuknya hutang menurunkan daya beli—maka pemerintah menurunkan suku bunga bank supaya orang yang sudah kebanyakan hutang bisa hutang terus menerus, jika ekstrem bisa sampai 0% bahkan minus atau negatif—uang di data komputer perbankan hanya angka saja dan tidak ada barangnya di dunia nyata—bank kesulitan karena banyak yang tidak mampu membayar hutang dan nasabah ketakutan lalu bersamaan mengambil uang yang mana uang itu tidak ada, hanya angka saja di komputer—pemerintah membantu bank dengan bail-out atau membeli saham bank dengan Quantitative Easing atau cetak uang dari angin kosong, uang yang “dipinjam” dari generasi yang belum lahir dengan asumsi generasi mendatang akan mampu menjamin nilai tukar uang “mainan” ini—sistim ekonomi global terutama Amerika adalah sebuah balon yang diisi angin tiada henti sejak krisis 2008—apa yang terjadi kalau balon terus menerus diisi? Kalau tidak berhenti sekarang, balon itu akan meledak, makin besar balonnya, makin besar ledakannya). Layaknya gunung berapi, walau seberapa banyak batu yang kita tuangkan ke dalam lubang magma, kalau sudah waktunya meletus tetap akan meletus dan malah semakin kita tunda akan semakin dahsyat hasilnya. Hal inilah yang terjadi di bidang perekonomian global.


Percaya tidak percaya, prediksi akan meletusnya Perang Dunia III sudah muncul sejak Perang Dingin AS-Uni Soviet (maka kala itu dibuat Doomsday Clock, sebuah jam imajiner yang jarumnya terus diganti mengikuti iklim politik—kalau jarum sudah di angka 12 semua, itu berarti Doomsday sudah atau sedang terjadi), dan prediksi akan kehancuran ekonomi sudah muncul sejak tahun 70-an ketika Presiden Richard Nixon memutuskan untuk tidak memakai emas (gold standard) sebagai standar mata uang dollar melainkan cadangan minyak (petro-dollar) (hal ini berpotensi memicu ketidakstabilan ekonomi dunia karena kurs standar internasional adalah dollar yang dianggap paling stabil—padahal tidak). Semua prediksi itu sampai sekarang belum terjadi, tapi rasanya sudah semakin dekat. Pemerintah Amerika dihadapkan pada situasi sulit karena negaranya (dan seluruh dunia) dibangun di atas hutang. Jumlah uang yang mencapai trilyunan dollar itu tidak ada wujudnya dan hanya digit angka di sistim komputer saja. Kita berada pada masa di mana uang mungkin tidak ada harganya.

(Picture belongs to Medium https://medium.com/datadriveninvestor/no-job-is-safe-from-automation-b72e4a56830b)

Angka pengangguran terus meningkat karena lapangan pekerjaan semakin sedikit akibat kemajuan teknologi. Contoh sederhana adalah dalam industri film. Dulu, hasil ekonomi satu judul film akan dibagi ke berbagai pihak. Misalnya film A dari studio Disney mendapat keuntungan total $1 milyar. Tapi tidak semua keuntungan itu masuk ke kantong Disney. Uang itu dibagi untuk bisnis bioskop, lisensi distribusi DVD di berbagai negara (uang masuk ke produsen DVD, juga kurir yang mengantar DVD ke toko-toko dan rental), toko-toko DVD dan rental yang menyerap tenaga kerja, dan mungkin warga sekitar yang menitipkan produk makanan di kios-kios DVD. Di tahun 2000an, munculnya internet sangat membantu karena bukannya menggusur skema bisnis DVD yang sudah ada, tapi meningkatkan peluang bisnis. Kini, dengan adanya streaming, uang yang seharusnya mengalir ke berbagai pihak bisa langsung dimiliki oleh satu pihak yakni studio itu langsung. Dengan adanya Netflix, uang $1 milyar yang dulu mengalir sampai ke 6 sektor, cukup tiga sektor saja yakni Bioskop-Studio-Netflix. Netflix sendiri juga membuat film (Netflix menjadi studio) yang tidak dirilis di bioskop, jadi semua keuntungan akan langsung masuk ke Netflix. Langkah yang sama dilakukan studo lain dimulai dari Disney yang membuat jasa streaming sendiri yaitu Disney+. Hal ini memungkinkan untuk memangkas lagi pembagian keuntungan, “dari Disney (sebagai studio pencipta), oleh Disney (sebagai pengedar tunggal tanpa perlu bioskop bahkan tidak perlu Netflix lagi), untuk Disney (semua keuntungan $1 milyar tadi semua diraup oleh Disney)”. Skema inilah yang gencar diterapkan sejak pertengahan 2000-an sapai sekarang. Hasilnya adalah angka pengangguran meningkat, tapi gaji CEO atau dirut perusahaan rata-rata naik. Dulu, gaji dirut biasanya 10-20 kali lipat gaji karyawan. Sekarang, gajinya bisa 60-100 kali lipat (bahkan mungkin lebih) dari gaji karyawan.

