[ARSIP] Film Sebagai Sarana Belajar Bahasa Inggris



[ARSIP] Film Sebagai Sarana Belajar Bahasa Inggris
oleh NABIL BAKRI

PENTING: Artikel ini merupakan Arsip, dan mungkin tidak lagi mencerminkan keadaan terkini situs ini, termasuk visi, misi, dan citra umumnya. Semua artikel Arsip akan diatur penerbitannya ke tanggal 20 November 2010. Waktu sebenarnya mungkin berbeda.

CATATAN: Teks berikut saya tulis ketika duduk di bangku SMP, antara 2009 atau 2010, saya kurang yakin meskipun di dalam teks ditulis '2010'. Dunia pendidikan merupakan hal yang dinamis, maka beberapa contoh yang saya sebutkan sudah tidak cocok lagi digunakan walaupun pada masanya sangat sesuai dijadikan contoh, misalnya penggunaan contoh Oprah Winfrey Show yang kontraknya kedaluwarsa sejak 2011, contoh penyanyi Justin Bieber dengan lagu Baby yang dulu sangat populer sebelum demam K-Pop muncul, contoh penggunaan buku interaktif, dan lain sebagainya, harap dimaklumi dan dapat menyesuaikan sesuai konteksnya. Saya sengaja tidak mengubah sedikit pun isi teks ini sehingga masih sama dengan yang saya tulis bertahun-tahun lalu dengan dua alasan. Pertama, karena walau dunia berubah, inti dari teks ini tetap sama dan masih relevan. Ke dua, ini adalah bagian dari sejarah, baik itu sejarah hidup saya maupun sejarah pendidikan terbukti dengan contoh-contoh yang kini telah usang dan mungkin akan dirasa penting di kemudian hari.


(Atas) Adegan film Titanic dengan setting awal abad duapuluh. Memberi pengetahuan tentang gaya berpakaian pada masa itu.

Dalam program saya, film adalah media terbaik dalam belajar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Kenapa film? Dalam belajar bahasa asing tidak hanya kekuatan menyimpan kosakata saja, tapi cara mengucapkan juga harus benar. Dengan film kita bisa mengetahui semua. Cakupan film sangat luas. Tapi film di sini tidak hanya dibatasi ‘King Kong’ atau ‘Tarzan’ saja, tapi juga ‘The Oprah Winfrey Show’. Maksudnya adalah, yang dianggap film tidak selalu film-film layar lebar, tapi juga acara lain seperti Talk Show atau berita. Jika kita menyaksikan film, khususnya film berbahasa Inggris dan bilingual, maksudnya berteks Indonesia, kita belajar segala hal, mulai dari bahasa, sains, bahkan geografi, dan sosiologi. Mengapa demikian?

Sebagai contoh paling mudah dan paling saya sukai, dari film Titanic:


Adegan [#]
Pembelajaran [*]

[#] Film ini berdasar kisah nyata
[*] Sejarah dunia dan perkembangannya

[#] Setting disesuaikan dengan zaman
[*] Sejarah dunia dan perkembangannya

[#] Letak keberadaan kapal
[*] Geografi

[#] Paham dan pendapat di kala itu
[*] Sosiologi

[#] Kata-kata yang diucapkan
[*] Pengucapan bahasa asing secara benar

[#] Kisah/Intrik
[*] Kreativitas

[#] Fakta sejarah (bangkai kapal)
[*] Sejarah dunia dan perkembangannya/Sains


(Atas) Cara mengajar sejak zaman Sokrates SEHARUSNYA berbeda dengan zaman sekarang