(Photo belongs to BBC)

Hal itu terjadi bukan cuma di bisnis film, tapi hampir di semua skema bisnis. Awal 2000an adalah masa unik di mana teknologi modern dan skema tradisional bisa hidup berdampingan dan saling menguntungkan. Saat ini, itu semua tidak bisa dilakukan karena teknologi menggeser skema bisnis tradisional (bisnis tradisional membutuhkan interaksi social, sedangkan ternyata kita semakin suka interaksi virtual saja tidak perlu tatap muka). Berapa banyak produk yang punah akibat smartphone yang berisi macam-macam aplikasi? Tidak perlu munafik bahwa kita memang sangat terbantu dengan kemajuan teknologi (termasuk artikel ini bisa terbit berkat teknologi, kalau jaman dulu mau menerbitkan artikel saja harus lewat penerbit resmi dan tidak ada jaminan bisa terbit), tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa teknologi akan merampas sebagian besar pekerjaan manusia dan kita belum siap untuk itu karena banyak hal: populasi manusia terlalu banyak, sistim pendidikan sudah using dan tidak menjamin kesuksesan, kita cenderung semakin suka yang instan dan tidak suka berusaha. Kita tidak yakin apa yang kita mau, kita tidak yakin akan masa depan kita sendiri. Kita diberi kebebasan, tapi banyak dari kita mulai bingung mau diapakan kebebasan itu dan ingin kembali ke era di mana ada aturan dan pimpinan yang tegas dan tidak bisa diganggu-gugat. Di Indonesia, muncul seruan “Penak jamanku!” yang mengacu pada era Presiden Soeharto yang susah payah digulingkan karena otoriter dan korup. Di negara Barat pun muncul seruan untuk mendukung Sosialis Komunis padahal kita semua tahu Amerika dulunya sangat anti dengan komunis (bahkan ada Neo-Nazi dan KKK). Ada apa dengan dunia kita ini?

(Neo-Nazi march in the US, photo belongs to The Daily Beast)