Itu bahkan belum seberapa. Kalau kita bisa benar-benar menyaksikan film bukan sekadar untuk hiburan, kita bisa dan seharusnya menganggap film sebagai suatu media pembelajaran. Belajar bahasa asing tidak bisa hanya dengan bisa tanpa benar dalam mengucapkan. Ini seperti dalam melafalkan doa, pengucapannya harus benar. Kita tidak akan maju kalau hanya melihat pada kamus. Sebagai contoh, dalam kamus bahasa Inggris, pembacaan kata ‘umbrella’ yang berarti ‘payung adala ‘ambrele’. Sedang seorang penyanyi Amerika terkenal dengan lagu berjudul ‘Umbrella’, Rihanna, mengulang-ulang kata ‘umbrella’ pada lagu itu, dengan dibaca ‘ambrela’ yang diakhiri ‘a’ bukan ‘e’. Begitu juga dalam kamus kata ‘great’ dibaca ‘grit’ dengan ‘I’ sedang orang Amerika membacanya ‘greyt’ dengan ‘y’ dan ‘t’. Begitu juga kita harus tahu di mana letak perbedaan gaya bahasa Inggris british (orang Inggris) atau gaya Amerika.

(Atas) Acara The Oprah Winfrey Show selalu menyajikan hal-hal menarik dan cocok untuk berlatih berbicara nantinya.

Kita harus tahu perbedaan ‘Lift’ dan ‘Elevator’. Kita juga harus tahu ‘Sick’ dan ‘Ill’ serta ‘Grey’ dengan ‘Gray’. Siapa bilang itu tidak jadi masalah? Sungguh suatu masalah yang fatal bagi saya. Tapi, bukan berarti Anda harus benar-benar seperti orang Inggris dalam berbahasa Inggris kalau hanya ingin berlibur. Tapi jika Anda seorang guru, pembicara, duta, atau yang sebagainya, penguasaan gaya bahasa sangat penting. Nah, jadi, menyaksikan film berbahasa Inggris atau bahasa asing lain yan sedang kita pelajari, lebih baik dari guru atau buku kita. Kalau diajar guru terkadang tidak fokus, kalau membaca buku jadi bosan, tapi kalau film akan disaksikan dengan serius. Ini bagi yang suka film. Sebaiknya para pecinta film mulai sekarang menghayati tontonannya. Yang tidak suka film, pasti ada film atau lagu berbahasa asing yang disukai. Jadi pilihlah film yang disukai, supaya dapat mencerna lebih baik. Lebih bagus lagi jika Anda menyaksikan film dokumenter atau acara Talk show. Kalau sudah menguasai kosa kata, itu lebih bagus lagi, dan sebaiknya menyaksikan film dengan tanpa teks Indonesia. Jika Anda suka DVD/Blu-Ray (original, tentunya), kan bisa disembunyikan teks Indonesianya. Saya terkadang menutupi bagian bawah TV dengan kertas supaya mata saya tidak membaca artinya dan menstimulasi otak untuk memahami dengan sendirinya, berusaha menggali kosa kata yang kita miliki. Untuk hal ini, acara Talk Show sangat baik. Saya menyarankan The Oprah Winfrey Show, yang tayangannya selalu fresh. Dalam belajar memahami kata-kata dari orang Inggris akan lebih sulit daripada memahami orang Amerika karena biasany pengucapan dalam aksen Inggris sangat ditekan dan terlalu ditonjolkan di bagian-bagian tertentu. Tapi dengan terbiasa mendengarkan, kita akan bisa.


Oprah saat berbincang-bincang dengan presiden Barack Obama.


(Atas) Belajar dari majalah internasional sangatlah penting. (gambar: Kate Winslet)


(Atas) Belajar mengenai peradaban Inggris sangat mendukung dalam perkembangan berbahasa Inggris, tidak hanya seputar peradaban di Indonesia.(gambar pernikahan Pangeran Charles dan Putri Diana)

Salah satu kelemahan pengajar dalam mengajar bahasa asing atau bahasa ibu dan bahasa lainnya adalah kurangnya penjelasan mengenai arti pentingnya mempelajari pelajaran tersebut dan kurang praktik. Seharusnya, begitu awal mengajar, guru menjelaskan terlebih dahulu, apa pentingnya belajar bahasa. Saya sering menjumpai anak yang senang menggerutu seusai pelajaran bahasa, baik bahasa Inggris maupun Indonesia. Kebanyakan selalu menganggap bahwa pelajaran bahasa Inggris tidak berguna, karena kita bukan orang Inggris, dan bahasa Indonesia lebih tidak berguna lagi karena sehari-hari kita sudah berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan kurangnya pengertian di benak pelajar yang belum menjadi mahasiswa. Karena tentu, jika sudah menjadi mahasiswa di jurusan bahasa dia sudah tahu pentingnya bahasa. Tapi bagi pelajar yang belum tahu, bahasa selalu dianggap remeh dan mudah padahal tidak semudah itu. Dalam bahasa Indonesia saja, kerumitan sering dijumpai tapi sering diabaikan, seperti kata ‘silahkan’ dengan ‘h’ yang sebenarnya salah. Yang benar adalah ‘silakan’. Contoh lain, ‘berobah’ dengan huruf ‘o’. Itu salah besar, melainkan ‘berubah’ tanpa ‘o’. Kata ‘merubah’ juga sering digunakan padahal yang benar adalah ‘mengubah’. Begitu juga dengan kapan ‘di’ dan ‘ke’ harus dipisah atau serangkai, apalagi bahasa Inggris, yang sangat memedulikan waktu, dari kata ‘go’, ‘went’, dan ‘gone’. Artinya memang sama, ‘pergi’, tapi penggunaannya tidak sembarangan. Bahasa Jerman lebih sulit lagi, di mana terdapat huruf-huruf umlaut yang harus diperhatikan dan perbedaan kata seperti ‘sie’. Perbedaan maskulin dengan feminine juga sangat diperhatikan. Perhatikan, dalam bahasa Inggris, benda yang berjumlah satu selalu diikuti ‘a’ atau ‘an’. Dalam bahasa Indonesia, hal-hal yang terlalu detail tidak begitu diperhatikan. Satu poin yang menguntungkan bagi orang Indonesia adalah karena huruf-hurufnya sama dengan huruf bahasa Inggris dan kurang lebih sama dalam beberapa bahasa seperti bahasa Jerman. Orang Jepang atau Mesir seharusnya lebih kesulitan dalam belajar bahasa Inggris, karena huruf dalam bahasa mereka sangat berbeda dengan bahasa Inggris. Jadi kalau seandainya mereka agak kesulitan dalam belajar bahasa Inggris itu maklum.

Cara mengajar dari zaman Sokrates hingga masa kini seharusnya berbeda, seiring berkembangnya era angkasa luar. Tapi saya tidak mendapati banyak perkembangan dalam penyampaian, khususnya bahasa. Kenapa biologi, fisika, kimia, dan seluruh pelajaran eksak bisa melakukan praktikum, sedang pelajaran bahasa tidak? Kenapa tidak memanfaatkan perkembangan teknologi? Itu yang sangat disayangkan. Bagi saya, khususnya. Bagaimana praktik dalam pelajaran bahasa? Mudah. Seperti judul tulisan... (lanjut setelah gambar)



(Atas) (ilustrasi) Belajar dengan praktik bukan berarti tidak menggunakan buku, terbukti adaya buku interaktif

sederhana saya ini, dari film. Ini sangat khusus bagi bahasa Inggris. Saya heran, kok bisa dalam bahasa Indonesia nama karakternya adalah John, Arthur, Smith, sedang dalam bahasa Inggris karakternya memiliki nama Indonesia. Kita harus tinggalkan budaya itu. Ganti kota ‘Jakarta’ dalam bahasa Inggris dengan kota ‘London’. Jangan pakai ‘Jakarta’. Itu urusan pelajaran PKn. Ganti pembahasan tentang ‘Jenderal Sudirman’ dengan ‘Lady Diana’. Ini bukan mengajari tidak cinta bahasa dan Negara Indonesia, tapi bagaimana kita menyesuaikan dengan apa yang kita pelajari. Lidah harus dilatih. Kita bisa mengaji atau melafalkan kitab suci dengan bahasa asing, berarti bisa berbahasa Inggris dengan aksen yang benar. Bukan berarti aksen benar itu sombong dalam berbahasa asing, tapi benar sangat berbeda dengan sombong. Belajar bahasa asing bukan untuk sombong melainkan untuk maju. Bahkan J.R.R. Tolkien, pencipta kisah The Lord of the Rings sangat tertarik pada bahasa-bahasa kuno sampai-sampai menciptakan bahas sendiri. Bahasa itu sangat menarik, tidak membosankan, tergantung bagaimana cara kita belajar. Bahkan seorang yang sangat suka pelajaran bahasa bisa bosan kalau cara belajarnya membosankan. Itu-itu saja, tidak ada inovasi, tidak seperti sains yang selalu aktif bereksperimen, bahasa hanya membacaaaaaaaaaa terus. Itulah kesan yang kentara saat ini tentang bahasa.