Masa-masa ketidakjelasan, kejenuhan, dan ketidakpuasan seperti ini pernah terjadi berulang kali dan selalu terjadi di penghujung sebuah peradaban. Apakah peradaban kita akan hancur? Jawaban singkatnya adalah: iya. Hanya saja kita tidak bisa memastikan kapan—tapi tanda-tandanya sudah jelas sekali. Dalam kisah nyata kaisar Caligula digambarkan sebuah peradaban yang tidak lagi punya pegangan, tidak ada kejelasan tentang baik dan buruk, relasi laki-laki dan perempuan (Caligula sendiri menganggap dirinya bak Tuhan karena bisa memiliki istri dan suami sekaligus), kaya dan miskin, dan lain-lain. Akademisi dan aktivis Camille Pagglia menyatakan bahwa dalam semua peradaban Romawi kuno, ketika patung-patung mulai tidak jelas—patung laki-laki yang dulunya gagah seperti Hercules menjadi gemulai seperti laki-laki feminin, itu pertanda jelas peradaban tersebut akan musnah (bagaimana penampilan F4 di Meteor Garden 2001 berubah drastis di F4 Meteor Garden 2018, penampilan maskulin mulai digeser oleh penampilan femininn—dan pemerintah China yang cenderung Konservatif Confucian sempat menuding Barat (Western Culture) termasuk CIA telah mengubah ciri alami laki-laki yang kini populer disebut Beta-male (kebalikan dari Alpha-male), Soy-boy (bocah kedelai yang mencla-mencle tidak jelas seperti mi basah—kebanyakan adalah vegan yang tidak mau minum susu sapi dan hanya mau minum susu kedelai), dan Snowflakes (manusia lemah yang mudah terkena panas dan meleleh)). Amerika, misalnya, dibangun oleh kaum religius (Puritan) yang kabur dari Inggris untuk bisa melaksanakan ibadah dengan bebas. Amerika, pada dasarnya, dibangun atas nilai agama yang kental. Jika Amerika sampai pada titik menafikan moralitas (mengubah ajaran injil dimulai dari penciptaan manusia bukan lagi Adam dan Hawa (Adam and Eve) tetapi Adam dan Hilman (Adam and Steve), semua orang berhak menafsirkan injil sesukanya untuk menjustifikasi kepentingannya, bahkan kini masyarakat konservatif Amerika dianggap musuh besar masyarakat liberal Amerika yang menganggap agama adalah penindasan—dan sebagian besar media Barat adalah liberal), maka ia menafikan jati dirinya sendiri dan tinggal menunggu waktu untuk runtuh (di sisi lain China justru kembali ke akar budayanya—entah bagi kita baik atau buruk—dan justru semakin maju). (OVERTURE BERAKHIR DI SINI)


***
10 Film Dystopian Paling Populer

Apa yang terjadi pasca runtuhnya peradaban ternyata memiliki daya tariknya sendiri bagi pengamat dan sastrawan. Istilah Post-Apocalyptic dipakai untuk menggambarkan situasi kacau sehabis kehancuran suatu peradaban. Tidak ada aturan jelas dan semua serba kacau. Di sisi lain, ada Dystopian future yang menggambarkan peradaban baru pasca Apocalypse atau “kiamat” yang justru mengecewakan atau menindas kaum tertentu—tatanan dunia baru yang bukannya Utopia tetapi kebalikannya (maka dipakailah istilah Dystopian). Semenjak Perang Dunia II, penulis George Orwell sudah memikirkan kemungkinan ini, apa jadinya kalau tatanan baru muncul dan menindas semua orang? CCP China, saat ini, mulai mendominasi suara di PBB dan gencar menerapkan pengawasan intensif pada setiap individu, sebuah gambaran yang seolah diambil langsung dari cerita novel 1984.  Jika kita terpaksa menjadi saksi meletusnya Perang Dunia III karena kekuatan internasional berusaha saling menjatuhkan untuk menjadi nomor satu, apa yang akan terjadi setelahnya? Bagaimana jika CCP China memenangkan Perang dan menggeser posisi Amerika sebagaimana dulu Amerika menggeser Inggris?

Studio Hollywood tentu suka sekali menggelitik imajinasi kita soal kemungkinan-kemungkinan dunia Dystopia pasca kehancuran. Berikut saya sampaikan 10 film bertema dystopian paling populer.


10. In Time (2011) [baca review selengkapnya DI SINI]

Film ini bercerita tentang dunia di mana waktu adalah uang—secara harfiah. Dikisahkan bahwa di masa depan, manusia berhasil menciptakan kemungkinan untuk bisa hidup abadi yakni dengan merekayasa genetik manusia. Semua orang akan berhenti menua di usia 25 tahun dan sejak ulang tahun ke-25, usianya tidak lagi ditentukan oleh alam melainkan oleh waktu. Semua itu tergambar jelas di lengan semua orang, lengan mereka memiliki jam permanen seperti tato yang terus berdetak. Kalau mau tetap hidup, jam itu tidak boleh mati alias sampai 00:00. Untuk mendapatkan waktu, orang harus bekerja, maka nilai tukar bukan lagi uang melainkan waktu. Tentu saja hal ini bukannya memudahkan malah menyulitkan karena bagi pekerja biasa, buruh, atau pengangguran, mereka mungkin tidak akan hidup sampai 30 tahun. Mengkritik sisitim perekonomian kita, film ini menampilkan pembagian strata sosial menjadi beberapa distrik di mana distrik satu adalah distrik paling kaya yang diisi para bankir. Mereka menyediakan jasa pinjam (hutang) untuk para buruh yang jelas-jelas tidak akan mampu membayar hutang dengan bunga. Hasilnya, banyak orang mati sementara banyak bankir yang hidup ratusan, ribuan, bahkan jutaan tahun. Film In Time mengangkat situasi sosial kita ke bingkai yang lebih ekstrem. Menampilkan bintang musik sekaligus aktor Justin Timberlake, aktris cantik Amanda Seyfried (Mamma Mia! The Movie), dan actor Cillian Murphy (28 Days Later), film ini menjanjikan performa akting yang baik. Hanya saja, film ini tidak begitu disukai oleh kritikus, mungkin karena isu yang diangkat. Apalagi, sejak 2018 mulai beredar informasi adanya “permainan” di dunia kritik film di mana kritik bisa “dibeli” oleh pihak yang berkepentingan. Contoh nyata adalah situs review Rotten Tomatoes yang “membungkam” opini penonton dengan menghilangkan opsi suara penonton dan hanya menampilkan opsi kritikus yang sudah “dipoles” oleh perusahaan film. Hal ini jelas sekali muncul saat pertarungan antara Captain Marvel dan Alita: Battle Angel naik ke permukaan. Aktris Captain Marvel yaitu Brie Larson yang merupakan seorang feminis tulen, terang-terangan menghina kaum Adam di berbagai kesempatan. Pihak yang membalas Brie Larson kemudian dibungkam dengan cara komentarnya dihapus, akunnya dinonaktifkan, channel YouTubenya tidak bisa dimonetisasi, dan serangan-serangan lain baik dari studio Disney maupun dari Brie Larson sendiri. Dekade 2010an menandakan awal pembuat film bisa “membalas” kritik negatif dari penonton secara langsung. Dulu biasanya pembuat film tidak terlalu peduli dengan ocehan penonton dan memberikan kebebasan untuk memberikan kritik. Tapi, sekarang semua berubah degan adanya social media.


9. Ender’s Game (2013)

Diangkat dari novel yang terbit tahun 1985, Ender’s Game bercerita tentang dunia pasca serangan alien. Umat manusia merasa perlu membalas serangan dan membinasakan para alien itu, sehingga dibentuklan akademi yang dipersiapkan secara khusus untuk misi militer di luar angkasa. Akademi ini merekrut anak-anak jenius dengan potensi luar biasa karena pertempuran melawan alien akan melibatkan penggunaan teknologi canggih yang tidak mudah untuk dioperasikan dan membutuhkan taktik jenius. Pemeran Han Solo dalam Star Wars dan Indy dalam Indoana Jones, Harrison Ford, berperan merekrut aktor Asa Butterfield yang berperan sebagai Ender untuk menjadi pemimpin tim untuk melaksanakan berbagai uji coba taktik menggunakan teknologi canggih. Namun, ada sesuatu yang disembunyikan dari mereka semua. Karena film ini diangkat dari novel, tentu banyak pembaca yang akan membandingkannya dengan versi novel dan memang banyak sekali penggemar novel yang kecewa karena adaptasinya tidak berhasil menangkap esensi novelnya. Walau demikian, dengan performa pemain yang baik dan visual yang oke, film ini menarik untuk disimak.