(Atas)‘The Snow Queen’ karya H.C. Andersen minimal diketahui.

Belajar bahasa dengan praktik bukan berarti meninggalkan buku. Sebagai contoh, kita bisa mengajar dengan menceritakan kisah Harry Potter, bukan kisah Ramayana, dalam pelajaran bahasa Inggris. Sangat penting untuk kita menempatkan, kisah Romeo dan Juliet harusnya diajarkan dalam bahasa Inggris, kisah Ayat-Ayat Cinta dalam bahasa Indonesia, dan Ramayana dalam bahasa Jawa. Akan lebih baik juga buku paket yang digunakan dalam mengajar bervariasi. Coba gunakan buku buatan Amerika atau Inggris asli. Pilih buku jangan dari harga atau kurikulum, tapi dari isinya. Banyak yang saya temui terlalu mengikuti kurikulum. Menurut saya, bahasa tidak bisa diikat seperti kuda dalam kurikulum. Maksud saya, memang sesuai kurikulum tapi tidak terlalu sering mengulang apa yang sudah dilakukan. Harus ada inovasi. Saya sudah sering meminta menonton film dalam pelajaran bahasa. Pengalaman saya di LIA, di sana sering praktik dan menonton film. Saya ingat waktu itu bahkan pernah menonton ‘Finding Nemo’ dan saat belajar paragraf eksposisi tidak hanya menuliskan bagaimana caranya membuat burger, tapi praktik langsung membuat burger, dengan berdialog dalam bahasa Inggris. Berlatih drama juga sangat penting, paling tidak kita tahu ceritanya. Saat ini, jarang ada yang tahu kisah Hamlet atau The Snow Queen. Padahal, “Mereka belajar bahasa Inggris, tidak, sih?” Belajar bahasa Inggris juga harus tahu segala kesusastraan umum dalam bahasa Inggris, minimal The Ugly Duckling atau The Emperor’s New Clothes dari Hans C. Andersen. Hans Andersen adalah contoh nyata orang yang sukses tidak dari ilmu eksak, melainkan imajinasi tiada tara dan permainan kata-kata, begitu juga dengan William Shakespeare dan J.K. Rowling. Nah, jadi, selain film, sebenarnya buku juga penting. Sekarang lagu. Seberapa pentingnya lagu?


(Atas) Sebaiknya lagu yang digunakan mengikuti perkembangan zaman atau sesuai selera pelajar karena lagu berkaitan erat dengan jiwa. (gambar: Justin Bieber)

Lagu berbahasa Inggris sangat penting untuk mendukung pembelajaran berbahasa Inggris. Suatu lagu yang disukai akan menstimulasi keinginan menyanyi, dan jika keinginan itu kuat, kita akan berusaha menyesuaikan aksen dengan penyanyinya, semampu kita. Tapi tidak semua orang bisa berbicara dengan aksen yang benar. Tapi saya mengacu pada kutipan yang diambil dari Pablo Picasso, bahwa setiap anak adalah seniman. Tidak ada yang tidak bias. Masalahnya, adakah keinginan kita untuk bisa?
Bukan hanya kemampuan ber-aksen yang benar saja, tapi juga mampu menulis. Jika kita terbiasa menyaksikan film dan sudah bisa mengerti tanpa membaca terjemahannya, berarti kita bisa menuliskannya dalam kertas. Inilah yang saya maksud, ada kaitannya dengan aksen tadi. Pengajar memutarkan sebuah film, lalu pelajar diminta menuliskan ringkasan cerita dari film tersebut atau menuliskan kembali kata-kata penting yang diingat dari film yang telah disaksikan.