8. Artificial Intelligence (2001)
Sutradara kawakan Steven Spielberg (Empire of the Sun, Schindler’s List, Jurassic Park, Indiana Jones), merilis film berjudul Artificial Intelligence menampilkan aktor cilik yang sedang naik daun kala itu, Haley Joel Osment (saking naik daunnya, Spielberg berencana membuat flm Harry Potter dengan bintang Haley Joel OSment sebagai Harry, tapi rencana itu batal dan produksi Harry Potter dikerjakan oleh Chris Columbus dan Daniel Radcliff sebagai Harry). Haley berperan sebagai sesosok robot dengan kecerdasan buatan. Dikisahkan bahwa di masa depan, manusia dan kecerdasan buatan akan hidup berdampingan. Hanya saja, para robot diciptakan untuk melakukan pekerjaan tertentu. Sebuah ide muncul untuk menciptakan robot anak yang bisa dilatih untuk hidup layaknya anak normal lengkap dengan perasaan dan kehendak layaknya seorang anak. Walau bagaimanapun, walau apapun yang dilakukan olehnya, robot tetaplah robot dan orang-orang terkasihnya tidak bisa menerimanya. Ia selalu “kurang”. Selain mengeksplorasi sisi kemanusiaan dan probabilitas dalam penciptaan kecerdasan buatan, film ini menampilkan masa depan suram bagi umat manusia dan dominasi kecerdasan buatan. Meskipun memiliki konsep yang luar biasa menarik, eksekusi film ini sebetulnya kurang mumpuni dengan cara penyampaian cerita yang tidak konsisten (sebentar berkutat soal hubungan ibu dan anak, sebentar berkutat soal diskriminasi, sebentar berkutat tentang sosio-politik, sebentar berkutat tentang akhir umat manusia—terlalu banyak titik fokus yang dieksplorasi sehingga keseluruhan cerita cenderung lemah). Tetapi, film ini merupakan film yang wajib ditonton karena posisinya yang penting di sejarah industri perfilman Hollywood.


7. I, Robot (2004)

Satu lagi film soal kecerdasan buatan. Walau di pertengahan 2010an petinggi perusahaan Tesla, Elon Musk, menyatakan kekhawatiran akan perkembangan kecerdasan buatan yang tidak terkendali, sebetulanya kekhawatiran semacam itu sudah ada sejak revolusi industri yang dimulai dari fakta bahwa munculnya mesin telah menggeser posisi manusia atau pekerja di berbagai bidang. Ketakutan itu semakin kompleks dan semakin kuat lantaran perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat dan penciptaan kecerdasan buatan. Kecerdasan yang populer disebut A.I (Artificial Intelligence) ini dimaksudkan untuk menjadi sistim komputer yang cerdas, sebuah sistim yang mampu belajar sendiri dan tidak memerlukan lagi input atau masukan data atau kode dari user atau manusia. Kecerdasan seperti inlah yang ditampilkan dalam film I, Robot yang dibintangi Will Smith. Dikisahkan bahwa di masa depan, segala sesuatu diatur oleh kecerdasan buatan bernama VIKI. Ia memiliki akses ke seluruh benda yang berhubungan langsung dengan internet dan bisa mengendalikannya “untuk kemaslahatan umat manusia”. Tercapailah sebuah titik di mana VIKI memandang manusia sebagai makhluk yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri dan benar saja, sementara otak manusia terbatas ukuran tengkoraknya, otak VIKI sebesar gedung sehingga bisa memproses berbagai macam masalah dengan lebih baik dan lebih efektif. Selain itu, masalah muncul ketika robot terbaru dirilis dan ternyata robot itu memiliki “kehendak bebas” dan hati nurani, bahkan bisa bermimpi layaknya makhluk hidup. Will Smith berperan sebagai detektif Spooner yang menyelidiki kematian seorang penemu di bidang robot yang dianggap sebagai kasus bunuh diri. Tapi, Spooner merasa ada yang janggal dan melihat besar kemungkinan sesosok robot membunuh sang penemu dengan sengaja.


6. Alita: Battle Angel (2019)

Bumi dahulu mengalami perang besar dengan penghuni planet lain dan berhasil menang. Akan tetapi, bumi dibagi menjadi dua yakni Sky City (sebuah kota yang melayang di langit) dan Scrapeyard yang merupakan “tempat sampah” buangan sisa dari Sky City. Dokter Dyson Ido menemukan seonggok robot perempuan dan memperbaikinya. Ia menamai robot itu Alita. Ternyata, Alita adalah robot dari planet lain dan berusaha belajar cara hidup di bumi. Dibantu oleh kekasihnya Hugo, ia belajar cara manusia berinteraksi dan bagaimana caranya bisa pergi ke Sky City. Film kolaborasi sutradara Robert Rodriguez (Spy Kids) dan produser James Cameron (Terminator 1&2, Avatar) ini diangkat dari manga cyberpunk karya Yukito Kishiro. Alita menceritakan sebuah dunia dystophia di mana dunia dikendalikan oleh Nova dari Sky City. Ia memiliki mata di mana-mana dan selalu mengawasi gerak-gerik siapa saja terutama mereka yang berpotansi membahayakan Sky City atau Nova.


5. 1984 (1984)

Tidak perlu diragukan lagi bahwa kisah 1984 karya George Orwell merupakan salah satu karya sastra penting yang mengkritik pemerintahan otoriter di dunia dystophia. 1984 bercerita tentang dunia setelah perang besar, dunia di mana setiap individu punya perannya masing-masing dan selalu diawasi selama 24 jam oleh Big Brother. Setiap sudut dipasang kamera pengawas dan tiap individu benar-benar tidak bisa berbuat semaunya—kebebasan telah mati. Bahkan saat orang merasa tidak diawasi dan berbuat hal yang tidak diizinkan pemerintah, pemerintah sebetulnya tau hanya saja tidak langsung ambil tindakan kalau belum benar-benar diperlukan. Tapi, siapa berani ambil risiko? Salah sedikit bisa kena hukuman dan dipaksa bicara dengan tikus got yang ditempel di atas perut supaya menggerogoti perut terdakwa kejahatan. 1984 mengikuti kisah Winston yang hidupnya kosong dan ingin mengisinya dengan kehendak bebas—yang tentu saja mustahil. Kalaupun bisa sekali-dua kali mengelabuhi pengawasan untuk bermain cinta di tempat terpencil, suatu saat pasti akan ketahuan dan mendapat hukuman. Film ini tidak begitu menarik minat penonton karena sama halnya dengan bukunya, cerita 1984 sebetulnya cukup berat dan membuthkan tenaga dan pikiran ekstra untuk mencernanya. Walau demikian, tahun demi tahun kisah 1984 yang dulu hanya “fiksi”, kini perlahan-lahan tampak menjadi nyata. Di CCP China, misalnya, setiap warga memiliki akun yang dimonitor terus menerus oleh pemerintah. Hidup mereka dinilai dengan skor, jika skor sangat rendah, mereka akan dicap rakyat tidak teladan dan fotonya akan dipasang di jumbotron atau platform lain. Ini merupakan bukti nyata kegiatan “public shaming” yang tidak ada bedanya dengan mengikat seorang terduga di tengah lapangan untuk dilempari tomat busuk seperti masa abad pertengahan. Mereka yang dinilai buruk oleh pemerintah akan mendapat sanksi sosial dan dijauhi orang lain. Inilah mengapa banyak orang khawatir jika China menjatuhkan Amerika (yang walau sama-sama memiliki catatan gelap soal kemanusiaan, Amerika lebih fleksibel soal kebebasan karena dijanin konstitusi sedangkan CCP China pada dasarnya adalah kominis), China akan menggenjot perkembangan jaringan 5G dari Huawei ke seluruh dunia dan dengan begitu praktis China mengawasi gerak-gerik setiap individu tidak hanya di negerinya sendiri tapi juga di Negara lain—dan tulisan seperti ini bisa dihapus otomatis atau saya ditangkap.


4. Total Recall (1990)

Setelah berperan menjadi sosok militer di Predator dan sosok robot masa depan di Terminator, actor laga Arnold Schwarzenegger berperan dalam film fiksi ilmiah dystopian Total Recall. Film ini mengisahkan rencana-rencana bengis perusahaan besar dalam upaya melindung asetnya. Kalau semua bisa membayar, kenapa harus digratiskan? Kalau perusahaan punya kendali atas semua orang, kenapa kendali harus diberikan pada masyarakat? Seorang pekerja menyadari bahwa hidupnya janggal, ia mulai menyadari bahwa pasangannya dan teman-temannya adalah palsu—orang asing yang menyamar. Sejak itu, ia terus terlibat dalam aksi kejar-kejaran mengungkap kebenaran.