Sebaiknya, sarana yang kita gunakan sesuai dengan zaman atau keadaan para pelajar. Kita tidak bisa memaksa pelajar menghafal lagu ‘My Heart Will Go On’ dari Celine Dion sementara mereka suka lagu ‘Love Me’ dari Justin Bieber. Sangat lebih baik lagi kalau dibebaskan memilih lagu yang disukai asal berbahasa Inggris. Buat pelajaran bahasa menjai menyenangkan. Saya ingin mengubah kesan atau tepatnya citra bahasa di mata kebanyakan orang. Caranya ya dengan apa yang sudah dijelaskan tadi. Kelemahan lain dari banyak pengajar adalah memberi ujian yang terlampau berat. Menurut saya bahasa itu terhubung dengan perasaan. Anda tidak bisa mengubah seorang anak berbahasa Indonesia langsung dalam sehari fasih berbahasa Inggris, dengan aksen asli Inggris pula. Beri latihan yang sederhana dulu. Dari satu hal yang sederhana lalu meningkat. Buat soal sejelas mungkin karena bahasa Inggris bukanlah bahasa Ibu. Jangan beri soal yang terlalu rumit. Kerumitan akan menimbulkan kemalasan pada pelajar. Hal ini justru akan menyulitkan.

Sejak lama saya sangat terganggu tentang pendapat bahwa bahasa adalah satu hal yang statis dan membosankan. Saya punya pembuktian, ‘The Truth Power of Language’.

J.K. Rowling bukan wanita yang terkenal sebelum buku pertamanya yang berjudul Harry Potter and the Philosopher’s Stone, yang kemudian dibeli oleh pihak dari Amerika dan mengubah judulnya menjadi Harry Potter and the Sorcerer’s Stone, (lanjut setelah gambar)



(Atas)Kisah Harry Potter yang mengguncang dunia.

melainkan seorang ibu biasa, orangtua tunggal. Rowling sangat miskin. Dia tidak punya biaya untuk membeli komputer bahkan untuk fotokopi. Rowling mengetikkan kisah Harry Potter-nya dengan mesin ketik tua yang harus ia ketik ulang sampai sepuluh kali karena tidak mampu membayar ongkos fotokopi. Tapi, berkat kekuatan imajinasinya ia mencipta sebuah kerajaan baru yang membius hampir seluruh lapisan masyarakat bumi.



(Atas) The Ugly Duckling sangat erat dengan Andersen.

Hans C. Andersen bukan orang kaya. Ia bukan seorang yang pintar merumuskan rumus fisika atau matematika. Tapi pikirannya sangat luas mengenai keindahan dunia dan bahasa. Kini cerita-ceritanya tetap terngiang. Kisah ‘The Ugly Duckling’ bahkan didasari dari kisah hidupnya, di mana dia dulu hidup sangat sulit, di mana harus tidur di atas peti bekas, tidak mampu membeli mainan, yaitu saat ia masih sebagai ‘ugly’ duckling. Tapi akhirnya, ia menjadi ‘Wonderful Swan’.
Ingin menikmati keindahan narasi dan tutur kata serta keajaiban penulisan cerita? Bacalah ‘To Kill A Mockingbird’ karya Herper Lee. Ini saya rekomendasikan.

Kembali ke permasalahan, di mana bahasa selalu dinomorsekian-kan. Peran orangtua atau pembimbing sangat diperlukan dalam hal ini. Jangan gunakan cara mengajar yang monoton, tapi yang fantastis, karena, “Imajinasimu hanya dibatasi oleh benakmu.”-Ayah Skeeter Bronson, dalam Bedtime Stories.

Teks diciptakan sepenuhnya oleh Nabil Bakri, isi dalam tanggung jawab penulis sepenuhnya.
Semua gambar bukan milik penulis, melainkan milik pemegang hak cipta yang haknya dihormati sepenuhnya.