3. Blade Runner (1982)

Pembuat film Alien, Ridley Scott, menggandeng Harrison Ford (Han Solo, Indiana Jones) untuk berperan sebagai Rick Deckard yang harus memburu manusia sintetis yang disebut Replicants yang bekerja di luar angkasa dan kabur ke bumi. Berlatar di Los Angeles tahun 2019, digambarkan situasi dunia yang berada di dalam dystopian world. Film ini bisa dibilang gagal menarik minat penonton dan tidak mendapat keuntungan dari penayangan di bioskop. Hanya saja, kini film ini memiliki basis penggemarnya sendiri dan merupakan salah satu film dystopian yang paling berpengaruh.


2. Dredd (2012)

Lena Headey (pemeran Cersei di The Game of Thrones) berperan sebagai ratu ganja di dunia dystopia yang kacau balau. Walau demikian, kejahatan tidak bisa dibiarkan begitu saja dan ada hakim Dredd yang siap bertarung menumpas kejahatan—walau dengan cara yang bisa dibilang kontroversial. Dredd sebenarnya diangkat dari komik strip dan sudah pernah difilmkan sebelumnya. Dalam film tahun 2012 ini, jalan ceritanya mirip sekali dengan The Raid dari Indonesia. Lena Headey digambarkan menguasai sebuah apartemen kumuh. Karena menjadi ratu pengedar obat-obatan terlarang, Hakim Dredd memburunya didampingi juniornya yakni Hakim Anderson. Walau hanya berdua, mereka tidak bisa dianggap remeh. Mereka pun tidak bisa menganggap remeh grup pengedar ganja itu karena mereka menguasai seisi gedung. Ketika gedung itu akhirnya ditutup rapat dengan perisai besi, baik Dredd dan pengedar ganja sama-sama terjebak dan harus saling mengalahkan untuk bisa menjadi pemenang dalam pertempuran baik dan buruk. Cara Hakim Dredd menghakimi para pengedar dan cara para pengedar melawan hakim, menunjukkan ciri khas kisah dystopian di mana hukum yang ada tidak teratur dan terus menerus menimbulkan konflik. Apabila pemerintah tidak bisa menguasai warganya secara mutlak seperti 1984, gesekan-gesekan kepentingan akan terus terjadi dan selama dunia masih kacau, akan sulit mendapatkan perdamaian.


1. The Hunger Games-Divergent-The Giver-Ready Player One-City of Ember-Maze Runner
Begitu sulit bagi saya untuk memilih salah satu dari 5 judul cerita di atas karena kesemuanya memiliki esensi cerita yang sama dan sama-sama populer (dengan pengecualian City of Amber). Kelima cerita ini menggambarkan dengan baik situasi dunia dystopian. The Hunger Games mengisahkan negeri pasca perang yang berakibat pada dipecahnya negeri menjadi 12 distrik yang harus melayani kota Capitol dan wajib mengikuti ajang sadis Hunger Games tahunan di mana masing-masing distrik harus menyerahkan sepasang peserta laki-laki dan perempuan untuk saling bunuh di arena dan hanya satu yang akan hidup sebagai pemenang. Seri Divergent memiliki konsep serupa di mana negeri dibagi menjadi beberapa faksi sesuai keahliannya (sayangnya seri ini tidak dilanjutkan sampai selesai). The Giver merupakan “pendahulu” dari The Hunger Games dan Divergent, mengambil cerita yang menyerupai 1984 tetapi dengan alur yang lebih mudah untuk dipahami. Ready Player One menggambarkan situasi di mana manusia sudah menganggap dunia virtual sebagai dunia yang bahkan lebih penting dan nyata ketimbang dunia nyata. City of Ember mengisahkan dunia yang hancur memaksa umat manusia mengungsi ke bawah tanah. The Maze Runner menempatkan manusia di posisi yang membingungkan di dalam sebuah labirin dan harus berusaha mencari jalan keluar.



CODA

Tidak ada Coda, ya, sudah terlalu panjang. Tapi, saya berencana membuat daftar 10 Film Apocalyptic dan Post-Apocalyptic untuk melengkapi saga artikel setelah 10 Film Wabah dan 10 Film Dystopian ini. Terima kasih.

All poster galleries belong to the film studios